Kopiah dan Perilaku Sosial

FB_IMG_1638712370946.jpg

Seorang sahabat saya bercerita mengenai perilaku aneh seorang yang disapa ustad di sekolahnya. Dua tahun sebelumnya sang ustad memang punya jabatan di sekolah tersebut. Kemudian ketika kepala sekolah berganti, karena satu jabatannya diserahkan kepada guru lain, beliau pun mengundurkan diri dari jabatan-jabatan lainnya.

Dua tahun kemudian kepala sekolah berganti lagi. Sang ustad mulai unjuk kebolehan di depan kepala sekolah baru. Piket datang lebih awal - sebelumnya malah tidak pernah menunaikan tugasnya sebagai piket - untuk mengontrol langsung ke tiap kelas. Dan siapa saja yang telat masuk, ia tegur (khususan guru-guru yang dekat dengan kepala sekolah dulu).

Sahabat saya bilang, memang seharusnya seperti itulah seorang piket. Tapi sebelumnya ustad itu di mana? Ustad itu sebelumnya bagaimana menjalankan tugas? Dan sampai hari kedua kepala sekolah yang baru bertugas, para guru hanya melihat dan hanya bisa menebah dada melihat kelakuan aneh si ustad. Saking aktifnya si ustad di grup WA sekolah, para guru bahkan punya joke baru: jangan lupa like, komen, dan share. Apalagi kalau ada instruksi kepala sekolah, si ustad langsung berupaya mengirimkan berbagai komentar dan emoticon penuh semangat.

Jika kepala sekolah dulu, suatu ketika meminta para guru ikut mengawaninya ke aula untuk satu urusan dengan anak-anak, ia malah tak kelihatan batang hidungnya. Tapi giliran kepala sekolah baru mengagendakan pertemuan dengan anak-anak, dengan menggunakan mikrofon, ia memanggil anak-anak memamerkan kebolehannya berbahasa Arab dan bahasa Inggris.

Dua puluh tahun yang lalu, kata saya kepada sahabat saya, saya juga punya pengalaman hampir sama dengannya. Tiap perayaan maulid, kami dibuat terkesima dengan kemampuan berdakwah seorang sahabat masa kecil saya karena berdakwah menggunakan dua bahasa. Kebetulan orang tua sahabat masa kecil saya itu imam meunasah di kampung kami. Oleh karenanya, sahabat masa kecil saya itu bisa dengan mudah mendapatkan ruang untuk mengembangkan bakatnya sebagai pendakwah. Maka hampir saban tahun, sebelum acara utama yaitu dakwah maulid disampaikan ustad sewaan, lebih dahulu ceramahnya disampaikan dai cilik sahabat saya, dengan diselingi bahasa Arab dan bahasa Inggris.

Hiver, dai cilik sahabat saya itu, entah bagaimana, gagal menjadi seorang calon ulama sebagaimana digadang-gadang orangtuanya dan orang-orang di kampung kami. Padahal, masih saya ingat tutur bahasanya yang teratur mengalun dan senyumnya yang selalu terhias di wajahnya sampai kini. Dan dibandingkan ustad aneh kenalan sahabat saya, teman masa kecil saya lebih menang. Menang tampan dan menang kekayaan orangtuanya. Sementara ustad kenalan teman saya, menang karena PNS dan hobinya berganti-ganti kopiah. Tapi dua-duanya memang mampu berbahasa Arab dan bahasa Inggris.

Dan seperti pemahaman orang lain barangkali, pemahaman saya pun mengasumsi bahwa kini agama sepertinya hanya semacam kemasan. Komoditas sosial. Sementara di dalamnya, di sebalik kopiah mereka, ternyata sama saja dengan orang-orang yang tidak pernah mondok di pesantren. Ustad teman saya, hanya mulut dan penampilannya yang menunjukkan bahwa dia ustad, teungku. Namun, di balik status sosialnya yang seharusnya dapat dijadikan teladan, malah orang-orang yang kenal dengannya harus mengatakan bahwasannya ia tak pantas mengenakan kopiahnya sebagai simbol orang shalih.

Begitu juga dengan dai cilik sahabat saya dulu. Kami semua tak percaya ketika itu, ketika ada yang bercerita bahwa teman kami yang ke mana-mana berkopiah dan berbaju koko itu punya kenalan dekat dengan penjual ganja, punya kenalan dekat untuk penyewa VCD film orang dewasa.

Dan fenomena-fenomena tersebut, menjadikan saya, bisa dikatakan tidak pernah ikut majelis taklim di meunasah kampung saya maupun kampung di mana saya tinggal kini. Dan saya yang kini punya anak usia delapan tahun tidak pernah berniat mengirimkannya ke pondok-pondok pesantren sebagaimana tren banyak orang tua dewasa ini.

Mungkin pemahaman saya bisa berubah ke depannya. Tapi pengalaman mengajarkan sesuatu kepada seseorang untuk bertindak atau tidak. Tentu pengalaman saya tersebut bukan harga mati untuk membenarkan bahwa semua yang berkopiah sama. Tentu saja tidak demikian. Bisa jadi dua contoh yang dikemukakan sahabat saya dan contoh yang saya alami sendiri hanya kasuistik. Oknum. Mungkin masih banyak sekali didikan pondok pesantren yang berhasil, tetap berkopiah sampai kini dan istiqamah dengan nilai-nilai Islam. Wallahu'alambissawab.