VIVI UNDERCOVER |

in #fiction7 years ago

MASALAH peneror SMS belon terbongkar, datang soal lain yang bikin Vini tambah stress. Di mading, muncul foto Vini dan Vici dengan judul Vivi Undercover. Mungkin singkatan dari nama Vini Vici. Nggak masalah dengan judul, tapi foto itu yang bikin Vini dan Vici serasa mau mati. Bayangkan, di situ Vini Vici tampil dengan pakaian minim kayak di Midnight Hot di Fashion TV. Cuma CD doang yang nyaris nggak nutupin apa pun. Foto itu dibidik dari belakang dengan bibir Vini dan Vici saling berciuman. Rambut Vini dan Vici yang panjang, terurai jatuh di punggung. Nggak jelas mereka di situ pake bra atau nggak karena ketutup rambut. Mungkin para penikmat foto dipersilakan menafsikannya sendiri-sendiri.

Kalo cowok liat foto itu, dijamin pikirannya ngelantur entah ke mana, apalagi kalo cowok itu kayak @yahqan atau bangsanya @masriadi yang sukanya ngeres. Maksudnya, tulang kering mereka keras-keras!

Foto itu sempat naik di mading sampai jam 07.10 WIB. Ketika Luhung Sapto Nugroho, fotografer mading datang, langsung mencabutnya. Kunci mading emang hanya berada di tangan Luna dan Mukhtar. Tapi Luhung nggak perlu kunci karena gembok udah rusak. Entah dicongkel dengan obeng atau apa, yang jelas gembok mading udang lepas dari tempatnya.

Vini dan Vici yang nggak sempat ngeliat foto itu di mading, sempat syok juga meski tubuh setengah bugil itu bukan milik mereka. Saat diberitau Luhung, Vini dan Vici langsung pamit nggak masuk sekolah satu jam dengan alasan ngurusin mading.

Syukurnya, gurunya ngizinin. Luna, Mukhtar, dan Airin juga ikutan. Padahal, di antara pengurus mading hanya Vini dan Vici aja yang sekelas.

Mereka buat pertemuan di ruang redaksi.

Vini yang tadi sempat mencak-mencak dan nangis, kini mulai tenang. Ia sadar, semakin marah, foto itu akan semakin bikin heboh. Lebih baik ia bersikap tenang aja, sambil mencari informasi siapa yang masang foto itu sekaligus kreatornya.

“Satu hal yang pasti, pemasang foto itu ngerti photoshop dengan mahir. Kalo kita nggak teliti, foto itu keliatan seperti asli.

Hampir nggak keliatan potongan di leher. Posisi kepala juga pas betul dengan pose tubuh. Trus, kerutan di bibir juga nampak alami, kayak orang ciuman beneran,” jelas Luhung sambil nunjuk-nunjuk ke arah foto berukuran jumbo itu. Gayanya persis komandan prajurit sedang membaca peta.

Sedangkan gaya Vini, persis kayak tentara kalah perang. Justru Vici yang agak tenang. Tapi pikiran cewek itu terus jalan.

“Orang yang ngerti photoshop di sekolah kita kan terbatas,” Vici ngeliat ke arah Luhung. “Sori, aku nggak nuduh kamu. Aku, mungkin juga Vini, yakin bukan kamu kok. Iya kan, Vin?”

Yang ditanya hanya mengangguk. Matanya masih sembab.

“Thanks. Kalo aku yang buat, untuk apa pula aku yang bongkar. Mungkin ada anak-anak lain yang bisa photoshop, tapi kita nggak kenal.”

“Bos, gimana selanjutnya? Apa perlu kita laporin ke Kepsek?” tatap Vici ke Luna yang sejak tadi diam aja.

“Kalo kita laporin, apa nggak tambah heboh? Soalnya yang tau foto ini hanya beberapa anak. Mungkin nggak sampe lima orang. Dan aku udah bilang ke mereka kalo foto ini hasil rekayasa. Mereka percaya. Apalagi, pas liat gembok mading kita hancur,” jelas Luhung lagi.

“Tapi kalo nggak dilaporin, ntar dikira foto itu fakta,” ujar Vini cemas.

“Gimana solusinya, Bos?” Vici masih nuntut ke Luna yang belon juga ngasih jawaban.

“Kita tunggu aja. Kalo ada reaksi dari anak-anak, baru kita laporin ke sekolah. Nggak perlu cemas kalo tambah heboh. Semua orang juga pada tau zaman sekarang foto bisa direkayasa. Kupikir Luvi sama Vici tenang aja.”

Nggak ada satu orang pun yang ngeh saat Luna keseleo lidah manggil Vini dengan sebutan Luvi. Vini sendiri juga nggak perhatian. Hanya Luna yang merasa salah tingkah.



Source


Vini Vici bisa tenang. Sehari berlalu nggak ada tanggapan miring soal foto itu. Bahkan, nggak ada anak yang nyinggung soal foto itu. Namun, Vini Vici tetap nggak terima diperlakukan gitu. Mereka sepakat untuk menyelidiki sampe orangnya ketemu.

