BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pakan ternak merupakan kebutuhan primer dalam dunia usaha ternak secara intensif dimana biaya pakan dapat mencapai 70 % dari total biaya produksi. Di Indonesia kebutuhan akan pakan masih mengandalkan produk impor sehingga jumlah impor pada setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Di pihak lain, indonesia memiliki bahan pakan lokal yang melimpah namun belum lazim digunakan. Salah satu diantaranya adalah lumpur sawit. Beberapa penelitian mengatakan bahwa lumpur sawit dapat digunakan sebagai pakan untuk ternak, namun kandungan serat kasar yang tinggi serta kecernaan gizi yang rendah, sehingga penggunaanya masih sangat terbatas. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan bahan pakan ini adalah melakukan proses fermentasi. Proses fermentasi dapat meningkatakan kadar protein, asam amino serta menurunkan kadar serat lumpur sawit.
Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan alternatif adalah salah satu solusi untuk menanggulagi kekurangan pakan ternak . Dengan diversifikasi pemanfaatan produk samping (by-product) yang sering dianggap sebagai limbah (waste) dari limbah pertanian dan perkebunan menjadi pakan dapat mendorong perkembangan agribisnis ternak secara integratif dalam suatu sistem produksi terpadu dengan pola pertanian dan perkebunan melalui daur ulang biomas yang ramah lingkungan. Limbah pertanian terdiri dari aneka ragam jenis, dapat berupa limbah industri perkebunan seperti lumpur sawit, bungkil inti sawit, bungkil kelapa, limbah kakao atau limbah industri kecil seperti onggok, ampas sagu, ampas ubi, ampas tahu, dan lain-lain.
Pada ternak ruminansia umumnya limbah yang melimpah ini dapat dimanfaatkan langsung sebagai pakan ternak tetapi tidak pada unggas. Kadar protein, daya cerna dan asam amino yang rendah serta serat kasar yang tinggi biasanya menjadi faktor pembatas dalam penggunaannya sebagai pakan unggas. Untuk menurunkan serat kasar dan meningkatkan nilai nutrisi pada limbah pertanian dibutuhkan suatu proses yang dapat mencakup proses fisik, kimiawi, maupun biologis antara lain teknologi fermentasi.
Teknologi fermentasi adalah proses penyimpanan substrat dalam keadaan anaerob dengan menambahkan mineral, menanamkan mikroba di dalamnya, dilanjutkan dengan inkubasi pada suhu dan waktu tertentu dengan tujuan untuk meningkatkan nilai gizi terutama kadar protein dan menurunkan kadar serat. Penggunaan teknologi fermentasi untuk meningkatkan nilai gizi limbah pertanian sebagai sumber pakan alternatif dapat membantu pemecahan masalah kekurangan bahan pakan unggas dan permasalahan limbah yang tidak termanfaatkan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teknologi Fermentasi
Teknologi fermentasi adalah suatu teknik penyimpanan substrat dengan penanaman mikroorganisme dan penambahan mineral dalam substrat, dimana diinkubasi dalam waktu dan suhu tertentu. Penggunaan teknologi fermentasi pada umumnya dilakukan dengan menggunakan substrat padat dalam wadah yang disebut fermentor. Pada proses teknologi fermentasi, mikroorganisme (Tabel 1) dibutuhkan sebagai penghasil enzim untuk memecah serat kasar dan untuk meningkatkan kadar protein.
2.2 Contoh Fermentasi Pakan Ternak
2.2.1 Fermentasi Lumpur Kelapa Sawit Sebagai Pakan Ternak
Broiler salah satu ternak unggas yang bisa menghasilkan daging dalam waktu yang relatif singkat. Namun demikian dalam pemeliharaan broiler, ransum merupakan faktor produksi yang membutuhkan biaya paling tinggi (60-70%). Harga ransum ayam di Indonesia relatif mahal dibandingkan dengan nilai jual produk unggas, sehingga tidak jarang peternak unggas mengalami kerugian. Salah satu penyebab tingginya harga ransum di Indonesia adalah sebagian besar bahan dasar ransum masih diimpor. Misalnya, pada tahun 2001, Indonesia mengimpor jagung sebanyak 1.035.797 ton dan bungkil kedelai 1.570.187 ton.
