Hujan yang mengguyur sore itu tidaklah terlalu deras dibandingkan dengan sore sebelumnya. Lebih dari cukup jika difungsikan untuk merontokkan debu-debu yang menempel pada kelopak bunga. Daun-daun terlihat lebih hijau setelah hujan mengguyur.
Ketiga kalinya hujan telah reda pada sore itu. Namun mendung di atas sana masih sangat tebal. Langit belum terlihat cerah. Mungkin nanti hujan akan turun lagi, merontokkan lagi debu-debu yang hinggap di bunga-bunga yang harum. Dari sisa-sisa hujan tercium semerbak aroma harum.
Sebatang pohon setinggi dua meter berada di depan sebuah hotel yang sengaja ditanam dalam pot, dan nampak terawat. Dari setiap ujung daun dan bunganya meneteskan air sisa-sisa hujan yang mengguyurnya. Seiring bulir air menetes, harum semerbak Seulanga juga pecah di tengah udara dingin.
Aroma kental seulanga masuk ke rongga hidung bersama udara dingin yang dihirup oleh orang-orang yang berada di seputaran hotel. Godaan harum seulanga membuat saya menyamperinya. Beberapa tangkai saya petik untuk mendapatkan aromanya lebih kuat. Menghirup udara dingin yang menyatu dengan semerbak seulanga setelah hujan reda membuat suasana begitu relaks.
Bunga seulanga sudah menjadi bunga khas Aceh. Aromanya juga begitu khas. Jika sedang mekar, harum semerbaknya akan dibawa angin, dan menjadi pengharum alam. Tidak heran, jika bunga ini sering ditanam banyak di taman-taman.
Bagi masyarakat Aceh, seulanga begitu istimewa. Banyak syair Aceh yang menggambarkan keistimewaannya. Bahkan seulanga sering diistilahkan sebagai wanita Aceh yang mempesona, indah budi pekertinya, dan harum ilmu agamanya.