TAK ADA MUSANG BERBULU DOMBA. Peribahasa atau kiasan yang bawa-bawa nama musang dengan bulu domba melingkup sekujur tubuhnya adalah gejala bagaimana orang-orang zaman baheula suka betul memperhalus tutur kata dengan bahasa-bahasa berkelok, melingkar, tidak to the point, yang barangkali sudah tak layak pakai untuk ukuran zaman sekarang.
Ada banyak soal kenapa orang sekarang sudah tak mempan dengan peribahasa atau segala perandai-andaian yang serba halus. Membuludombakan musang atau memusangkan bulu domba, kiranya sudah tak mampu lagi diartikan sebagai semacam keculasan seseorang.
Mungkin ini seturut dengan perilaku bermanis-manis di depan bermasam-masam di belakang sudah demikian menggejala, lazim ditemui, bisa berlaku di sana-sini, terutama dalam kancah perpolitikan. Baik kancah politik tingkat lorong, dusun, kampung, kecamatan, kabupaten, provinsi, apalagi nasional.
Mengatai-ngatai perangai buruk seseorang, terutama publik figur seperti pejabat pemerintah yang korup, dengan tamsilan-tamsilan seperti dalam banyak peribahasa hanya akan membuat si pejabat buduk itu kian cengengesan saja. Alih-alih membuatnya insaf. Memang, mengutuknya dengan makian tak menjamin juga ia tobat begitu saja.
Tapi bukankah kepuasan batin rakyat jelata seperti kita-kita, sedikit banyaknya mengada setelah menunaikan segala serapah?
Serapah itu perlu. Sebagaimana banyak orang memerlukan alat pelampiasan emosi--perihal yang sama sekali tak terakomodir dalam bahasa-bahasa yang lebih mementingkan tata krama ketimbang mengenanya makna yang hendak disampaikan pada titik tuju, pada sasaran tembaknya.
Soalan ini tentu saja akan dibantah mentah-mentah oleh para intelektuil yang biasa nangkring di awang-awang dan jarang menginjakkan kaki di bumi. Bahwa serapah atau makian hanya akan mendedah betapa tidak berpendidikannya suatu bangsa.
Tapi pertanyaan: Apakah pendidikan tinggi bisa menjamin negara ini bersih dari korupsi? Apakah berpendidikannya suatu bangsa bisa menjamin para jelata terbebas dari segala himpitan hidup yang kerap dipicu oleh kebijakan-kebijakan brengsek para penguasa?
Realita yang ada dengan tegas menjawab; tidak. Tidak sama sekali. Dan dari realita itu pula, orang-orang kian hari kian butuh pelampiasan, selemah-lemahnya dengan sumpah serapah. Alasan kenapa istilah-istilah makian dalam komunal masyarakat terus memproduksi diri. Atau paling tidak makian-makian terus terbarukan sepanjang zaman.
Maka berbahagialah kita yang masih bisa mendewasakan emosi dengan sesadis apa serapah yang kita bunyikan merespon perangai jahannam penguasa. Namun celakanya, penguasa tahu betul cara merenggut kebahagiaan yang rakyat jelata punya. Dalam konteks ini penguasa dengan picik merenggutnya dengan aturan-aturan hukum yang berisi pasal karet itu.