Aku ingat sekali momen itu, sehabis melepas tiga malam, tiga siang, dan empat sore. Sehabis kita membungkus diri kita masing-masing dengan hangat dan menghembus nafas bersama sambil berbagi tawa atas canda yang memang membuat kita seperti para pecandu. Aku ingat, kamu berbalik sebanyak tiga kali ketika hendak berpisah, untuk tersenyum dan melambaikan gestur ucapan selamat tinggal kepadaku. Aku seperti orang gila, senyuman kosong menghiasi rautku saat aku terus berharap kamu menoleh kearahku. Aku ingat di stasiun itu sangat ramai, lautan manusia yang penuh emosi karena baru saja dipisahkan dengan para sosok-sosok tersayang karena libur lebaran telah sampai pada titik.
Ketika kamu sudah lepas dari pandangku, aku merasa sama seperti ratusan manusia disekitarku, warnaku dirampas dan aku turut menjadi abu, sama seperti mereka semua. Cukup keras, pukulan perasaan yang aku rasakan. Aku ingat proses pikir yang menjelma tubuhku saat itu, aku butuh udara, dan asap nikotin. Langkah ku berjalan kearah area terbuka, hiruk piruk ibukota lengkap dengan ciuman matahari senja dan paduan suara klakson kendaraan roda dua dan empat pada sore itu menemani proses bunuh diri perlahanku dengan batang rokok yang sudah dibibir. Aku ingat hembusan asap pertamaku yang seiring dengan dikeluarkanya telepon genggam dari kantong celana. "Hati-hati dijalan ya! kabarin kalo udah sampe." yang kemudian diiringi oleh beberapa ucapan terima kasihku atas kunjunganya.
Rasanya memang pilu, aku tahu itu. Setiap temu yang sejenak ini membuat kita semakin kering. Desertifikasi. Iklim kita yang berubah, ditambah dengan campur tangan kita sebagai manusia dalam menentukan pilihan. Kita menjadi seperti gurun yang kering. Diselingi setiap ingatan akan kepolosan tawa kita dihari-hari ketika aku masih menghuni kota kembang, aku sering tersenyum. Simbolisme yang muncul membuatku jenaka. Jelas saja, kota kembang merangkai sejumlah kenangan yang meriah, indah, sejuk dan menyenangkan, namun ketika angkat kaki ke ibukota, kita menjadi kering, bak kembang yang tidak pernah lagi disiram. Desertifikasi.
Didalam selimut tembok dan atap yang seharusnya menjadi rumahku ini, aku kembali mencoba menerka semua tentang kamu. Sama seperti biasanya ketika aku memikirkanmu, polosmu itu selalu menjadi sesuatu yang sangat aku idolakan. Tulisan ini lahir atas kumpulan emosi yang aku rasakan ketika sedang melakukan itu, mungkin untuk yang kesekian kalinya, namun kali ini aku rasa perlu untuk menuliskan kata-kata ini.