Tidak menentu cuaca sepekan ini, hujan turun sementara matahari bersinar. Sore merah jingga dibuka gerimis yang mengendapkan debu, hembusan angin kencang hanya menerbangkan daun-daun kering yang gugur di jalanan awal kemarau bulan ini. “Datangkah ia di gerimis senja ini?” Seorang gadis menggumam di daun jendela kamarnya.
Lima kali sudah gerimis turun di awal Mei yang kering. Dari butir-butir air jatuh itu, Dara dibawa pada kata-kata awal yang datang saat jingga senja ke telepon genggamnya. “De, aku di depan rumahmu dalam gerimis. Re.”
Artnetwork | Adri
Pesan itu datang dari nomor asing. Dara berlari ke depan, namun yang didapat hanya bias jingga dari rintik-rintik air jatuh di langit, halaman rumah sepi, tak ada tubuh menunggu dalam basah yang dibayangkan Dara. Wajah seseorang dipenuhi bintik-bintik air sedang berdiri bergetar seperti pengemis kepanasan di depan pintu rumah siang kemarin. Dara menghempaskan tubuh ke tilam. Di dinding kamar, cahaya jingga menyatu dengan putih beton. Menciptakan bentuk-bentuk yang bergerak.
Pesan dari nomor asing itu selalu ditandai ‘Re’, entah itu semacam nama atau istilah lain yang kemudian mengendapkan tanya di benak Dara. Ia telah memberi tahu jika saja si pengirim salah nomor, namun di setiap gerimis datang, pesan singkat itu juga menyapa Dara, selalu saat rintik-rintik air mulai leleh di langit.
Dara membiarkan pesan-pesan itu memenuhi kotak masuk telepon genggamnya, tak satu pun dihapus. Setiap kali kampungnya disiram gerimis lembut, tidak sampai puluhan ribu langkah kaki, rumah kecil warna abu-abu terlihat tersendiri dari bibir pantai tempat nelayan memisahkan ikan kecil dan besar. Dara mendapatkan pesan itu seperti kiriman dari langit.
Di layar telepon genggam Dara, baris-baris kata membentuk kalimat yang bercerita tentang sesuatu di suatu ketika, tempat dan waktu terlalu samar tuk diraba. Di pesan itu tak ada singkatan-singkatan rumit. Kata-kata berbaris teratur dipisahkan tanda baca, menyambung memberi kunci pada makna tersembunyi. Sang pengirim seperti sedang menulis sapaan khas di atas lembar putih. kata-kata itu punya tujuan, Dara.
“Siapa kamu sebenarnya Re,” tanya Dara.
“Kau tak mengenalku?, tidakkah Re itu patahan kata?”
Kata yang dulunya menyatu dan terpisah kemudian oleh peristiwa. Re itu saksi. Re juga korban dari sejarah yang menindas. De, kamu kuntum harum yang menutupi anyir darah dan amis air laut. Almanak-almanak itu telah tercopot dari pengaitnya. Angka ke angka, selalu bermuka sama pada waktu lain hingga kali lain.
“Tapi aku bukan De yang kau maksud, aku Dara!”
Dara tidak mengerti dengan kata-kata itu. Namun Re seperti bayangan samar yang secara pelan membentuk ingatan lain yang tak disadarinya. Ingatan tak asing, kata Re menjadi nyata yang samar, berada di antara tiada.
“Aku bukan De, berhentilah mengirimiku pesan lagi!”
Sebelum layar telepon itu redup, Dara melihat kata De dan Re di pesan itu jatuh membentur lantai kamar. Kata De pecah dan menjelma sosok cewek dengan rambut tergerai lurus, lembut. Bulu alis menyambung membetuk garis tebal di atas sepasang mata coklat yang tajam.
Dara terpaku, “Tidak . . .” Ia menyentuh wajahnya.
Sebelum rasa takjud itu hilang. Huruf Re terurai menjadi sosok cowok. Ia itu tak asing, berbaju pantai gambar nyiur warna biru, kulit sawo matang, rambut ikal panjang yang basah. Saat lelaki itu tersenyum, Dara melihat perubahan pada dinding kamar menjadi biru bergelombang, lantai kamar berubah menjadi hamparan pasir putih yang dingin. Deru ombak dan kicau camar.
