Terompet

in #fiction4 years ago

imageedit_1_9041734404.jpg

Cerpen Mustafa Ismail

Setelah menyangkutkan rangkaian ikatan terompet-terompet itu di atas sepeda, Barjo masuk kembali ke dalam rumah. “Aku pergi ya. Doain terompet ini habis terjual hari ini,” katanya kepada Minah, isterinya. Sang istri yang sedang memberi ASI bayinya mengangguk pelan. “Ya, semoga terompet-terompet itu laku supaya bisa bayar uang semesteran sekolah Anto,” katanya.
“Sama susu si Dewi,” balas Barjo.
“Ya, ya. Juga buat beli susu kamu.”
“Lo, susu buatku kan sudah gak usah dibeli. Sudah dikontrak selamanya.”
“Dasar!”
Tanpa menunggu komentar istrinya lebih lanjut, Barjo sudah melesat ke luar, melompat ke atas sadel sepeda, dan berlalu. Minah mengikutinya dari belakang hingga di depan pintu sambil menggendong Dewi yang masih berumur 14 bulan. Ia terus menatap punggung suaminya yang sebagian ditutupi puluhan terompet aneka warna.
Barjo, Barjo. Ia seorang lelaki yang gigih. Sehabis pulang mengajar di sebuah sekolah dasar swasta, Barjo masih sempat mengojek. Sejak enam tahun lalu, setelah anak pertama mereka lahir yakni Anto, tiap akhir tahun ia berjualan terompet. Jika musim Ramadhan, Barjo berjualan kurma di penganan berbuka di pinggir jalan dekat kelurahan Pondok Petir. Tapi kalau berjualan terompet, ia suka mangkal di Pasar Pamulang.
Minah mencoba mengingat-ingat kali pertama ia bertemu Barjo.
* * *
Ketika sebuah sepeda motor menyerempetnya di daerah Ciputat, Minah langsung tidak sadarkan diri. Tapi sebelum terserempet, ia sempat melihat ke belakang untuk menyeberang jalan. Dari jauh, sebuah sepeda motor yang dikendarai oleh seseorang tanpa menggunakan helm melaju pelan. Tapi, entah bagaimana, tiba-tiba sepeda motor itu sudah sampai di depannya, dan ia terserempet kaca spion motor itu.
Minah juga tidak tahu siapa lelaki yang menyerempetnya. Tahu-tahu, ia menemukan dirinya di dalam sebuah rumah tertidur dengan tubuh terasa pegal. Di sampingnya ada beberapa orang, perempuan dan laki-laki. Ia mencoba mengingat-ingat lelaki mana yang menyerempetnya, tapi tidak berhasil. “Yang menabrak mbak buru-buru harus pergi. Tapi ia meninggalkan nomor telepon,” kata seorang perempuan yang tak ia kenal.
Dasar lelaki tidak bertanggungjawab. Jangan sampai aku menjadi istrinya. Minah mengutuk dalam hati. Tapi, entah bagaimana, perempuan tadi seperti tahu apa yang dipikirkannya. “Mas itu bukan kabur Mbak. Ia harus buru-buru ke apotik untuk menebus obat untuk orang tuanya yang sakit. Dia berjanji akan kembali kok. Tuh rumahnya selang dua gang dari sini,” kata orang itu.
“Mbak gak apa-apa kan?” tanya perempuan lain lagi.
Minah menggeleng. “Saya gak apa-apa.” Ia berusaha bangkit, dan duduk di bibir dipan. Diam sejenak, ia kembali teringat pada rencananya untuk membeli benang dan kain di Pasar Ciputat untuk praktek menjahit – bagian dari pelajaran dari tempat kursusnya. Kalau sudah terlalu sore, bisa-bisa toko kain sudah tutup. Ia pun buru-buru pamit pada tuan rumah.
“Apa tidak menunggu dulu mas yang menyerempet mbak tadi?”
“Tidah usah, Bu.”
* * *

