Saya tidak pernah mendengar adanya Syi'ah Alawiyah sebelumnya, kecuali gelar baru yang di diberikan oleh para pemfitnah Ahlussunnah waljam'aah, hingga Habib Ali al-jufri pun tak luput dari fitnah ini. Syiah Alawiyyah panggilan terbaru dari mereka yang menganggap diri paling salafi terhadap para Alawiyyun, sedangkan Alawiyyun/Alawiyyah adalah keturunan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu dari kesuluruhan istrinya kecuali dari Fatmiah Azzahra, Sedangkan keturunan dari Fatimah Azzahra, mereka dikenal dengan julukan “Syarif & Sayyid/Habib yang merupakan keturunan langsung dari rasulullah SAW dan mereka dihormati oleh Sunni maupun Syiah secara keseluruhan. Jadi intinya Syiah Alawiyyah itu tidak ada, yang ada hanya Alawiyyah keturunan Ali bin Abi Thalib Ra.
Syiah Alawiyyah populer saat konflik Syiria saat ini, yang dihembuskan oleh kebanyakan para militan, jihadis maupun oposisi terhadap rezim Bashar Al-Assad. Sebenarnya jika kita bicarakan ini lebih lanjut, maka titik temunya berawal dari Abu Turab atau sang Karamallahu Wajhahu, atau Ali Bin Abi Thalib Radhiallahu 'anhu seperti yang telah dijelaskan diatas, karena manyoritas para Alawiyyun adalah Ahlussunnah Wal-jamaah, sedikit dari mereka berasal dari mazhab Syi’ah. Ali bin Abi Thalib adalah seorang Sahabat nabi, sepupu nabi, menantu nabi, orang yang pertama kali masuk islam dari kalangan anak-anak, salah satu sahabat dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga oleh nabi, sahabat yang paling cerdas diantara para sahabat yang lain, bahkan dalam kitab Nawadir diriwayatkan bahwa Ali mengerti bahasa binatang, pun demikian diperkuatkan oleh hadist nabi yang mengatakan bahwa Ali adalah pintu ilmu, sedangkan ilmu adalah Rasulullah Saw sediri. Ali bin Abi Thalib adalah Khalifah ke empat dari Khulafaur rasyidin pemimipin pengganti rasulullah Saw, sedangkan dari literature Syi’ah beliau adalah Imam pertama dari dua belas Imam yang mereka percayai dan ikuti sepeninggal rasulullah sekaligus khalifah pertama bagi kaum muslimin. Perbedaan ini telah banyak sekali dibahas dalam berbagai diskusi, namun perbedaan ini tetaplah sebuah perbedaan yang tak mungkin disatukan, hingga terkadang terjadi pertikaian yang memecah belah umat islam itu sendiri dan dimanfaatkan oleh kaum-kaum ekstrimis baik itu dari muslim mau pun dari non muslim yang extrim khususnya.
Ali bin Abi Thalib lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 Masehi dan wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661 Masehi. Ali dilahirkan oleh ibu yang bernama Fatimah binti Asad, Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu. Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi nabi, karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi nabi bersama istrinya Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Nabi Muhammad.
Mazhab Sunni memberikan gelar kepada Ali dengan Radhiallu anhu yang berarti semoga Allah ridha padanya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada sahabat nabi yang lain. Para Tasawwufun memanggilnya dengan Karamllahu Wajhahu yang berararti semoga Allah memuliakan wajahnya. Doa ini sangat unik, berdasarkan riwayat beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedangnya, maka Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Ali bin Abi Thalib dianggap oleh para Taswwufun sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqah) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan dari beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadariyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani (karya Syekh Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya. Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari nabi, karena sebagai anak asuh, Ali selalu dekat dengan nabi dan hal ini berkelanjutan hingga Ali menjadi menantu nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality) dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah (Ihsan) atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan nabi khusus kepadanya tetapi tidak kepada murid-murid atau sahabat-sahabat yang lain. Ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing. Didikan langsung dari nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Sedikit penjelasan kisah Ali ini untuk mencerahkan para Wahabiyyun yang menuduh pengikut Tasawwuf sebagai Syi'ah atau Ibadahnya yang menyerupai Yahudi, bahkan rela menghalalkan darahnya demi sebuah perbedaan.