"Enak jamanku toh?"
Entah di mana saya membaca kalimat tersebut. Yang jelas saya membacanya di dunia maya. Di bawah tulisan tersebut ada foto Pak Harto, presiden ke-2 Republik Indonesia.
Banyak dari kita, saya yakin, dapat menangkap maksud si penulis kalimat plus foto Pak Harto tersebut. Si penulis setidak-tidaknya ingin menunjukkan, walaupun dianggap otoriter, hidup di zaman presiden kelahiran Jogya itu lebih menyenangkan dibandingkan masa sekarang: era Jokowi. Kok Jokowi? Iyalah. Kemenangan Jokowi dua kali dengan selisih tak berapa menang telak sebagai bukti bahwa masyarakat masih banyak menginginkan keluarga Cendana ke tampuk kekuasaan. Dan simbol representatif Orde Baru tak lain adalah Prabowo.
Biar agak nyaman, mari saya jelaskan, tulisan ini tidak membahas 'celetukan' tersebut ke dalam aspek politik. Saya lebih membahasnya dari sisi ilmu bahasa atau linguistik. Dalam tataran linguistik, jargon di atas masuk kategori wacana.
Wacana sendiri adalah bagian dari ilmu pragmatik. Di mana untuk memahami suatu maksud si pengujar atau si penulis perlu dilihat situasi dan kondisi saat tuturan/tulisan tersebut disampaikan/dinyatakan. Oleh karenanya, ujaran/tulisan 'enak jamanku toh (plus foto presiden dengan bintang lima)' dapat dijadikan sebagai contoh.
Dan sebenarnya, perlu diketahui juga bahwa wacana tidak hanya sesingkat itu. Sebuah novel, film, topik yang dibahas di Indonesia Lawyer Club (ILC) adalah wacana. Film The Help yang tokoh utamanya diperankan Emma Stone yang mengisahkan rasisme Amerika pada pertengahan abad ke-20, saat ras Afrika bekerja di rumah orang-orang kulit mengasuh bayi dan memasak untuk mereka, sementara majikan mereka menyediakan toilet khusus untuk pembantunya, wacana yang ingin dibangun di film tersebut adalah Amerika pernah begini: menganggap ras kulit putih lebih mulia dari ras lainnya. Mereka merasa lebih superior.
Dari wacana tersebut muncul kesadaran bersama atas praktik sosial yang tidak berkeadilan. Si pembuat film tentunya berusaha mengajak penonton untuk menyadari kekeliruan yang kemudian harusnya dapat diperbaiki. Dan Amerika, seperti yang kita lihat di film-film lainnya, pluralisme menjadi bagian dari Amerika yang egaliter.
Aduh, tinggi kalilah bahasaku. Begini, saat kau kasih bunga sama kawan cewekmu di SMA, sebenarnya kau mau bilang cinta sama dia 'kan? Nah, itu dia wacana. Bunga hanya medium. Sama dengan bahasa. Novel medium komunikasinya tulisan (dengan kode-kode grafis A, B, C, ... Z). Sementara film, medium komunikasinya adalah gambar bergerak (video).