Tersebutlah di saat saya duduk di kelas 3 Tsanawiyah, ada seorang guru sejarah dan geografi yang sangat saya kagumi. Di bidang geografi, beliau bisa menggambar peta dunia, bagian-bagiannya, cukup mendetil. Seolah jelas skala berapa banding berapa. Jika beliau mengajar sejarah, khususnya sejarah Indonesia, beliau sejatinya tak perlu buku. Saya paling senang jika beliau bercerita. Ceritanya tentang Soekarno, Megawati di Amerika, dan kisah-kisah sejarah lainnya runut dan asyik didengar. Saat mengisahkan Soekarno, tak luput beliau menyinggung kisah poligaminya. Bagaimana Soekarno dengan Utari, lalu bertemu Inggit, kemudian terpesona oleh Fatmawati dan seterusnya, dan selanjutnya.
Malangnya, saya hanya ingat nama belakang sang guru sejarah : Hanafiah. Saya tanyakan di grup reuni sekolah, tiada satu pun yang ingat pasti nama depan beliau. Saya tidak menyerah. Akhirnya dari Fauziah, anak Lamdingin yang seingat saya sang guru dulu juga tinggal di sana, memberi jawaban menggembirakan : Abasah Hanafiah. Semoga tidak salah 😅
Suatu kali, entah apa bahasannya, tiba-tiba guru kami itu bercerita tentang sebuah keluarga, sepasang suami isteri muda yang bersahaja, berasal dari jawa, bertugas sebagai guru di suatu daerah. Saban hari sang suami pergi mengajar naik sepeda. Bajunya itu-itu saja. Kehidupan keduanya sangat sederhana. Beberapa tetangga yang iba lalu menghadiahi mereka ala kadar apa yang mereka punya. Di antaranya : kain panjang batik.
Tak dinyana, sang istri ternyata pintar menjahit. Kain panjang hadiah tetangga menjelmalah baju kerja sang suami. Rapi sekali jahitannya. Kain sisa dibuat baju sendiri. Melihat hasil yang demikian, berbondong-bondonglah orang memercayakan jahitan pakaiannya pada sang isteri.
Perlahan-lahan, kehidupan pasangan itu semakin mapan. Hanya satu yang kurang, keduanya tidak kunjung dikaruniai buah hati. Terbetiklah ide sang istri menyuruh suaminya menikah lagi, sebab ia sangat ingin menimang anak. Tidak dari rahimnya, yang penting anak dari suaminya. Berbagai caralah si isteri membujuk sang suami agar menikah lagi.
"Baiklah, tapi harus ibu yang pilihkan." Jawab suaminya suatu hari.
Bersungguh-sungguh, sang isteri mulai meneliti sekitar. Sehingga akhirnya cukup yakin ia menjatuhkan pilihan pada seorang perempuan, gadis rupawan. Singkat cerita, sang isteri berhasil mengurus segala sesuatunya untuk pernikahan kedua sang suami, mulai dari lamaran, sampai tuntas urusan pernikahan. Keduanya kemudian tinggal satu atap, beda kamar.
Singkat cerita lagi, suaminya dan isteri kedua berhasil punya keturunan. Kehidupan mereka juga semakin mapan. Rumah semakin besar. Isteri pertama membujuk isteri kedua agar bersama-sama mencari isteri ketiga bagi suaminya. Ia benar-benar menginginkan keluarga besar. Demikianlah terus kehidupan mereka berlangsung, sampai sempurna sang suami punya empat isteri dan banyak anak. Isteri ketiga dicarikan oleh isteri pertama dan kedua. Isteri keempat dipinang oleh isteri pertama, kedua dan ketiga. Segala hal mereka musyawarahkan. Keempat isteri tinggal satu atap, beda kamar. Sang suami mengingat jatah masuk kamar berdasarkan letak kopiahnya. Setiap pagi, setelah selesai urusan di kamar satu isteri, kopiahnya akan digantung di pintu kamar isteri berikutnya. Demikian terus bergiliran. Tidak ada yang iseng atau saling mengerjai antar isteri.
Tak cukup seideal itu, sang guru menambahkan cerita, sedemikian rukunnya keluarga itu, sampai-sampai anak-anak mereka tidak tahu yang mana ibu kandungnya. Semua ibu menyayangi mereka tanpa perbedaan. Sama disayang.