“Vin, aku nggak terlalu yakin hanya orang yang ngerti photoshop yang bisa merekayasa gambar. Dia bisa aja minta tolong sama orang lain,” ujar Vici saat mereka sedang bahas masalah tersebut.

“Jadi orang yang nggak ngerti photoshop juga bisa jadi tersangka. Tambah repot kita.”

“Nggak perlu repot. Gimana kalo kita mulai dari teman-teman mading. Dari kelompok yang lebih kecil dulu. Kawan mading kan nggak banyak; Luna, Luhung, Mukhtar, dan Airin. Mungkin ada di antara mereka yang patut kita curigai.”

“Sebenarnya aku curiga sama Luhung. Dia yang pertama tau, dia yang ngerti rekayasa foto. Dia pula yang paling banyak ngomong saat kita rapat. Kan biasa tuh, orang yang diam-diam kentut, dia yang marah duluan.”

“Itu sih Aji yang sering gitu, hihihi….” Vici ngikik. “Oke. Bisa jadi Luhung. Tapi motifnya apa?” lanjutnya serius.

“Sekadar bikin sensasi.”

Vici menggeleng. “Ada motif yang lebih besar dari sekadar bikin sensasi. Kenapa harus gambar kita berdua? Menurutku, karena kita berdua akrab. Ke mana-mana sering berdua. Pesan yang pengin disampein ke publik, kita ini lesbong. Nggak normal. Tapi karena foto itu ketahuan lebih cepat sama Luhung, tujuannya jadi nggak kesampean.”

“Tajam juga analisa kamu.”

“Makanya kita nggak boleh emosional menghadapi masalah ini. Kalo emosi, kecerdasan kita bisa turun sampe 10 persen.”

“Kalo kecerdasan cuma 10 persen, gimana dong?!”

“Itu sih Vidi. Jangan nyindir kakak gua dong!”

Masuk akal juga analisa Vici. Tapi untuk apa menimbulkan kesan Vini Vici pasangan lesbi? Siapa yang paling diuntungkan dengan isu itu? Kayaknya nggak ada karena selama ini mereka berdua nggak punya musuh.

Vini jadi teringat dengan teror SMS yang sering ia terima.

“Menurut kamu, ada nggak hubungan SMS itu dengan Vivi Undercover?

“Bisa jadi ada. Tapi…”

“Tapi bisa juga tidak. Wee, kalo analisa gitu anak kecil pun tau,” potong Vini cepat. “Kalo ada, alasannya apa? Dan kalo nggak, alasannya apa?”

“Alasannya kita cari belakangan. Eh, kamu pernah perhatiin Mukhtar nggak?”

“Sering, sejak kasus SMS itu. Tapi entah kenapa, kata hatiku bilang dia nggak salah.”

“Kata hati itu kuat atau nggak?”

“Kuat juga. Aku nggak yakin dia.”

“Luna dan Airin?”

“Masih gelap.”

“Mulai sekarang, kita harus lebih banyak bicara dengan kawan-kawan di mading. Semuanya. Kata detektif, kita harus lebih banyak bicara dengan tersangka. Nanti mereka akan mengaku sendiri, dengan kesadaran atau nggak.”



Source


Hari-hari berikutnya, Vini Vici kian sering bersama anak-anak mading. Mereka melakukan pendekatan tanpa membuat mereka curiga. Mereka bicara tentang hal-hal umum atau tentang mading. Soal foto rekayasa itu, sama sekali nggak disinggung. SMS yang masih diterima Vini juga nggak pernah jadi bahasan. Mereka pengin semuanya keliatan mengalir apa adanya.

Dalam pertemanan itu, Vini Vici memperhatikan perubahan rekan-rekannya dengan seksama tanpa membuat curiga. Hasilnya nggak banyak berubah. Sikap teman-temannya masih sama kayak kemarin, dan kemarinnya lagi.

Sampai kemudian ada razia narkotika yang dilakukan Badan Narkotika Nasional dengan Dinas Pendidikan Nasional. Sejumlah petugas masuk ke beberapa kelas ditemani para guru. Nggak semua kelas, hanya diambil sampelnya aja secara acak.

Kesempatan itu, juga digunakan dewan guru untuk merazia gambar esek-esek yang sering disimpan dalam hape anak-anak.

Kelas Vini Vici nggak termasuk. Tapi kelas Luna ikut dirazia. Ternyata…

Ternyata nggak ditemukan narkotika di tas Luna, di tas siswa lain pun nggak ada. Kepala sekolah dan dewan guru bangga. Kalo sampai ada yang membawa narkotika, abislah mereka. Soalnya, entah siapa yang ngasih tau, razia itu diliput wartawan media cetak dan elektronik.

Seorang guru hanya menemukan dua hape di dalam tas Luna. Tentu aja itu bukan pelanggaran. Anak-anak lain juga ada yang membawa hape lebih dari satu. Hanya ada beberapa foto cewek di salah satu hape Luna. Dan cewek itu nggak bugil. Bahkan ada yang masih lengkap dengan seragam sekolah.

Saat istirahat, razia itu jadi pembicaraan anak-anak.

