Aku melamun di pinggir jendela kamar sembari mengingat peristiwa yang telah membuat kehidupanku menjadi kelam, gelap, tenggelam, hingga karam. Melihat anak-anak kecil mungil sedang bermanja-manja dengan ibunya, aku sempat merasa ngilu. Apalagi ada sesosok ayah yang menyelimuti kehangatan bermanja anak kecil itu. Aku semakin ngilu.
Usiaku akan beranjak 17 tahun; dalam hitungan beberapa hari lagi. Namun, itu tidak membuatku bahagia. Saat tiba hari itu, tidak ada kebahagiaan kalau meniup lilin hari lahir hanya sendiri. Cuma sendiri; noktah. Aku anak semata wayang di keluargaku. Kehidupan penuh tawa seperti dulu tidak pernah kurasakan lagi. Dan sampai detik ini pun aku menjalani kehidupan hanya sebatang kara. Keluargaku telah memiliki kehidupannya sendiri. Begitu pula aku. Ayah pergi meninggalkanku sudah dari sepuluh tahun silam, sejak terlibat sebuah peristiwa mengerikan itu. Peristiwa yang menimpa ibuku. Dan ibu? Aku tidak ingin orang-orang tahu tentang ibu. Sebab itu akan menambah penderitaan luka yang saat ini aku alami. Luka yang sangat mendalam hingga hidup menjadi kelam. Tenggelam hingga karam. Aku hanya bisa bengong melihat orang yang paling mencintai dan menyayangiku, meringis kesakitan dalam selimut panas, tanpa seorang pun yang mampu menolongnya.
Sempat dipaksa menjawab perihal ibu. Awalnya aku tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab atas pertanyaan perihal ibu. Tetapi, entah kekuatan dari mana sehingga aku mampu menjawab. Meskipun, aku hanya menjawabnya dengan berkata, "Ibu ada di hatiku." Sontak orang-orang menampakkan wajah heran mendengar jawaban itu. Terlebih, dia yang baru mengenalku.
Aku masih dalam lamunan di pinggir jendela kamar. Entah mengapa tanpa menyadarinya, tetesan air membasahi pipi. Peristiwa itu sungguh membuat aku terluka; tenggelam dalam kesunyian. Sampai tidak terasa senja telah sempurna hilang.
Ayah bertengkar hebat dengan ibu. Terlihat beberapa jerigen berisi bensin di dekat ayah.
"Jangan berdiri di situ, pergi sana! Kalau tidak, akan kusiram juga kau dengan bensin ini. Pergi sana, masuk kamar!" Bentak ayahku.
Wajah pucat, tubuh bergetar. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, tak beranjak dari tempat semula, dan hanya mematung di sudut pintu kamarku ketika dibentak. Spontan ayah membuka jerigen yang berisi bensin yang berada didekatnya, lalu menyiramnya ke sekujur tubuh ibu. Aku masih mematung di sudut pintu kamarku.
Pertengkaran mereka sering terjadi. Mungkin pertengkaran sore itu adalah puncaknya. Apa permasalahannya, hanya mereka yang tahu. Kepolosan masa kecil, menjadikan aku hanya sebagai penonton atas pertengkaran mereka.
Di depanku; melalui kedua mata ini, aku menyaksikan peristiwa tragis itu. Sekujur tubuh ibu sudah basah kuyub dengan bensin. Melihat tingkahnya, aku termangu; bisu. Pandanganku kosong. Secara berkelebat, ayah menghidupkan korek api, lalu melemparnya ke tubuh ibu yang telah disirami bensin. Tubuh ibu terbakar; gosong.
“Tolong…tolong...!!! panas…!!!” Teriak ibu.
Teriakan ibu menjadi sia-sia, karena suasana sekitar rumah sangat sunyi dan rumah kami yang berada di desa terpencil menyebabkan tidak ada yang datang menolong. Aku masih termangu di sudut pintu kamarku.
Ayah bergegas pergi entah kemana, ekspresi panik terpancar di wajahnya setelah apa yang telah dilakukannya pada ibu. Aku berlari mengejar ayah. Namun, langkah kaki ayah lebih cepat dariku.
Aku menjadi sangat bodoh, terkunci di dalam rumah bersama ibu yang berteriak kepanasan karena kobaran api membakarnya. Sempat aku mencoba menyiram air yang kuambil dari kamar mandi dengan maksud memadamkan api. Tapi yang aku lakukan itu hanya sia-sia. Api tak kunjung padam. Pelan-pelan tubuh ibu habis tidak berbentuk lagi, api semakin besar melalap tubuhnya, melalap kamar kami, melalap semuanya sampai tak bersisa apa-apa lagi.
