Metroplitan

in #fiction7 years ago

Oleh: @usmanosama (Muhammad Usman)

Tempat pemuas iming-iming, peruwujudan dari kebudayaan Barat, budaya sendiri terasingkan di sudut. Kota ini berkembang lantaran banyak pendatang dan pelajar hilir-mudik saban harinya. Semua mengadu nasib; berharap perubahan nasib dan hidup di hari-hari yang akan datang.

Kedatangan mereka semua ingin memuaskan dirinya; membasuh dari dari kebudayaan yang katanya desa. Banyak yang memilih tidak ingin pulang, tidak mau membangun kampung halaman, merasa lebih pas hidup di kota-kota besar.

Padahal, ada cerita mereka yang dinanti oleh sanak-saudara di kampung halaman, sudah pasti saat mereka pulang banyak pendengar budiman yang bersedia mendengarkan cerita sukses dan pahit perjuangan di rantau orang. Bisa dimaklumi, pantang pulang bila belum menjadi pemenang dan penantang sukses di rantau.

Disini tiada beda lagi, siang dan malam. Lampu berlimpah di berbagai simpang hingga mampu menampakkan lubang semut sekalipun di ujung sana.

Kenapa tidak pulang? Sebab semakin malam fantasi yang ditawarkan juga makin beragam, seolah-olah mereka semua tidak lagi istirahat. Suara alunan pengajian juga tidak terdengar, suara besar yang terdengar alunan lagu dan orang berteriak di berbagai sudut karena sedang berlangsung pesta ulang tahun.

Kehidupan yang dibentuk juga bukan meningkatkan nilai moral, malah penurunan, dan tidak ada hentinya itu belangsung terus menerus, sebab kami menyebutnya Metropolitan.

Aceh Utara, 19 Maret 2018
@usmanosama

Sort:  

Seperti bandrek. Diseduh semakin malam semakin nikmat. Daun-daun yang menggugur tak lagi jadi penentu sebuah sikap turun temurun dulu. Dimana alam adalah hati dan jiwa yang menyatu. Ya, semuanya bermuara pada Metropolitan tadi.

Postmodernisme dalam catatan yang dibalut dengan kegalauan. Tulisan yang bagus bang @usmanosama

Asyik banget bandreknya, bandrek dan pisang goreng panas bagaikan sejoli dalam pasar .

Harapang yang tak suram untuk masadepan
Nice post tgk osama

Bereh adun