Salah satu karya monumental Ibnu Khaldun berjudul "Muqoddimah" yang berisi analisa-analisa sosial, sejarah, politik, ekonomi dls. Dalam tulisan ini saya hanya mencoba membicarakan aspek sejarah atau filsafat sejarah dan sosiologi yang digagas Ibnu Khaldun.
Dalam pandangan Ibnu Khaldun, sejarah adalah “rekaman” tentang peradaban manusia atau dunia, tentang perubahan karakter sosial masyarkat seperti kekejamannya, hubungan sosialnya dan solidaritas sosial kelompoknya. Sejarah juga berbicara tentang revolusi-revolusi dan lahirnya sekelompok masyarakat menentang kelompok lainnya yang melahirkan kerajaan atau negara dalam beragam tingkatannya. Beragam akitifitas pekerjaan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau aktifitas keilmuan dan keterampilan serta perubahan-perubahan masyarakat yang disebabkan oleh karakter dasarnya.
Belajar sejarah adalah belajar tentang pemahaman luar dan pemahaman dalam. “Pemahaman luar” disebut juga narrative history, yaitu cerita tentang ‘masa lalu’ yang digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer: apa, siapa, kapan dan dimana. Pemahaman sejarah dengan model pemahaman luar ini kemudian dikritik oleh Ibnu Khaldun sebagai materi tanpa subtansi atau bagai pisau tanpa sarung karena pemahaman luar dalam melihat sejarah hanya akan berhenti pada kerangka narasi suatu peristiwa yang kehilangan subtansi dari peristiwa itu sendiri. “Pemahaman dalam” atau penalaran kritis (Nadhar) merupakan upaya mencari kebenaran (Thaqiq). Oleh Khaldun pemahaman sejarah model nadhar ini disebut sebagai sejarah kritis dan merupakan bagian dari hikmah (filsafat). Corak berpikir sejarah model pemahaman dalam bertugas menjawab pertanyaan tentang ‘bagaimana, mengapa dan apa jadinya’. Pertanyaan ‘bagaimana’ akan melahirkan keterangan historis (historical explanation) sedangkan pertanyaan ‘mengapa’ dan ‘apa jadinya’ berhubungan dengan kausalitas sejarah. Secara ringkas pemahaman luar hanya akan melahirkan penjelasan sejarah yang berkenaan dengan narasi tentang sejarah apa, siapa orangnya, kapan terjadinya dan dimana tempatnya. Sedangkan pemahaman dalam akan mengantarkan kita pada pemahaman tentang bagaimana kejadian suatu sejarah, mengapa kejadian itu terjadi dan jika sudah terjadi maka aoa yang terjadi selanjutnya.
Manfaat belajar sejarah menurut Ibnu Khaldun adalah membantu penguasa atau siapapun saja dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan. Selain itu sejarah juga membantu filsafat politik dalam pengaturan kota atau dalam pengaturan masalah-masalah politik. Metode yang digunakan untuk memahami sejarah dalam pandang Khaldun adalah dengan metode observasi, lalu mengkritisi, membandingkan dan melakukan pengujian (Observation, Criticism, Comparison, Examination). Contoh Kritisisme dalam sejarah misalnya dalam kasus Al-Mas’udi dan banyak sejarawan Arab yang menyatakan bahwa pasukan orang-orang israel yang dipimpin oleh Nabi Musa berjumlah 600.000 orang berusia 20 tahun ke atas. Kalau kita uji secara cermat, kisah ini pasti salah. Karena saat Nabi Ya’qub dan para pengikutnya masuk mesir, jumlah mereka hanya 70 orang, sementara jarak antara Nabi Musa dan Nabi Ya’qub hanya empat generasi. Jadi dari mana datangnya jumlah besar anak muda itu? Dari cerita Bani Israil sendiri, jumlah pasukan Nabi Sulaiman mencapai kejayaannya hanya 12000 orang dengan 1400 pasukan kuda. Sehingga melihat medannya tidak mungkin membawa pasukan sebanyak itu, karena terlalu sempit sehingga tidak mungkin dilakukan peperangan.
