Tulisan ini mungkin dibuat jauh setelah peringatan Hari Kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April, tapi tak mengapalah, disini Saya ingin berbagi kekaguman Saya terhadap sosok R.A. Kartini yang bagi Saya merupakan sosok wanita luar biasa. Tulisan ini merupakan buah keprihatinan saya terhadap maraknya tulisan-tulisan karangan para muda-mudi jaman sekarang yang semakin meragukan kapasitas R.A. Kartini untuk diangkat sebagai tokoh emansipasi wanita di Republik Indonesia, bahkan beberapa artikel menyebutkan "membongkar mitos kepahlawanan Kartini" atau bahkan berbunyi "Kartini tidak pantas sebagai bla bla." Saya hanya bisa mengelus dada melihat pernyataan-pernyataan semacam ini, apalagi jika sudah diperbandingkan dengan tokoh wanita lainnya, sungguh keterlaluan menurut hemat Saya. Tak sepatutnya diperbanding-bandingkan, karena semua tokoh memiliki jalan perjuangannya masing-masing.
Mungkin bagi yang meragukan kepahlawanan Kartini pasti dalam pikirannya, pahlawan haruslah sosok yang mengangkat senjata. Pelajaran sejarah Kita memang terlalu menampilkan sisi-sisi heroik dari para pahlawan, dus jangan kaget banyak sekali glorifikasi tokoh-tokoh militer, namun para pejuang-pejuang pemikir, hampir tidak mendapatkan ruang. Bagaimana Sosrokartono contohnya yang notabene adalah Kakak Kartini dengan tulisannya mewarnai perjuangan menuju kemerdekaan, bagaimana Mendur bersaudara dengan kameranya berbicara dengan lantang soal kepatutan entitas seumur jagung bernama "Republik Indonesia" untuk menentukan nasibnya sendiri ke seluruh dunia, lalu ada juga Tirto Adi Suryo dengan rintisannya dalam tonggak pers Indonesia, dan masih banyak lagi. Hampir-hampir nama-nama itu tak mendapatkan porsi cukup bahkan terkadang dilupakan dalam pengajaran sejarah di institusi-institusi formal karena historiografi Kita pasca kemerdekaan masih belum tersusun dengan rapi.
Kembali ke sosok R.A Kartini, kala itu Saya banyak mendapatkan fakta-fakta menarik kala mengikuti kuliah umum bersama Dr. Joost Coote, seorang akademisi Monash University, Melbourne, Australia, yang telah meneliti sosok R.A Kartini selama 20 tahun! Bisakah teman-teman bayangkan seorang Kartini kecil, saat umur sepuluh tahun dengan keterbatasan akses di masa itu sudah bisa menulis surat yang bukan sekedar untuk bertegur sapa saja, tapi dalam suratnya Beliau mencurahkan pemikirannya. Ia aktif berkorespondensi tokoh-tokoh "penting" kenalan ayahnya yang merupakan bupati Jepara hingga akhirnya menemukan sahabat penanya yakni Estelle Zeehandellar, seorang tokoh feminis Belanda yang akhirnya membuatnya "klop" dan semakin mengasah pemikiran-pemikiran Kartini tentang kondisi sekitarnya. Kartini getol menyuarakan hak kaum pribumi akan otonomi nasional sebelum para pria pejuang menyatakannya secara terbuka, Kartini menggunakan tulisan-tulisannya untuk mendidik penjajah Belanda tentang Jawa dan aspirasi orang-orangnya. Kartini bisa dibilang sebagai sosok negosiator yang ulung, bagaimana tidak, Ia bisa meyakinkan Ayahnya untuk membuka kelas belajar khusus untuk wanita-wanita di Pendopo Kabupaten Jepara dan juga meyakinkan para pengrajin ukir Jepara untuk berpameran di Belanda dalam gelaran Koloniale Expositie, yang bisa jadi merupakan cikal bakal mendunianya seni ukir Jepara.
Akses terbatas karena adat yang disaat itu menempatkan sosok wanita hanyalah sebagai "konco wingking", tentulah sosok seperti Kartini menjadi sangat inspiratif sekali. Salah satu isi dalam surat Kartini kepada istri Menteri Kebudayaan, Agama, dan Industri Hindia Belanda, JH Abendanon, ini salah satu yang membuat banyak orang terhenyak, dimana Ia menulis, "Tetapi dapatkah Bunda menyangkal bahwa di samping hal-hal yang indah dan mulia dalam masyarakat Bunda terdapat banyak juga hal-hal yang sama sekali tidak patut dinamakan 'peradaban'?
Kartini memang tidaklah selalu menjadi pemenang, keinginannya untuk bersekolah hingga ke Belanda seperti kakaknya ditentang bahkan oleh pamannya sendiri , sang Bupati Demak dengan dalih tidak patut seorang wanita berpemikiran semacam Kartini. Faktanya, pamannya juga mendapatkan didikan Belanda, bahkan sempat mengenyam pendidikan Belanda pula. Kartini yang seorang aktivis perempuan, toh juga mengalah, dengan bersedia menjadi istri seorang Bupati Rembang, dimana Ia bukanlah cinta pertama sang Bupati, hal yang Ia benci dimasa itu dimana praktik poligami banyak diselewengkan sebagai suatu pemuas nafsu belaka.
Bagaimanapun, kepahlawanan seseorang tidak semestinya hanya diukur dari keberanian sang tokoh mengangkat senjata. Pun harus diakui betapa sepeninggal Kartini di 1911 dan tulisan-tulisannya dibukukan, menginspirasi banyak tokoh salah satunya Theodore Conrad van Deventer, seorang aktivis politik etis yang getol memperjuangkan hak kaum pribumi juga, dengan mendirikan sekolah Kartini. Sekolah-sekolah Kartini yang kelak menyediakan ruang belajar bagi para kaum wanita dan tersebar di berbagai kota di Indonesia bahkan masih bertahan hingga kini. Sungguh warisan R.A. Kartini bagi bangsa ini tak ternilai harganya.
Terimakasih untuk dukungannya, Komunitas Steemit Indonesia, juga kepada para Kurator Indonesia yakni @aiqabrago dan @levycore
Salam Komunitas Steemit Indonesia!
Selalu dinanti tulisan2mu Bung! Top Markotop!
Terimakasih banyak bung! ;)
agendakan ke Lasem yuk Bung.. menjelajah kesana.. :D
Waaah boleh nih! Siap bung cari tanggal dulu ;)
Okeeeee :D
Yang jarang diungkap, Kartini itu tomboy dan senang berkuda... lagipula, Kartini tidak hanya soal perempuan tetapi justru kebih kuat pada kemajuan pendidikan dan budaya Indonesia...
Tepat sekali mbak @mariskalubis, bisa dibayangkan berapa banyak wanita-wanita terpelajar yang muncul pasca banyak dibukanya sekolah-sekolah Kartini yang tersebar di kota-kota seperti Semarang, Surabaya, Bandung, Jakarta, dsb. Mencetak para wanita-wanita tangguh yang kelak menjadi modal utama perjuangan bangsa Indonesia meraih kemandiriannya.
Luar biasa tulisannya bung @yogifajri
R.A. Kartini merupakan sosok yang kuat
tepat sekali bung ;)