Oleh Sayed Muhammad Husen
Saya berjumpa kembali dengan guru manajemen ZIS, Eri Sudewo, sekitar tahun 2007 di Banda Aceh, setelah mendapat materi pelatihan darinya di Jakarta tahun 2004. Satu hal yang selalu saya ingat dari pengalamannya lebih 10 tahun memimpin Lembaga Amil Zakat Dompet Dhuafa (DD): bahwa yang terpenting dalam pengelolaan ZIS adalah kapasitas sumnber daya manusia (SDM) amil. Selama ini, katanya, teman-teman mengandalkan kreativitas untuk melahirkan inovasi program. “Kreativitas tak mungkin lahir tanpa kualitas amil yang baik,” katanya.
Benar saja apa yang kami alami pada awal pembentukan Baitul Mal Aceh (BMA) sebagai badan amil resmi di Aceh, pengganti BAZIS. Keyakinan Kepala BMA ketika itu Drs HM Yusuf Basan SH, bahwa badan amil ini harus dimulai menggerakkannya dengan SDM yang berkualitas. Wajar saja keyakinan itu, karena dia memang seorang pengajar di Fakultas Hukum Unyiah, yang sehari-hari meningkatkan kualitas SDM bangsa.
Apa yang dilakukannya? Pertama, dia merekrut amil dari orang-orang berpengalaman di bidangnya, misalnya, Raihan Putri (dosen UIN), M Nasir Basyah (dosen Unsyiah), dan T Khairul (mantan pelaksana BAZIS). Saya sendiri dianggap berpengalaman 5 tahun sebagai Direktur Baitul Qiradh Baiturrahman.
Kedua, dia membuat kebijakan mengirimkan teman-teman amil untuk mengikuti pelatihan dan magang manajemen ZIS ke Pusat Pungutan Zakat (PPZ) Malaysia, IMZ dan DD di Jakarta. Saya sendiri minta dikirim ke IMZ dan DD Jakarta, dengan alasan akan lebih mudah mengaplikasikan pengalaman dari sana dibandingkan dari luar negeri yang sudah lebih maju. Dari pembekalan selama pelatihan dan magang itu, akan memudahkan amil dalam merencanakan dan melaksanakan program/kegiatan ZIS. Amil juga telah memiliki mimpi kemana kapal amil ini akan berlayar dan berlabuh.
Ketiga, menyeleksi ulang karyawan amil yang selama ini sudah bekerja di BAZIS, yang kemudian beralih menjadi karyawan amil BMA, serta memberi kesempatan calon amil lainnya mendaftar dan mengikuti seleksi sesuai formasi yang diperlukan. Seleksi karyawan amil ini bekerjasama dengan Lembaga Manajement Fakultas Ekonomi Unsyiah. Ada puluhan pencari kerja mengikuti seleksi, wawancara dan psikotest.
Dari pengalaman ini, meyakinkan saya bahwa apa yang dikatakan Eri Sudewo adalah suatu keniscayaan; badan amil haruslah merekrut tenaga kerja secara terbuka, sehingga mendapatkan potensi SDM yang memiliki kapasitas dan integritas. Selanjutnya mereka dilatih dan dibina berkelanjutan, sehingga memiliki kepribadian amil dan mampu bekerja profesional. Mareka bekerja sebagai transformer yang mengubah nasib kaum miskin menjadi berdaya. Mereka mampu menjadi tenaga marketing ZIS yang andal.
Peran dan kiprah BMA berikutnya tentu saja sangat dipengaruhi kepemimpinan dan visi misi yang dirumuskan. Hingga sekarang ini BMA pernah dipimpin mantan pajabat pemerintah (birokrat), dosen dan “pejuang”, tentu saja mereka ikut mewarnai kebijakan di bidang SDM.
Dan, dapat saya katakan, seakan kepemimpinan BMA ibarat sejarah yang terputus dengan Kepala BMA pertama M Yusuf Hasan. Sejarah itu memang terputus oleh tsunami 2004 dimana beliau meninggal dalam ie beuna itu. Semoga saja kita mampu menyambung kembali dengan sebuah kesadaran: betapa pentingnya SDM amil yang memiliki kapasitas dan integritas.
Amil sejati..hehehe..
Itu baru mulai, 2004