Untuk menekan biaya produksi perlu diupayakan penggunaan bahan lokal yang belum umum digunakan, harga murah, mudah didapat, nilai gizinya cukup baik serta tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Salah satu diantaranya adalah pemanfaatan sisa-sisa pabrik atau industri pembuatan minyak kelapa sawit (CPO). Lumpur sawit (LS) merupakan salah satu produk samping pengolahan minyak kelapa sawit. Produksi lumpur sawit akan terus meningkat dengan meningkatnya produksi minyak sawit di Indonesia.
Jumlah produksi lumpur sawit sangat tergantung dari jumlah buah sawit yang diolah. Menurut DEVENDRA (1978), lumpur sawit (setara kering) akan dihasilkan sebanyak 2% dari tandan buah segar atau sekitar 10% dari minyak sawit kasar yang dihasilkan. Bila pada tahun 2001 jumlah minyak sawit yang dihasilkan sebanyak 6.325.700 ton, maka jumlah lumpur sawit yang dihasilkan adalah sebanyak 459.590 ton kering/tahun.
Lumpur sawit sebagai bahan pakan unggas belum lazim dilakukan. Bahkan lumpur sawit dinggap sebagai sumber polusi karena tidak digunakan. Hal ini karena kedua bahan tersebut mempunyai nilai gizi yang rendah, terutama karena kandungan serat kasar yang tinggi (12-16%) dan kandungan protein/asam amino yang rendah. Lumpur sawit mengandung serat kasar yang tinggi serta daya cerna yang rendah sehingga penggunaannya dalam ransum unggas sangat terbatas. Untuk itu perlu dilakukan beberapa upaya pengolahan agar penggunaannya bisa ditingkatkan. Salah satu usaha untuk meningkatkan nilai gizi lumpur sawit untuk pakan adalah melalui proses fermentasi.
Melalui teknologi fermentasi, kemungkinan kadar protein bahan baku tersebut di atas dapat ditingkatkan dan kadar serat kasarnya dapat diturunkan.Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa fermentasi lumpur sawit denganAspergillus niger dapat meningkatkan kadar protein sejati.
Akan tetapi, dalam proses fermentasi perlu diperoleh teknik agar produk fermentasi mempunyai mutu yang baik, stabil dan sesuai dengan kebutuhan unggas. Kualitas yang stabil sangat diperlukan dalam formulasi pakan unggas. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, kualitas produk (kadar protein) sangat bervariasi antar batchpembuatan. Hal ini akan menjadi kendala dalam penyusunan ransum yang tepat. Oleh karena itu, faktor lingkungan yang mem-pengaruhi keragaman kualitas produk ini akan diteliti.
2.2.2 Metode Penelitian
Alat dan bahan
Alat yang digunakan:
Gelas kimia
Baki plastiK
Pengaduk
Kantong plastik
Alat kukus
Inkubator
Bahan yang digunakan:
Lumpur sawit kering
Asperigillus niger
Air
Ammonium sulfat
Urea
NaH2PO4
MgSO4
KCL
Prosedur kerja
Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
Substrat yang akan di gunakan di sterilisasikan terlebih dahulu dengan cara mengukus pada suhu 1000C selama 30 menit.
Setelah di sterilisasikan di dinginkan sebelum di lakukan inokulasi
Inokulasi di lakukan dengan cara mengaduknya secara homogen
Di tambahkan amonium sulfat, urea, natrium dihidrogen fosfat, magnesium sulfat dan kalium klorida untuk penambahan nitrogen dan mineral.
Substrat yang telah di inokulasi di masukkan ke alam baki plastik yang sudah di sterilisasikan terlebih dahulu lalu di tutupi dengan baki plastik yang sama.
