Sebut saja namanya Bang Baim (bukan nama samaran). Beliau adalah persepupuan dari pihak Ibu saya, anak ke dua dari kakak ibu saya yang juga anak ke dua dari kakek saya.
Saya mengenal sosoknya sepintas tahun 90-an ketika kami bertemu di toko buku Satu Mai yang sudah melegenda pada zaman Ayah dan Ibu saya masih memakai seragam SMA.
Bang baim merupakan sosok yang ramah, lucu dan jahil. Kulitnya yang putih langsat masih mengkal membuat dia seperti anak Cina. Yang dulunya saya (sempat) bangga mempunya sepupu orang Cina akhirnya pupus kebanggaan saya karena berujung fakta ia anak Aceh tulen. Tapi tak apalah. Saya pun yang Aceh Tulen malah mirip bule(t). 😂
Pernah suatu ketika, di masa liburan yang saya benar-benar lupa di tahun berapa, tepatnya saya masih SD. Saya dan Ibu saya berkunjung ke rumah Bang Baim di sebuah komplek PT.Arun, Aceh Utara. Perumahan yang asri dan sejuk, sepanjang jalan komplek dikelilingi pohon rimbun.
Siang itu, saya bersama Bang Baim dan Fitri (adik perempuan Bang Baim) bermain mengelilingi rumah-rumah komplek.
Saking asyiknya bermain, kami tak sadar ada seekor ular hitam dengan panjang sekitar 1 meter dan diameter 8 cm sedang meliuk-liuk di jalan beraspal dekat area kami bermain. Saya menjerit duluan dan mengajak Fitri lari layaknya adegan aktor India berlari dengan anggun di rerumputan. Tapi kami tidak se-slow itu, benar-benar terbirit-birit dan tak sempat mengambil adegan berguling-guling karena saat itu aspal sangatlah panas. Allah SWT masih menyayangi kami, ada hikmahnya permukaan aspal itu panas, sehingga si ular meliuk sedikit lambat dan malah badannya berputar menyamping, bukan zigzag. Kami terus berlarian sebab rumah Bang Baim masih jauh, sekejap kemudian ada orang dewasa yang sedang keluar rumah dan memukulnya dengan kayu. Mati. Ularnya yang mati, bukan si kayu.
Kami yang kala itu masih menjerit dengan ketinggian nada 8 oktaf langsung terdiam. Tiba-tiba ekor ular sedikit bergerak. Kami berteriak lagi tapi sudah turun ke 4 oktaf. Lalu pulang karena lelah berteriak.
Itulah anak-anak. Seampainya di rumah, kami berebut bercerita bertemu dengan ular. Tidak satupun di antara kami mengaku ketakutan. Bahkan kami memotong adegan seorang dewasa yang menolong memukul ular tersebut, karena kami berharap orang tua kami bangga kami mampu melarikan diri dari ular.
Begitulah cerita antara saya, bang Baim dan ular.
Tahun berlalu begitu lambat, saya tidak berkata "berlalu dengan cepat" karena masa peralihan dari SD menuju bangku kuliah tidak secepat merebus pisang.
Saya sudah berkeluarga, Bang Baim pun juga sudah.
Saya bertemu lagi dengan Bang Baim baru sepekan yang lalu. Saya yang selalu menghormatinya tak pernah lupa mencium punggung tangannya. Bahkan ia membalas dengan rangkulan kasih sayang menganggap saya seperti adik kandungnya.
Terbersit di dalam hati saya saat dirangkulnya, 'semoga Allah SWT memberikan rezeki malaikat kecil bagi keluarganya'.
Amin ya Rabbal 'alamin.
Semoga Bang Baim segera diberikan Malaikat Kecil oleh Allah Swt. Amin
Amin amin..
Makasi sudah beri komentar Ayah. 😁🖒
pamandi golom na potingan, crita ttg geulanggang kulam nyo pamandi tulis di steemit sang akan menarik nyan.