Jarum jam di dinding berputar mundur. Satu demi satu lembar almanak tercabut dan berhamburan di lantai. Seperti Minggu pagi di Laut Ulee Lheu, Dara melihat penampakan gambar yang samar.
“De, tangkap!” lelaki itu melemparkan sesuatu.
“Wah, cantik sekali.”
“Kamu suka?”
“Aku suka.” perempuan itu menggenggam kerang yang diterimanya.
“Mau pakai ini?” lelaki itu mengambil sebuah cincin dari kotak kecil warna biru dan memasangnya di jari manis si perempuan.
Dara melihat ke jari manisnya. Cincin serupa terpasang di sana, bahkan telah lama, Dara sendiri tidak ingat bagaimana cincin itu ada di jari manisnya. “Bukan, itu tidak mungkin!” pecahan ombak menghempaskan Dara pada penampakan berikutnya.
Perempuan yang dipanggil De itu melihat jari manisnya yang telah terpasang cincin emas, di situ terukir empat huruf tebal, d-e-r-e.
“Pasang untuk aku ya.” Ucap Re sembari menyodorkan jari manisnya.
Perempuan yang disapa De mengambil cincin putih dalam ukiran sama. Jari-jari tangannya bergetar ketika memasukkan benda itu ke jari manis Re. getaran itu semakin kencang, kencang sekali. De merasakan tanah pasir yang diduduki mereka bergetar, laut teraduk dan angin berhenti berhembus.
“Kenapa begini, Re?” De mendekap Re. Suara-suara gaduh pecah dalam jerit dan doa. Cincin putih itu terjatuh, satu ombak kecil menelan benda itu dari penglihatan De.
“Re, cincinnya jatuh,” ujar De, dia merasa sangat pening.
“Biarkan, ayo menjauh dari sini!” Re menarik tangan De
“Tapi…”
Laut semakin teraduk, pasir yang terpijak bergoncang ke segala arah. Jerit-jerit itu, doa-doa itu, De terhayun dan genggaman tangan Re terlepas.
“Re…”
Dara merasakan otot-ototnya melemas, rasa sangat pening mendera di bagian kepala, perlahan ia lunglai di lantai.
Dari arah belakang, suara gaduh puluhan kaki berlari berbaur bersama jerit dan doa. “Air laut naik, lari..!” teriakan itu. De terlihat tak sanggung melawan arus manusia. Re ikut menghilang dalam kerumunan.
Sebelum De berdiri, gemuruh itu kian terdengar melebihi suara jerit dan doa. Desau angin yang dilewati bah air itu melambaikan nyiur-nyiur. Pasir-pasir lekang dari tanah. “Tolong… tolong…” Teriakan-teriakan itu menghempas De sebelum semua gelap.
Di penampakan ini, Dara tidak mampu menggerakkan tubuhnya, sejuta rasa nyeri, badan yang terinjak seribu kaki. “Oh Tuhan, petaka itu…” ia tidak sanggup lagi menatap dinding ketika suara gemuruh air melebihi teriakan dan doa.
Seperti ribuan tapak kaki yang mengejar kencang. Dara merasakan tenggorokannya diisi segenggam pasir dengan tangan-tangan kasar. Ke tubuhnya, seember demi seember air panas yang pekat disiramkan oleh ratusan orang berseragam hitam. Saat ia tidak sanggup melawan, satu tangan kekar yang jari-jari tangannya dibungkus sarung putih mengangkat Dara dari upaya itu. Dara melihat naga, ular, dan hewan-hewan asing lainnya ikut memapah tubuhnya. Menggiring ia menjauh dari gumpalan panas pekat.
Dara menggigil. Ketukan di pintu membuat dia sadar, penampakan itu pecah seiring cahaya senja memasuki ruang.
“Ada yang mencarimu di luar, kasihan lelaki itu basah,” Dara mengusap pipi, gerimis di luar belum reda.
Impresif, imajinasi liar. Menunggu postingan fiksi lainnya.