Di inkubasi selama 2-4 hari pada suhu 39 – 42˚C
Hasil inkubasi dipanen lalu di lanjutkan dengan proses enzimatis selama 2 hari
Selama proses enzimatis, pertumbuhan kapang dihentikan hanya sampai tahap miselium dengan cara memadatkan hasil inkubasi di dalam ruangan yang kedap udara. Cara ini dilakukan sampai kapang tidak berspora.
Setelah proses enzimatis diteruskan dengan proses pengeringan produk pada suhu 60oC hingga kadar air sekitar 11%
Bahan yang sudah kering di gunakan sebagai produk fermentasi
2.3 Mikroorganisme dan Substrat
Mikroorganisme yang digunakan dalam proses fermentasi (Tabel 1) sangat beraneka ragam seperti; kapang, bakteri, maupun campuran bakteri dengan kapang. Kapang merupakan salah satu mikroorganisme yang dapat meningkatkan kadar protein pada bahan atau limbah pertanian berprotein rendah dan menurunkan kadar serat pada bahan pakan berserat tinggi. Pada umumnya, proses fermentasi pada limbah pertanian menggunakan A. niger,karena A. Niger mudah didapat atau diproduksi, mudah beradaptasi pada substrat yang akan ditanami. Tetapi perlu diperhatikan bahwa penggunaan mikroorganisme pada proses fermentasi tergantung pada substrat yang digunakan, misalnya Aspergillus nigertumbuh baik pada lumpur sawit sedangkan Rhizopus oligosphorustidak tumbuh baik. Hal ini kemungkinan ada suatu zat pada lumpur sawit yang tidak mendukung pertumbuhan R. oligosphorustapi tidak menghambat pertumbuhan A. niger.
Mikroorganisme dapat tumbuh baik pada substrat apabila makro dan mikro-nutrisi yang dibutuhkan mikroorganisme tersedia pada substrat dan suhunya sesuai dengan yang dibutuhkan mikroorganisme bersangkutan. Selain kapang juga digunakan bakteri seperti bakteri campuran (EM-4/bakteri asam laktat). Substrat seperti bungkil kelapa, bungkil inti sawit, dan lumpur sawit sebenarnya masih mengandung kadar lemak yang tinggi dibandingkan dengan onggok atau ampas tahu. Tetapi walaupun begitu ternyata A. nigerdapat tumbuh baik pada substrat ini. Dengan demikian A. Niger merupakan jenis kapang yang mudah beradaptasi dengan berbagai macam substrat.
2.4 Kandungan Gizi Lumpur Sawit Dan Pemanfaatannya
Lumpur sawit yang dihasilkan industri pengolahan sawit masih belum dimanfaatkan secara ekonomi. Di areal perkebunan, lumpur sawit digunakan sebagai penimbun jurang, bahkan lumpur sawit sering dibuang sembarangan sehingga menimbulkan polusi bagi masyarakat di sekitar perkebunan. Lumpur sawit kering mengandung zat gizi yang hampir sama dengan dedak, akan tetapi bahan ini mengandung serat yang cukup tinggi. Berbagai peneliti sudah melaporkan kandungan gizi lumpur sawit yang sangat bervariasi. Komposisi kimia dan kandungan gizi lumpur sawit yang dikutip dari berbagai sumber pustaka disajikan pada Tabel 1. Besarnya variasi ini mungkin tergantung padabanyak hal, termasuk pada perbedaan proses pemisahannya dari minyak sawit. Tingginya kadar serat kasar (11,5−32,69%) dan kadar abu (9−25%) dalam lumpur sawit, disamping ketersediaan asam amino yang rendah, menjadi faktor pembatas dalam pemanfatannya untuk bahan pakan ternak monogastrik.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memanfaatkan lumpur sawit sebagai bahan pakan untuk ternak ruminansia dan non ruminansia. Melaporkan penggunaan lumpur sawit untuk menggantikan dedak dalam ransum sapi perah jantan maupun sapi perah laktasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggantian semua (100%) dedak dalam konsentrat dengan lumpur sawit memberikan pertumbuhan dan produksi susu yang sama dengan kontrol (ransum tanpa lumpur sawit). Bahkan ada kecenderungan bahwa kadar protein susu yang diberi ransum lumpur sawit lebih tinggi dari kontrol.