“Apakah kamu percaya pada takdir?”
“Maksudmu?”
“Tuhan selalu menciptakan peristiwa atau alasan-alasan untuk mempertemukan seseorang dengan orang lain.”
“Ah, omonganmu terlalu tinggi. Nggak ngerti aku.”
“Begini. Tahukah kamu mengapa kita bertemu?”
“Ya, karena kakakmu menyerempet aku.”
“Itu dia yang kumaksud.”
“Apanya?”
“Peristiwa kamu terserempet oleh sepeda motor kakakku telah mempertemukan kita. Coba kalau kamu tidak terserempet, pasti kita tidak bertemu.”
“Kamu jangan ngomong muter-muter, puyeng aku. Kamu terus terang aja, apa maksudmu datang ke tempatku.”
“Aku mewakili kakakku mau minta maaf atas peristiwa itu.”
“Kenapa kakakmu nggak datang sendiri ke sini?”
“Kakakku lagi sibuk sekali. Sepulang mengajar, dia ambil kuliah lagi. Makanya dia mengutus aku ke sini. Ia baru punya waktu hari Sabtu dan Minggu. Nah, kalau menunggu Sabtu atau Minggu, kan terlalu lama.”
“Ya sudah, aku sudah maafkan.”
“Kakakku juga menyesalkan kemarin tidak bisa menunggumu sampai siuman dari pingsan.”
“Udah, enggak apa-apa.”
“Kakakku bertanya, apakah boleh kapan-kapan ia main ke tempatmu?”
“Ngapain?”
“Ya kenalan, silaturrahmi, sekaligus ingin menyampaikan permintaan maaf secara langsung.”
“Datang saja. Nggak ada yang larang.”
“Kalau aku boleh nggak datang lagi?”
“Ngapain?”
“Silaturrahmi.”
“Silaturrahmi melulu. Kan sekarang sudah silaturrahmi.”
“Berarti nggak boleh.”
“Boleh saja. Siapa saja boleh datang ke rumah ini.”
“Hore…!”
“Itu saja pakai hore.”
“Ya iyalah. Segala hal yang kita rasakan, kegembiraan maupun kesedihan, harus kita lepaskan selepas-lepasnya. Jadi hore itu bagian dari ungkapan kegembiraan.”
“Kamu ngomongnya bikin mumet. Aku bukan anak kuliahan, gak ngerti. SMA saja hampir nggak tamat. Kalau ngomong soal kain, benang, aku ngerti.”
“Kain dan benang ada filosofinya lo…”
“Ah, filosofi lagi… Udah ah, aku mau meneruskan menjahit.”
“Ngusir nih…”
“Aku nggak ngusir. Kamu nunggu aja aku menjahit.”
“Hore… Berarti aku masih boleh di sini.”
“Hore lagi. Dasar anak kecil.”
“Kecil-kecil sudah bisa bikin anak kecil lho.”
“Huss, saru kamu…”

                              *   *   *

Dua hari kemudian, sore Sabtu, lelaki itu datang lagi. Ia tetap sendiri. Minah seperti biasa, acuh tak acuh. Begitulah cara ia menghadapi laki-laki. Ia tidak ingin merasa sok akrab, sekaligus ia tidak mau dinilai sombong. Kalau ia tidak senang, ia tidak akan secara terus terang menampakkan sikap tidak senang. Begitu pula kalau ia senang pada seseorang, ia tidak akan secara gamblang pula menampakkan sikap senang. Sikap seperti membuat Minah menjadi seorang perempuan yang susah ditebak.
“Maaf, kakak saya hari ini juga tidak bisa datang. Ada keperluan mendadak. Jadinya aku lagi yang diutus ke sini,” tutur lelaki itu.
“Bilang aja yang sebenarnya mau kesini terus ya kamu. Kamu senang sama aku ya?” Minah berkata tanpa tedeng aling-aling. Ia melihat wajah lelaki itu tiba-tiba merah padam dan agak gelagapan mendapatkan serangan seperti itu.
“Tidak ada salahnya toh kalau aku suka sama kamu.”
Jawaban itu begitu mengejutkannya. “Ya tidak salah. Masalahnya, apakah aku juga suka sama kamu.”
“Kalau gak suka, aku pulang aja…”
“Pulang aja sana.”
“Bener nih nggak boleh masuk?”
“Terserah. Mau berdiri di depan pintu juga boleh.”
“Waduh, jadi perempuan kok tega amat.”
“Kamu pikir laki-laki tidak tegaan? Lebih tega laki-laki.”
“Tidak semua laki-laki lo.”
“Memang tidak semua laki-laki. Tapi semua laki-laki yang kukenal semua tega.”
“Tega apanya?”
“Mereka tega datang ke sini dengan tangan kosong. Mbok ya awa martabak atau pizza kek.”
“Ha..ha…”
* * *
Pertemuan demi pertemuan membuat mereka makin akrab. Dan baru belakangan lelaki itu membuka jati diri sebenarnya. Namanya Barjo. Rupanya, ia tidak ada hubungan apa pun dengan orang yang menyerempet Minah waktu itu. Bahkan, ia tidak kenal siapa orangnya. Selama ini ia berbohong bahwa yang menyerempet itu kakaknya agar ia punya alasan untuk datang menemui Minah.
Ketika ia terjatuh dan pingsan akibat terserempet, Barjo adalah orang yang membopongnya ke rumah tempat ia diistirahatkan sementara. Sebelum siuman, Barjo buru-buru pergi. Beberapa jam kemudian ketika Barjo kembali ke rumah itu, Minah sudah tidak ada. Tapi, ia berhasil mendapatkan alamat yang ditinggal Minah di rumah ibu pemilik rumah itu.
Mengingat kisah pertemuannya dengan Barjo, kadang Minah ingin tertawa sendiri. Konyol sekali orang itu. Ngaku-ngaku keluarga yang menyerempet. Penuh percaya diri pula. Tapi ia jadi memahami apa yang pernah dikatakan Barjo ketika bertandang ke rumahnya dulu soal takdir. Tuhan punya caranya sendiri untuk mempertemukan seseorang dengan orang lain.
* * *
Tengah malam, ketika bunyi terompet bergema bertalu-talu yang diiringi dengan bunyi petasan yang meletus ke udara, ia selalu berharap Barjo ada di sampingnya. Ia ingin sekali melewatkan pergantian tahun bersama-sama Barjo dan anak-anak. Misalnya meniup terompet bersama dan diikuti dengan berdoa bersama menyambut pergantian tahun itu. Atau mungkin jalan-jalan naik sepeda motor keliling kota untuk melihat suasana ramai pergantian tahun.
Tapi keinginan itu tidak pernah terwujud. Tiap detik-detik pergantian tahun, Barjo selalu belum pulang. Ya, ia baru pulang menjelang subuh. Setelah semua senyap. Setelah ia dan kedua anaknya lelap dibuai mimpi. Bahkan, terkadang, ia tidak tahu pukul berapa Barjo pulang. Yang ia lihat pagi-pagi ketika terbangun, Barjo sedang terlelap di sofa di ruang tamu rumah tipe 36 itu. Kadang sebelah kakinya disangkutkan ke kap sepeda motor yang di parkir persis di samping sofa.
Untungnya Anto, anak mereka yang besar, tidak pernah menuntut macam-macam. Mereka bahkan tidak pernah meniup terompet yang sengaja ditinggal ayahnya di rumah barang dua-tiga. Terompet itu justru lebih sering diberikan kepada tetangga. Anto tampak sangat memahami ayahnya yang sibuk mencari uang. Anto pun tidak merecoki ketika Minah mengerjakan jahitan dari tetangga-tetangga. Ia lebih banyak bermain dengan teman-teman sebayanya anak-anak tetangga di komplek perumahan sederhana itu.
Tapi pagi itu, ketika Anto bangun tidak melihat ayahnya, juga tidak melihat sepeda dengan beberapa terompet masih tergantung di sana, Anto terlihat gelisah. “Memangnya ayah belum pulang?” Minah, meskipun sejak subuh perasaannya sama sekali tidak tenang, berusaha menghibur anaknya. “Sebentar lagi Bapak pasti sudah sampai di rumah. Ayo, kita makan dulu,” katanya.
Hati Minah makin tak karuan ketika melihat berbagai kejadian di malam pergantian tahun itu, seperti perkelahian, orang berdesak-desakan sampai pingsan, hingga kecelakaan. Ia ingin sekali mematikan televisi, tapi Anto sudah duduk manis di depannya ikut menonton berita itu yang berselang-seling dengan berita-berita tentang pesohor merayakan tahun baru sampai acara hiburan mewah di hotel-hotel berbintang.
Depok, 03 Januari 2010