Foto Tribunnews
SIANG mengheyat jiwa. Tubuh berpeluh. Matahari tak mau kompromi. Ingin membakar tubuh manusia. Disudut kampung, jauh dari suara bising. Jarang lalu lalang kendaraan. Jauh pula dari dosa-dosa politik. Tak ada yang meributkan kampanye. Tak ada meributkan pemilihan kepala kampung. Kepala kampung dipilih dengan suka cita. Siapa yang berhak, itulah yang mendapatkannya. Semuanya serba keluarga.
Gubuk kecil, asap meliuk terlihat dari kejauhan. Rumah orang kampung, terlihat mungil. Jika siang, dari kejauhan, dari puncak bukit, hanya terlihat seperti pondok di sawah. Kecil sekali. Bila malam tiba, lampu teplok meliukkan cahaya. Seperti kunang berterbangan di kuburan. Sangat menakutkan. Tak ada cahaya listrik. Tak ada pula jaringan telepon. Seluruh komunikasi, dilakukan dengan surat. Atau pesan pada masyarakat yang dipercaya.
Lakon itu, telah berlangsung lama. Puluhan tahun. Sejak negeri itu belum merdeka. Sejak Indonesia masih bergerilya. Sejak masih melawan penjajah Belanda. Semua telah berlangsung di sana. Masyarakat kampung, menyebutkan desa itu, desa kesejahteraan. Desa Rambung Teldak. Desa yang berada di Kecamatan Lawe Mamas, Aceh Tenggara.
Berbatasan dengan Sungai Alas, mengalir deras. Jika hujan datang, masyarakat berdo’a agar sungai itu masih bersahabat. Ya, bersahabat dengan alam sekitar. Tak menghantam seperti di daerah Semadam. Hancur, rata karena di terjang banjir bandang.
”Tidurlah Nak. Sudah malam. Tak usah temani Mamak. Mamak sebentar lagi juga tidur,” Ame Rika, menyuruh putrinya. Rika terdiam. Lalu kembali mengayam tikar pandan.
”Sedikit lagi Emak. Nanti, saya tikur. Sekalian dengan Emak.”
Sejurus Ame Rika terdiam. Lalu, tangannya teliti mengayam tikar. Warna-warni pandan dikolaborasikan. Satu tikar, paling pendek sepuluh meter. Mengerjakannya tak mudah. Butuh ketelitian.
Dan, memahami penggabungan warna yang apik. Ada warna merah, dipadukan dengan putih. Lalu, warna biru, dipadukan dengan unggu. Banyak sekali jenis warna tikar itu.
Masyarakat kampung memang sejak kecil diajarkan mengayam tikar. Tradisi nenek monyang. Jarang masyarakat yang tak mengerti cara memotok pandan berduri itu digunung. Umumnya, mereka teliti. Takut kena duri dan terluka.
Di cincng sesuai ukuran. Lalu, pandan itu dijemur. Ketika kering, untuk membubuhi warna, pandan harus direbus. Lalu dicelupkan kedalam pewarna. Dan, dikeringkan. Baru bisa dianyam.
”Mak, Adek tidur duluan ya. Sudah ndak tahan lagi ini mata.”
”Ya. Jangan lupa bakar anti nyamuk.”
Menjadi penganyam tikar, bukan impian. Namun, takdir tak bisa ditolak. Nasib memang berbeda. Dulu, empat tahun lalu. Ame Rika, memiliki warung kecil di sudut kampung. Menjual seluruh keperluan.
Orang kampung, menyebut kios itu terbesar. Kios lainnya, hanya gubuk reot tanpa dinding. Dari odol gigi, sampai nasi goreng ada di warung itu. Kopi pahit yang menjadi minuman favorit orang kampung juga ada.
Nasib memang beda. Semuanya sirna. Hitungan menit. Tak berlangsung lama. Kios itu dibakar oleh orang tak jelas. Masyarakat kampung menyebutkan, kios itu dibakar oleh dua orang. Bercadar. Dan mengenakan sarung diseluruh tubuh. Layaknya ninja di film-film holiwood.
Ditangan mereka, dua buah jeriken berisi minyak. Orang kampung keluar membantu menyelamatkan seluruh barang yang tersisa. Tapi, bangunan kayu itu terlalu cepat dimakan si jago merah. Ame Rika, lari tergopoh-gopoh menyelamatkan anaknya. Dia sudah janda. Suaminya, meninggal dunia. Terbawa arus sungai alas. Saat itu, Rika baru lahir. Malang, gadis itu juga tak sempat melihat gagahnya sang ayah. Orang yang sangat menyanyanginya.
Jam berdentang dua belas kali. Ame Rike, mengucekkan matanya. Merah. Dia terlihat lelah. Seharian dia bekerja menganyam dan mencari pandan. Tak ada pekerjaan lain di zaman sulit.
Tikar itu, menjadi gantungan hidup mereka. Tak ada pula pilihan lain, kecuali berjalan kaki berpuluh kilometer menembus hutan, menaiki gunung dan menyebrang sungai alas, menuju ibukota kabupaten. Menjual hasil anyaman di sana.
Dunia memang gila. Tak ada yang perduli ketika Ame Rika sengsara. Tak ada pula yang mau membayar hutang-hutangnya. Dulu, ketika warung masih ada, banyak sekali masyarakat yang mengutang. Prinsip berjualan di kampung memang begitu. Makan dulu baru bayar. Bayar pun belum tentu hitungan minggu, bisa bulan atau bahkan tahunan.
Padahal, bila hutan orang kampung dibayar, semua beban hidup tak begitu terasa. Ame Rika, bisa membuka kembali warung kecil-kecilan. Meskipun tanpa dinding. Meskipun dengan barang ala kadar. Jelas, nafas dagang masih bisa berdenyut.
Ame Rika, bangkit dari duduknya. Pinggangnya terasa sakit. Lalu, dia menuju sumur. Mengambil wudhu, untuk shalat tengah malam. Tahajud. Melaporkan semua keluhan pada Tuhan. Menyampaikan dan meminta harapan. Harapan tentang masa depan. Harapan tentang kebajikan dan harapan tentang hidup yang lebih layak. Harapan dan pengampunan dosa.
Angin gunung menerpa tubuh ringkih itu. Dirapatkannya kain panjang yang diselempangkan dibadan. Dikejauhan terdengar lolongan anjing. Desir angin dan gemercik air sungai alas yang deras.
Perlahan dibasuhnya muka, tangan, rambut penuh uban sampai ke kaki. Ame Rika sejurus terdiam. Memperhatikan ke semak belukar. Entah apa di sana. Sosok bayang tak jelas. Sosok orang yang mengendam. Hantu atau manusia?
Wanita ini mencoba mengamati lebih seksama. Lalu terdiam. Membungkung untuk memperhatikan gelagat tamu tak diundang. Tangan kanannya memegang batu. Dan, dar...dar..dar. Dentuman itu menghujam. Ame Rika limbung.
Matanya tertutup rapat. Ditengah desir angin. Tak ada yang memperhatikan. Lalu, tubuh ringkih itu tersungkur. Entah mati atau tidak. Kaku tak bergemik. Membeku seperti salju.
Mantafff
Trims ya
I love it when I find an article that makes me feel good while I'm reading. It's a beautiful point that flows with the current shift happening in humanity. I believe people want to do better and we are evolving into a more loving society.
you are a good writer..
Thanks
Hai, helo @halidabahri! Posting yang bagus dan telah kami upvote yah.. :-}