Suara terompah dari Mushola telah lama hilang di kaki Gunung Guranteng, semenjak dibangun menjadi mesjid yang megah dengan gaya kekinian. Ikan yang riang saat subuh pun tak lagi terlihat dari bilah bambu yang menjadi lantai pancuran umum di sebelah mushola. Semen dan batu-bata telah menggantikannya, bahkan air yang tak henti mengalir dari pancuran bambu, kini dibatasi kran. Air yang mengalir pun terbuang ke selokan.
Terompah pun berganti dengan sendal jepit atau merek sendal terkenal yang dibeli dari kota. Tak lagi ada ketukan yang terdengar saat terompah beradu dengan batu kali kecil. Suara alas kaki itu telah hilang bersama hilangnya masa kanak-kanak dulu.
Pada Bulan Ramadan suara terompah dari setiap penjuru rumah terdengar serupa simponi dengan irama berbeda-beda, tergantung dari kayu apa dibuat. Biasanya anak-anak dibuatkan terompah dari kayu sengon agar ringan saat digunakan dan hasil dari bunyinya nyaring. Beda dengan terompah orang dewasa yang terbuat dari kayu mahoni bahkan ada juga yang dari kayu jati seperti terompah milik Bapak yang terdengar berat dan berwibawa.
Mang Tata pengerajin trompah kayu yang terkenal di kampung kaki Gunung Guranteng. Sebelum Bulan Ramadan sudah kebanjiran orderan. Terompah-terompah dibubuhi nama pemesan agar tak tertukar. Sekarang Mang Tata pun sudah tidak lagi membuat trompah atau alat dapur yang terbuat dari kayu. Selain karena faktor usia. Trompah kayu sudah jarang peminatnya. Jaman telah meninggalkan tradisi dan budaya yang kini tinggal kenangan dan sejarah.
Ibadah Ramadan dan terompah pada jaman dahulu menjadi kesatuan yang kental dan menjadi asesoris budaya keagamaan yang lekat. Di mana ada terompah, di situ ada agama dan budaya.
Tentang Penulis
@ranesa70 singkatan dari nama Ratu Ayu Neni Saputra. Lahir di Cirebon dan menetap di Bandung. Perempuan separuh baya yang punya kegemaran menulis di media sosial. Beberapa karyanya telah diterbitkan bersama komunitas sastra.
Keseharianya sebagai ibu rumah tangga dan berwirausaha online. Moto hidupnya cinta.