Seperti itulah rasanya membaca buku setebal vi+48 halaman bertajuk “Dili Tak Kembali” karya Dedi Tarhedi yang diterbitkan Langgam Pustaka ini.
Memang benar seperti pengantar penulisnya, buku ini tidak bisa dijadikan acuan sejarah. Apalagi mengenai suasana politik di Timor Timur (sekarang Timor Leste) saat itu. Meskipun demikian, dari untaian kata di setiap puisi, ada sejarah pribadi yang dilatarbelakangi peristiwa bersejarah bagaimana akhirnya Timtim lepas dari Indonesia setelah jajak pendapat.
Ada bahasa asing yang tidak dicetak miring dan tidak diberi keterangan arti. Anggap saja ini bagian dari masukan. Saya sebagai pembaca sedikit meraba-raba, sebab tak ingin terganggu dengan keharusan membuka google translate demi mengetahui arti kalimat di halaman 22:
“...
Maria bertanya dekat telinga:
“Porque to bebes vinho?”
“Nusa o hemu tuak?” lanjutnya
dalam bahasa Tetun
...”
Jika saya menempatkan diri sebagai orang yang sangat awam, mestinya saya tak tahu bahwa bahasa tersebut berlaku di Timor. Menurut mesin pencari, bahasa Tetun adalah suatu bahasa Austronesia yang utamanya dituturkan di wilayah Timor. Di Timor Leste, bahasa ini merupakan bahasa resmi, selain bahasa Portugis.
Untung saja, tak banyak kalimat asing yang bikin saya harus bolak-balik meminta bantuan mesin penerjemah.
Ada kegamangan penyair di awal bab puisi, saat-saat meninggalkan kota asal menuju tempat penugasan. Disambung dengan kegelisahan selama berada di tanah yang jauh dari Jawa. Saat didera rindu, ada letupan rasa yang terus-menerus sulit reda:
“...
Tapi tak ada yang lebih bising
selain rindu yang terus berdesing
Ingin kukatakan: kangen pulang
Tapi tak mungkin. Luka Ibu akan menganga,
seperti peluru melubangi dada
tentara
Surat balasan, tak jadi kutuliskan.”
(hal. 15)
Di bagian ini, saya ikut merasa terharu. Betapa perjuangan menahan kangen pun rasanya malah membuat sesak. Sebab penulis harus pula menjaga agar Ibu di kampung halaman tak jadi cemas, terutama jika mengetahui peristiwa-peristiwa yang mengepung dalam keseharian sang anak selama di rantau.
Dikisahkannya pula bagaimana menjalani masa puasa yang biasanya indah jika berada di rumah, tapi malah terasa gundah ketika terpisah. Namun justru di sanalah ia menemukan makna puasa yang lebih indah dibanding di Jawa (hal.24). Begitulah biasanya kita semua, selalu memaknai segala sesuatu setelah didera jarak, setelah merindukan sesuatu yang dianggap biasa, justru dari kejauhan.
Seperti juga rasa penasarannya pada Maria da Silva Soarres —yang digambarkan sebagai perempuan yang menarik hatinya namun berusaha ditepis karena tak siap terluka dan teriris (hal.21)— di manakah ia gerangan yang mengikutinya lari dari Timor menaiki kapal laut yang sesak oleh orang-orang berebut pulang? Maria yang keras kepala, yang melindunginya saat perang saudara di Timor, yang memberinya “kejutan” menyusul ke kota lain saat dipindahtugaskan, yang bersikeras mengikutinya, bahkan sampai ke Jawa. Tapi lagi-lagi tanah Jawa yang dijejak Dedi Tarhedi pun masih menyisakan tanya, “di mana Maria?”
Babak jajak pendapat hanya memuat dua puisi. Tapi cukup menggambarkan situasi politik yang panas di tahun 1999. Buku yang hanya memuat 34 puisi ini rasanya seperti kopi espresso, sedikit, tapi bikin mata melek, dan rasa pahitnya tertinggal cukup lama. Meninggalkan kesan yang dalam, ingin menambah satu gelas lagi tapi pasti akan menemukan banyak kepahitan lain. Tentu selain membawa ke masa silam, puisi-puisi yang mengisahkan masa perantauan dengan latar belakang situasi politik ini membuat kita merenung, sekaligus setuju pada kalimat di bait terakhir puisi penutupnya, “Dili Tak Kembali”:
“...
Seperti kata Maria;
mandiri dan bahagia adalah pilihan.
Hidup damai tanpa tikai harus
diteruskan!”
Congratulations @ratnaayub! You have completed the following achievement on the Hive blockchain and have been rewarded with new badge(s) :
You can view your badges on your board and compare yourself to others in the Ranking
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
Do not miss the last post from @hivebuzz: