Hari ini tidak begitu cerah, mungkin kata lainnya mendung. Uh, pemborosan kata, tapi tak apalah. Lihatlah, matahari sepertinya enggan untuk terus menutup diri. Sedikit kejam, awan pun tak mau kalah untuk tampil di belantika langit yang begitu megah. Mendung sajalah, sudah.
Waktu di HP-ku menunjukan pukul 11.47 WIB. Raga ini masih berjalan di trotoar, dengan mata menjelajah setiap sudut bangunan--mencari masjid. Waktu shalat Dzuhur sebentar lagi tiba. Aku tak mau ketinggalan untuk ikut serta berderet bersama kaum muslim yang lain memenuhi undangan Sang Maha Pemberi Kehidupan awal waktu.
Tak begitu jauh dari tempat aku berjalan, masjid kecil dengan ornamen cukup manis telah ditemukan. Langkahku sedikit diperkencang. Setelah beberapa menit aku memasuki gerbang masjid, suara adzan yang begitu indah nan merdu terlantun dari dalam dengan sangat lembut. Hatiku seketika lemas setengah lega, kembali diberi kesempatan untuk mencicipi lantunan adzan shalat Dzuhur.
Beberapa menit kemudian setelah aku berwudu, shalat sunat qabliyah, aku melanjutkan berdiri karena iqamah tengah dikumandangkan. Raga ini segera berjalan, menyejajarakan barisan bersama manusia beruntung lainnya.
Shalat Dzuhur telah kami tuntaskan. Setelah shalat ba'diyah, aku berjalan keluar untuk kembali mencari kepastian hidup. Ketika merapikan tali sepatu, tiba-tiba keluar anak muda yang sepertinya seumuran denganku. Ia mengambil barang dagangannya. Beberapa merk kopi, susu dan satu termos tertata rapih dipikulannya. Dengan rasa setengah sadar, aku langsung menyapanya.
"Kopi, Kang, satu!"
Aku terdiam dan sedikit heran. Kenapa harus memesan kopi. Sepertinya pikiranku terhipnotis oleh urat wajahnya yang sedikit menarik perhatianku.
"Oh iya siap, Kang." Ia tersenyum. Wajahnya bersinar buah dari keramahan senyumnya. Di samping sebuah senyuman adalah salah satu dari teori kesuksesan berdagang, tapi aku yakin dia memang asli ramah.
Ia mendekatiku dan menyambut dengan basa-basi,
"Sambil rehat, dalam cuaca mendung gini emang paling enak ngopi, Kang," ucapnya seraya kembali melempar senyum.
Tangannya begitu terampil menyeduh dan mengaduk kopi. Sepertinya sangat berpengalaman.
"Iya bener. Harumnya bikin aku laper, Kang." Aku terkekeh, membalasnya dengan cukup akrab. Ia pun sedikit terbahak menyamai setelah mendengar guyonanku.
"Kerja di mana, Kang?" tanyanya sambil menyodorkan segelas kopi panas.
"Aku nggak kerja. Lagi nyari ini juga."
"Oh gitu. Tetep semangat yah, Kang. Semoga cepat dapet kerjanya," ucapnya seakan begitu tulus. Aku menganguk dan tersenyum, hatiku mengaminkan begitu menggema.
"Udah lama jualan, Kang?" Aku bertanya sedikit basa-basi juga.
"Lumyan, Kang. Dua tahun kurang lebih."
"Wah lama yah. Nggak niat cari kerja, Kang?" Sekarang aku bertanya sedikit penasaran.
"Orang seperti saya bisa apa, Kang. Mungkin hanya berdagang yang bisa saya lakukan."
"Ah asalkan punya ijazah, kita bisa melamar pekerjaan kok. nanti bisa belajar masalah kerjanya."
Aku berinisiatif untuk memberikan ia semangat. Berbagi tips sederhana agar percaya diri mencarai kerja. Tipsnya yaitu; ijazah.
"Hehe iya sih." Laki-laki berkulit sawo matang itu hanya menjawab sekenanya dan menunduk dibingkai senyum ramahnya.
"Ya udah, Kang. Saya mau melanjutkan dulu cari kerja. Nih uangnya. Makasih yah!" Aku merasa lega kembali. Walaupun tidak begitu sedang ingin ngopi, tapi secara tidak langsung aku telah membantunya dengan cara membeli dagangannya.
"Siip, Kang! Sama-sama."
Dua hari kemudian, Aku masih mencari pekerjaan. Berkeliking ke sana ke mari menjelajah kota Bandung.
Kini aku berjalan melewati salah satu universitas terkemuka di kawasan JL. Setia Budi. Aku termenung.
"Enak sekali mereka, bisa kuliah, senyum lepas seperti tanpa beban. Memang mereka beruntung dengan memiliki orang tua yang berkecukupan." gerutuku sambil menyeka peluh dan duduk memandang beberapa mahasiswa yang keluar berhamburan dari gerbang kampus.
Pandanganku seketika dipertajam. Ada satu mahasiswa beralmamater rapih. Aku melihat sesosok makhluk yang tidak asing. Manusia itu sepertinya berjalan sedikit terburu-buru. Ia melewatiku begitu saja.
Aku segera menguntit pergerakannya. Ia berjalan menuju sebuah tempat di pinggir masjid kecil. Tak lama kemudian, raganya kembali keluar dengan pakaian berbeda dan barang dipikul dengan erat. Ketika ia memandangku, sepertinya ia sedikit kaget. Aku tersenyum.
"Kopi satu, Kang!" ucapku.
Hi, I just followed and upvoted you :-)
Follow back and we can help each other succeed! @hatu
Hi, Ok Thanks :-)
Hidup adalah perjuangan. Saluut sama perjuangannya untuk kuliah sambil bekerja...hehe
Fiksi, Bang. Semoga ada di kisah nyatanya
Salam kenal😍
Hey, Salam kenal juga :-D
"Kopi satu bang" katamu
"jodoh satu bang" kataku wkwkwk
Mulai kumat nih .... Sabarrrrrrrrrrrrr
Wkwkwk
Suka lah sama alur ceritanya, dan juga endingnya yang tidak saya perkirakan.
Wah Terima kasih banyak, Kang @ariefdermawan :-D