Senja telah terbaring ditiduri malam tanpa perlawanan. Aku masih di pinggir jendela kamar. Suara anak-anak yang sedang bermanja-manja tadi pun telah sirna. Kini, aku memandangi langit dengan tatapan tak berisi; kosong.
Malam terlihat akan menangis. Mendung. Begitu pula aku yang sejak sore tadi menangis mengenang ibu. Sampai-sampai bibi pengasuh memanggil untuk makan malam pun tak kuhiraukan.
Aku memang tinggal sebatang kara setelah ibu dan ayah pergi dari kehidupanku. Hidupku terkatung-katung. Sampai-sampai aku berniat untuk memanggil malaikat maut untuk menjemputku. Tetapi niat itu gagal, ketika ada seorang perempuan paruh baya yang sederhana dan baik hati mau membawa dan merawatku di rumahnya. Aku memanggilnya bibi.
“Nak, ayo makan malam dulu. Sudah dari tadi kamu berdiri di jendela itu. Apa tidak capek kamu berdiri terus. Bibi sudah siapkan makan malam. Makan dulu, Nak!” Perintah bibi.
Berulang kali dengan kata-kata yang sama bibi memanggil, tidak aku hiraukan. Bibi menghampiriku dan membuyarkan lamunanku.
“Iya, Bi. Sebentar lagi. Bibi duluan saja, nanti aku nyusul.” Sahutku.
“Baiklah, Nak.”
Ulang tahun ketujuh belas katanya adalah momen yang sangat istimewa. Bagiku itu hanya sebatas kata-kata saja, sebatas angka-angka. Tidak ada yang istimewa di hari ulang tahun ke berapa pun. Tapi, ya sudahlah, karena takdir Tuhan itulah yang terbaik. Aku merasa sendiri menyambut hari lahirku. Tidak ada ibu, tidak ada ayah. Hanya ada bibi yang memberikan kue ulang tahun.
“Nak, selamat ulang tahun. Jangan bersedih lagi. Kini usiamu sudah beranjak dewasa. Kamu akan menjadi pemimpin. Kelak.” Ucap bibi.
“Terimakasih, Bi.”
Lilin dihidupkan. Api menyala. Aku trauma melihat api. Spontan, aku menjauh dari kue ulang tahun itu. Bibi mencoba untuk menenangkan. Tapi, aku tetap berontak. Setelah beberapa saat dan aku mulai sedikit tenang. Aku kembali bersedih; air mata mulai mengalir. Aku melihat sumbu lilin yang telah menjadi abu. Kenangan menyedihkan saat melihat abu. Kenangan tentang ibu. Ibu yang menahan rasa sakit dari panasnya kobaran api hingga tubuhnya pun tidak berbentuk lagi; menjadi abu. Aku teringat bahwa saat itu aku pernah mengambil abu milik ibu dan menyimpannya di sebuah botol. Teringat itu, aku langsung mencari botol tersebut dan meletakkannya disamping kue ulang tahun yang bibi bawakan tadi.
Aku merasa dengan adanya abu ini, ibu berada di sekitarku dan melihatku. Meskipun, terasa sakit. Tapi dengan adanya abu ini, aku dapat merasakan kehadiran ibu. Ibu yang selalu memanjakan, menyayangi, dan mengasihiku. Kini telah pergi untuk selamanya.
Aku tidak ingin larut dalam kesedihan ini. Setidaknya abu milik ibu ini telah mengobati sedikit banyak kerinduanku terhadap ibu. Abu layaknya debu; abu milik ibu.
“Nak, ayo tiup lilinnya. Sudah lama kamu termenung seperti itu. Lilinnya sudah hampir habis itu, Nak!” Sahut bibi.
Aku terkejut. Lamunan buyar. Dan masih merindukan ibu.
Aku masih mengenang ibu. Ibu yang sudah dibakar ayah. Lamat-lamat di kepalaku berkitar ucapan paling lantang dari lelaki tua pemarah yang konon kupanggil ayah,”kau pelihara anak haram itu? Bunuh dia atau kau akan kubunuh!”
Sekelabat kepalaku dipenuhi abu. Mataku dipenuhi abu.[Ab]
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/abu-ibu.html
Alhamdulillah. Terima kasih, @cheetah.
Saya tidak pernah tahu sebelumnya, jika karya yang sudah lama saya tulis ini sudah pernah dipublish di salah satu media online. Gara-gara ini, saya jadi tahu sekarang. :)
maybe its a same title cheetah, but the content its so different, be smart cheetah...
Sudah kami upvote..