Keluhan Mantan Istri Kerabat Di Persemayaman

in Satujiwa3 hours ago

$1

Suasana di persamayaman Mama, di Hoo-Hap atau Panca Budi.

Ada sebuah cerita menarik dari rentetan peristiwa di persemayaman mama saya di Hoo-Hap atau Panca Budi. Cerita itu adalah mengenai mantan istri kerabat saya yang pada saat itu datang melayat.

Pada saat dia melayat, si mantan istri ini melakukan penghormatan di depan altar dan peti mati mama saya. Kebetulan saat itu yang ada di sebelah altar adalah hanya ada satu keponakan saya, yang memang kami tugasi untuk yang melakukan pembalasan penghormatan kepada para pelayat.

Maklum pada saat itu kami para anak kandung sedang melayani dan menemani para pelayat yang sudah banyak berdatangan bahkan tetangga kampung datang secara berombongan dengan jumlahnya kurang lebih empat puluh orang.

Ujung punya ujung, ternyata si mantan istri kerabat ini komplain kenapa yang berada di sebelah altar dan peti mati almarhumah mama hanya ada seorang keponakan saya yang membalas penghormatannya, sedang pada saat itu tidak ada anak kandung yang berada disana. Bagi dia itu adalah ketidaksopanan dan tidak patut karena menurutnya anak kandung harus ada untuk melakukan pembalasan penghormatan. Sehingga dia merasa tidak dihormati selaku pelayat. Bahkan curiga apakah karena ia sudah menjadi mantan istri sehingga saya dan saudara-saudara saya tidak mau menyambut penghormatannya. Untuk masalah ini saya tidak berkomentar banyak, padahal di sebelah altar sudah ada keponakan saya yang merupakan cucu dari mama saya.

Saya tidak menyalahkan dia, karena kalau menurut adat kebiasaan keturuan Tionghoa jaman kuno, memang diharuskan anak kandung, cucu dan cicit harus ada disamping altar atau peti mati almarhum untuk melakukan pembalasan penghormatan kepada para pelayat yang sedang memberikan hormat kepada di depan altar almarhum.

Dahulu tradisi ini kental dan patuh dilaksanakan karena keturunan Tionghoa dahulu memegang teguh aturan adat istiadat kuno dari Tiongkok. Akan tetapi seiring berubahnya jaman dan banyak keturuan Tionghoa yang memeluk agama Kristen atau Katolik, adat istiadat ini dimodifikasi sesuai dengan keadaan jaman.

Menurut pengalaman saya, selaku pelaku dan pengamat di beberapa persemayaman, ketika saya sedang melayat persemayaman keturunan Tionghoa yang beragama selain Konghucu. Pihak yang menjaga altar atau peti mati tidaklah harus dari pihak anak kandung. Bisa diwakili oleh salah satu kerabat si almarhum, syukur-syukur kalau dari garis keturunannya langsung seperti cucu, cicit atau kalau pun mereka berhalangan bisa diwakili pihak kerabat lainnya misalnya keponakan, mantu, atau saudara kandungnya.

Nah kembali kepada cerita si mantan istri kerabat ini, pada saat itu seperti yang sudah saya jelaskan. Para pelayat saat itu yang datang banyak, baik dari pihak Gereja Alfa-Omega dan gereja lainnya, teman almarhum, teman papa almarhum, teman-teman kami dan saudara lainnya, tetangga satu kampung yang akrab dengan mama yang datang berombongan kira-kira berjumlah empat puluh orang, serta tamu-tamu lainnya yang masih merupakan kerabat kami.

Kami selaku tuan rumah, secara moral turun langsung untuk menemani dan menemui mereka. Beda dengan orang Tionghoa dulu, kebanyakan para pelayat saling mengenal dan tahu bahwa akan anak kandung dan keturunannya sebisa mungkin tidak meninggalkan altar.

Akan tetapi jaman sekarang beda, para pelayat yang datang kebanyakan dari berbagai kalangan baik ras, suku dan agama, yang mereka tidak saling mengenal, kenalnya hanya dengan kami atau almarhum sehingga untuk mencairkan suasana kamilah selaku tuan rumah turun langsung untuk menemani mereka karena kami kebanyakan mengenal mereka. Sekaligus kami bertugas untuk memeriksa apakah para pelayat sudah mendapatkan suguhan berupa roti, makanan kecil dan makanan utamanya

Sebenarnya kami kadang masih menyempatkan diri untuk kembali ke altar untuk melakukan pembalasan penghormatan kepada pelayat, sayangnya pada saat si mantan istri kerabat ini datang. Banyak pelayat yang datang hampir bersamanan sehingga kami meninggalkan altar untuk menemani mereka. Akhirnya dia salah paham dikira kami tidak mau menerima penghormatannya dia, padahal saat itu susana sedang ramai sehingga kami harus turun tangan untuk menemani para tamu. Nah...begitulah cerita ini,sebenarnya masih ada cerita lainnya yang mungkin akan saya ceritakan dilain waktu. (hpx)


Sort:  

Anggap angin lalu saja om, mungkin karena masih memegang teguh adat alam, jadi kurang tahu tentang perkemabangan zaman dan buday ayang sudah ikut berubah. semoga acaranya berjalan lancar ya om.
!hiqvotes !LUV

Makasih 😊

Di semua agama masih ada banyak juga yang menganggap satu kebiasaan itu harus terus dilakukan. Padahal, secara agama itu tidan diatur, hanya menjadi kebiasaan dalam satu daerah saja.

Turut berduka.

Betul, seharusnya bisa membedakan mana yang hanya bersifat optional dan menyesuaikan dengan keadaan.

Terima kasih ya 😊🙏🏻