Melaporkan bahwa pemberian lumpur sawit kering dalam ransum ayam ras petelur hingga 20% tidak menyebabkan gangguan terhadap produksi telur, bobot telur, efisiensi penggunaan pakan dan kualitas ("haugh unit/HU") telur. Level ini dianggap cukup aman untuk diberikan pada ayam ras petelur, tetapi lumpur sawit yang digunakan mengandung serat kasar (16,8%) yang cukup rendah dan protein (13,0%) yang cukup tinggi dibandingkan dengan kadar serat kasar dan protein lumpur sawit yang umum dilaporkan (Tabel 1).
2.5 Peningkatan Nilai Gizi Lumpur Sawit
Rendahnya nilai gizi dan tingginya kadar serat menyebabkan lumpur sawit tidak umum digunakan sebagai bahan pakan ternak. Oleh karena itu, nilai gizi bahan tersebut perlu ditingkatkan agar dapat digunakan sebagai bahan pakan. Salah satu usaha yang dilakukan di Balai Penelitian Ternak untuk meningkatkan penggunaan limbah sawit adalah dengan teknologi fermentasi. Pada prinsipnya, teknologi fermentasi iniadalah membiakkan mikroorganisme terpilih pada media lumpur sawit dengan kondisi tertentu sehingga mikroorganisme tersebut dapat berkembang dan merubah komposisi kimia media tersebut menjadi bernilai gizi lebih baik. Pada beberapa penelitian yang sudah dilakukan di Balai Penelitian Ternak, fermentasi dilakukan dengan menggunakan Aspergillus niger karena lebih mudah tumbuh pada media lumpur sawit dan nilai gizi hasil fermentasi dianggap cukup baik.
Aspergillus niger sudah umum digunakan dalam proses fermentasi secara komersil dan dapat menghasilkan enzim-enzim amilolitik, proteolitik dan lipolitik. Enzim yang dihasilkan selama proses fermentasi ini diharapkan dapat memecah serat yang cukup tinggi di dalam lumpur sawit menjadi molekul karbohidrat yang lebih sederhana, sehingga meningkatkan jumlah energi yang dapat dimetabolisme oleh ternak. Proses fermentasi ternyata dapat meningkatkan nilai gizi lumpur sawit, antara lain meningkatkan kadar protein kasar, kadar protein sejati dan menurunkan kadar serat kasar.
2.6 Kendala Pemanfaatan Produk Fermentasi
Beberapa tahapan proses yang mungkin membuat biaya proses fermentasi menjadi tinggi adalah proses pengeringan karena kandungan air lumpur sawit yang cukup tinggi. Disamping itu, proses fermentasi yang dikembangkan pada prinsipnya adalah untuk menumbuhkan kapang pada media lumpur sawit. Untuk itu, dilakukan usaha meminimalkan persaingan dengan mikroorganisme yang tidak diharapkan melalui pengukusan atau sterilisasi. Proses ini juga mungkin akan menyebabkan biaya tinggi. Teknik-teknik yang mungkin dapat dilakukan untuk meminimalkan biaya dilakukan misalnya dengan memanfaatkan sumber energi yang tersedia di pabrik sawit.
Meskipun proses fermentasi, dapat meningkatkan kandungan gizi dan menurunkan kadar serat lumpur sawit, masih ada faktor pembatas dalam pemanfaatannya. Seperti umumnya protein sel tunggal, protein produk fermentasi didominasi oleh RNA (ribonucleic acids). RNA dalam bahan pakan terfermentasi mungkin menjadi faktor pembatas, karena dapat menyebabkan gangguan metabolisme dalam tubuh ternak. Melaporkan bahwa pemberian 1% RNA dalam ransum broiler sudah menyebabkan penurunan konsumsi pakan, laju pertumbuhan dan mengganggu fungsi ginjal.
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://ternakpakanpnup.blogspot.com/2014/04/makalah-produksi-pakan-ternak-dengan.html