“Di kelas kalian dapat nggak?”

“Nggak. Kalian?”

“Nggak juga. Cuma ada beberapa yang nyimpan video hot di hape-nya. Nggak dihukum sih, dinasehatin aja. Tapi kalo ngulang, akan diberi sanksi.”

“Kabarnya, Luna nyimpan foto hot juga?”

“Nggak ah. Cuma foto cewek aja.”

“Cewek bugil?!”

“Huss, jangan piktor gitu. Foto-fotonya Vini, anak mading juga. Kebetulan Sisi yang duduk di samping Luna, sempat ngelirik.”

“Ooo…”



Source


Saat Vini Vici masuk ruang redaksi, hanya ada Luna di sana. Setelah edisi terakhir terbit, mereka memang hanya mantau isu-isu baru yang mungkin bisa diangkat sebagai laporan utama. Kasus narkotika udah terlalu sering dinaikkan. Tapi razia ke sekolah, mungkin bisa jadi angle yang baru. Vini rencana mau ngusulin tentang itu dalam rapat besok.

Luna duduk di sebuah kursi. Ada majalah terbentang di hadapannya. Tapi ia nggak sedang membaca. Tangan kanannya meremas-remas tali dompetnya.

Vini Vici baru sadar sekarang. Dompet warna kuning itu hampir nggak pernah lepas dari tangan Luna. Entah apa aja isinya.

Begitu masuk, Vini langsung menelepon ke nomor 08128772*** dan masuk. Dan seperti biasa, nggak ada yang angkat. Tapi nggak jadi soal, tangan Vici dengan cekatan mengambil dompet di tangan Luna dan ngambil isinya.

“Eh… apa-apaan, nih? Balikin dompet gue!”

Vici nyingkirin tangan Luna yang berupaya mengambil dompet itu kembali. Saat ia membuka kuncinya dengan menekan tuts buka pengunci dan tanda bintang, terlihat ada dua panggilan tak terjawab. Hanya sekali tekan, nomor hape Vini tertera di sana!



Source

Akhirnya, Luna terpaksa ngaku. Memang dia yang selama ini mengirim pesan-pesan singkat kepada Vini. Dia juga jujur mengakui naksir sama Vini. Vivi Undercover juga dia yang buat, dengan minta bantu sama temannya yang seorang fotografer. Tujuannya, biar anak-anak mikir Vini Vici itu pasangan lesbi. Trus, Vini Vici agak menjaga jarak untuk ngilangin gosip yang nggak sedap. Kesempatan itu membuat Luna bisa dekatin Vini. Soalnya, selama ini dia ngerasa nggak bebas karena di mana ada Vini di situ ada Vici.

“Aku memang jahat. Terserah kalian kalo mau menghukum aku.”

Vini Vici terdiam. Di satu sisi, mereka marah dengan Luna karena nyebar fitnah yang bisa membuat mereka malu. Tapi di sisi lain, mereka sangat menghargai kejujuran Luna, termasuk mengaku dirinya lesbi.

“Aku udah tiga kali pindah sekolah karena anak-anak pada tau aku lesbi. Tapi sekarang aku nggak mau pindah lagi. Hanya setahun lagi. Kasian papa mamaku…”

Vini Vici nggak tau harus bilang apa. Nggak mungkin kan kalo tiba-tiba mereka ngusulin kasus ini jadi laporan utama edisi pekan depan.



Source


“Thanks, informasi kamu A1. Dia udah ngaku, kok!”

“Tapi, Kak Vini nggak nyebutin nama aku, kan? Soalnya nggak enak dengan Kak Luna.”

“Tenaaang,” sahut Vici. “Yang namanya wartawan kan harus bisa merahasiakan identitas narasumber. Wartawan di Amrik, kabarnya ada yang rela masuk penjara buat lindungi narasumbernya. Di dunia masuk penjara, mungkin di akhirat nanti masuk surga.”

Mukhtar tersenyum. Cowok itu tadi emang sempat mendengar pembicaraan cowok-cowok sekelas Luna soal hape cewek itu yang ada dua plus foto-foto Vini di salah satunya. Mukhtar sama sekali nggak tau soal Vivi Undercover yang dibuat Luna, termasuk pengakuan rasa sukanya kepada Vini. Cowok itu hanya tau bahwa Luna-lah yang ganggu Vini dengan SMS selama ini.

Perkara itu, biarlah menjadi rahasia Vini Vici aja. Mereka lebih senang melihat Luna berubah, meski entah kapan, daripada memposisikan cewek tomboy itu sebagai musuh. Seperti dikatakan Norman Vincent Peale, kebencian dan dendan nggak akan nyakitin orang yang nggak kita sukai. Tapi malah menggerogoti perasaan kita setiap hari dan setiap malam.
Vini Vici belajar memahami itu. []

Badge_@ayi.png

Design by @jodipamungkas

DQmNuF3L71zzxAyJB7Lk37yBqjBRo2uafTAudFDLzsoRV5L.gif

Sort:  

you are a good writer..

Alhamdurillah!!

i give u back