Kemudian lagi, setiap sang suami membeli barang kebutuhan, semacam kain bakal pakaian, suami tetap menyerahkan pembagian pada isteri pertama. Semua belanja dipercayakan pada isteri pertama. Tapi si isteri pertama ini begitu bijak. Begitu menerima pemberian, segera ia kumpulkan 'saudari-saudari'nya. Lalu dimusyawarahkan siapa yang berhak memilih bakal kain pertama. Semua saling menyilakan. Pada akhirnya, selalu, yang paling muda (isteri keempat) disilakan yang tua-tua sebagai pemilih bakal kain pertama. Tiada yang rebutan.
Luar biasa ideal bukan? Seakan hanya kebahagiaan yang ditakdirkan bagi keluarga itu. Entah kisah nyata, entah dongeng belaka. Ideal luar biasa itu baru terpikir oleh saya yang sekarang, setelah dewasa dan berumah tangga. Tapi sewaktu saya mendengar cerita itu pertama kali, saya sungguh-sungguh terinspirasi.
Wow! Hebat sekali mampu menjadi orang yang mendatangkan hanya kedamaian bagi lingkungan sekitar.
Wow! Betapa asyiknya menjadi anak yang disayang dan dimanja oleh banyak ibu.
Wow! Betapa bahagianya banyak kawan bersenda gurau nyambi berketrampilan bersama dalam rumah kita sendiri. Saya bayangkan -karena saya suka ketrampilan- satu orang merajut, yang lain menyulam, yang satu pula menjahit, satu lagi menguji coba resep. Sungguh menyenangkan. Pecahlah canda tawa.
Wow! Betapa sang suami akan sangat ridha dan bahagia.
Dan wow-wow lainnya.
Saat ini, dengan aneka kasus saya hadapi setiap hari, membayangkan ide-ide seperti masa lalu itu sungguh mampu membuat saya terbahak tawa. Jangan lupa, saat itu saya baru menginjak usia 15 tahun. Kelas 3 Tsanawiyah! Tapi inspirasinya tidak lekang oleh waktu. Saya tetap digoda perasaan berbahagia bisa mewujudkan keluarga seperti itu, yang anak-anaknya banyak dan tidak perlu tahu siapa ibu kandungnya. Yang penting nasabnya jelas.
Hohoho, sejak itulah, bayangan pernikahan mulai melintas-lintas di pikiran saya. Hal pertama yang saya siapkan untuk pernikahan adalah nama anak-anak 😅 Nama anak-anak bermakna banyak nama untuk banyak anak. Sewajarnya anak ingusan yang belum mendalam pemahaman agama, nama anak-anak yang saya siapkan saat itu semuanya nama-nama 'keren' yang cantik dan enak didengar secara susunan katanya. Rada gaul seperti nama saya 😄 (Eh, tapi kata Hefa itu ada maknanya menurut Mak saya 😊). Saya belum paham pentingnya makna dalam sebuah nama. Sampai saat ini, nama anak-anak itu masih teringat, tapi jelas tidak satupun akan layak saya nisbahkan pada keturunan-keturunan kami.
Jadi, bagi teman-teman yang penasaran kapan pikiran menikah itu mulai menghampiri saya, semisal @evizamk dan kawan-kawan, sudah terjawab yaa...
Menarik sekali kak Hefa. Dulu sekali Aini juga terinspirasi dari guru-guru yang gemar sekali berkisah. Yang pengetahuannya luas tak sekadar text book. Lalu cerita tentang poligami yang dikisahkan Sang Guru untuk anak setingkat tsanawiyah itu menarik sekali. Sarat dakwah dan edukasi. Terlebih perang pemikiran di jaman sekarang, rasa-rasanya cerita semacam itu nggak bakalan didendangkan lagi, ya.
Iya benar Dek, efeknya Kakak juga suka berkisah pada anak-anak sekitar. Lebih mudah membentuk karakter lewat kisah-kisah inspiratif memang kan?
Sudah di upvote ya maaak. 😂
Alasannya unik mak "perihal poligami" mendasari itu apakah masih berlaku hingga skrg? 😁
Hehehe, just wait & read again :)