Masalah Telepon Pintar dalam Kehidupan Kita Dewasa Ini

in OCD3 years ago

Salah satu masalah, dari sekian masalah lain, di dunia pendidikan (khususnya di Aceh) dewasa ini adalah penggunaan telepon pintar yang tidak terkontrol di kalangan para siswa. Bayangkan, saking tak dapat dikontrol, banyak sekolah melarang siswanya membawa telepon pintar ke sekolah.

Tentu saja sekolah yang melarang siswanya membawa telepon pintar ke sekolah juga paham bahwa benda tersebut tidak bersalah. Para siswa dianggap belum mampu menggunakan telepon pintar untuk meningkatkan prestasi dan menjadi pribadi yang baik. Pemakaian benda tersebut masih dominan ke arah hiburan semata seperti instagram, facebook, YouTube, tiktok, game dan lain sebagainya. Oleh karena itu, melarang menggunakan telepon pintar sekolah, mungkin jadi pilihan berat, tapi tepat.

Bagaimana dengan di rumah? Bukankah seharusnya orang tua juga punya visi yang sama dengan sekolah? Jika telepon pintar tidak dapat membantu si anak untuk makin lebih pintar, minimal si anak tidak rusak kehidupannya karena benda tersebut. Orang tua mestinya juga membuat aturan sebagaimana sekolah sehingga daya rusak telepon pintar tidak menular pada generasi yang di tahun-tahun akan datang akan memimpin negeri ini.

Nah, terkait dengan aturan rumah untuk anak, barangkali ini jadi PR kita bersama. Mengapa bersama? Kontrol sosial ini mesti dijalankan secara berjamaah. Jika tidak, persoalan ini tidak akan tuntas sampai kapan pun.
Harus diakui dengan jujur, telepon pintar bukan saja sukses 'menggoda' para remaja, tetapi juga orang dewasa. Banyak dari kita yang sudah dewasa, meskipun puluhan tahun tidak berjumpa sahabat karib, saat bersua-bercengkerama, di sela-sula sua-nostalgia, mata kita pun tak lepas dari telepon pintar. Bayangkan anak-anak yang 'terjebak' dengan permainan online di dunia maya. Mereka bisa tenggelam di sana sampai sekian jam. Tak kenal waktu, apalagi rasa lelah.

Oleh karena itu, keluarga, sekolah, dan masyarakat harus dapat menemukan satu solusi dari permasalahan ini. Saiful Mahdi, dosen MIPA Unsyiah dalam satu majalah (entah majalah apa?) pernah menyampaikan apa yang harus dilakukan terhadap masalah tersebut. Menurutnya pemerintah harus membuat lomba tahunan, baik tingkat gampong maupun tingkat kabupaten, bahkan provinsi.

Bola volly misalkan, ketika setiap tahun di tingkat kabupaten diadakan lomba, dapat dipastikan setiap sore, lapangan voli desa akan dipenuhi para remaja. Hanya saja, lomba antargampong atau kecamatan ini dapat terus berlangsung bila sportivitas dapat ditegakkan. Caranya? Setiap klub voli dilarang menyewa pemain dari daerah lain. Begitu juga dengan sepakbola atau futsal dan lain-lainnya. Sebab tujuan utama diadakan ajang lomba tersebut agar adanya ruang berekspresi lain yang mengasyikkan di samping bermain telepon pintar.

Jelas bukan lomba di bidang olahraga saja yang dapat menjauhkan mereka sejenak dari telepon pintar. Jenis ajang lomba lain juga dapat dibuat untuk memberikan anak perempuan sebagai wadah aktualisasi diri. Bahkan jika mungkin, pemerintah daerah, di samping ajang lomba, taman bermain kota dapat menjadi solusi terbaik yang dapat digunakan para keluarga untuk membahagiakan anak-anaknya.

Di sinilah konsep jamaah menemukan satu pemahaman terbaik. Meskipun tiap makmun jamaah shalat harus membaca doa dalam shalat secara berbisik per individu, pada bagian tertentu para makmun harus ikut imam rukuk, sujud bersama. Dalam pengejawantahan di kehidupan yang nyata, pemerintah serupa dengan imam shalat. Masyarakat sebagai makmun harus mengikuti apa yang diinstruksikan/dikoordinasikan pemerintah.

Demikian tulisan singkat yang saya tulis. Mudah-mudahan wacana dapat mengemuka untuk menuntaskan persoalan penggunaan telepon pintar yang nirkontrol di kalangan remaja dalam masyarakat kita.