Oleh karena itu, syarat-syarat seorang ahli sejarah menurut Ibnu Khaldun adalah harus memahami ilmu sosial dan ilmu politik, memahami kondisi alamiah masyarakat dan perkembangan serta perbedaannya seiring dengan ruang dan waktu. Ahli sejarah juga harus memahami kondisi sosial dari beragam peradaban dan negara dalam aspek kehidupan sehari-hari, moralitas, pendapatan, doktrin, dan lain sebagainya. Kemudian mampu memahami masa kini, mampu membandingkan dengan masa lalu. Terakhir, seorang ahli sejarah juga harus memahami asal-usul dan perkembangan negara dan lairan-aliran, prinsip-prinsip sosial mereka, hukum, aturan dan peristiwa besar yang dialami.
Sumber kesalahan dalam penulisan sejarah menurut Ibnu Khaldun adalah karena adanya pemihakan (patnership) kepada pandangan atau dogma tertentu, over-confidence terhadap sumber yang dimiliki. Kegagalan memahami maksud peristiwa sejarah terjadi karena menghubungkan dengan pikiran atau imajinasinya sendiri. Banyak ahli sejarah yang menyisipkan imajinasi mereka, menggambarkan peristiwa secara berlebihan melampaui kewajaran, khususnya saat berbicara tentang kehebatan atau kejayaan masa lalu. Manusia gemar dengan hal-hal yang anen dan tidak biasa sehigga lidah mudah terselip bercerita secara berlebihan. Kesalahan selanjutnya adalah ketidakmampuan penulis sejarah dalam konteks yang tepat karena keinginan untuk mendapat pujian, hadiah atau pangkat dari penguasa sehingga cenderung hanay memuji, menyebarkan kebesaran dan menafsirkan semua aktifitas dan karya penguasa itu sebagai yang terbaik. Yang paling penting menurut khaldun adalah ketidakmampuan penulis sejarah dalam memahami hukum-hukum sosial yang berhubungan dengan transformasi masyarakat. Contoh kesalahan pemahaman sejarah yang melupakan konteks, misalnya cerita bahwa Al Hajjaj itu adalah putra seorang ustadz. Di kini (jaman Ibnu Khaldun), Ustadz/guru adalah profesi yang sering dipandang rendah, khususnya oleh menegah atas. Seorang guru dicitrakan sebagai lemah, miskin dan rendah hati. Padahal di era dua dinasti pertama islam memiliki posisi yang sangat penting sebagai ulama yang mentransmisikan ajaran-ajaran dari Nabi dan merupakan anggota masyarakat paling mulia dan paling dihormati di tengah masyarakat.
Memahami sejarah harus dilakukan secara kritis. Memahami sejarah berarti memahami karakter perkembangan peradaban manusia (umran). Karena fenomena-fenomena yang biasa terjadi dalam kehidupan sosial manusia bersifat pasti dan tunduk pada hukum sebab akibat yang bersifat universal. Karena sejarah berarti ilmu yang mengungkap kondisi-kondisi struktur yang tersembunyi dan menyingkap mekanisme-mekanisme historis yang terdapat dalam struktur geografis, ekonomis dan kultural.
Gerak perkembangan sejarah menurut Ibnu Khaldun gerak dari Umran Badawi menuju Umran Hadari. Umran badawi atau peradaban badawi adalah peradaban yang penuh dengan kesederhanaan, kebebasan, persamaan, keberanian spontan kegembiraan dan kohesifitas. Sedangkan Umran Hadari atau peradaban hadari adalah peradaban yang penuh dengan komplektifitas, pembatasan, perbedaan, kecanggungan, dan kepentingan pribadi. Perubahan sosial masyarakat mengarah pada ciri-ciri kehidupan hadari tetapi pencapaian hadarah juga merupakan awal kejatuhan masyarakat secara etis kemudian menjadi kejatuhan secara sosial-material. Secara rinci khaldun menjelaskan pekembangan peradaban atau umran sebagai berikut:
Tamaddan Al-Madinah; Masyarakat yang belum mencapai suatu kematangancenderung untuk memusatkan diri pada usaha untuk mencukupi kebutuhan, yaitu mengusahan bahan pangan pokok (al-aqwat)
Al-Kalamat Min Al-Ma’as; Kemewahan hidup. Kota-kota kian maju, sejumlah bidang pekerjaan mulai muncul, maka pelan-pelan mereka akan mulai memanfaatkan surplus kekayaan yang ada. Orientasi masa ini adalah intelektualitas (fikr), yaitu aspek yang menyebabkan manusia berbeda dengan binatang. Kemudian aspek kehewanan serta nutrutif (al hayawaniyyah wa al-ghidza’iyyah). Kebutuhan manusia untuk memenuhi tuntutan aspek yang kedua ini biasanya lebih mendesak dan karena itu harus didahulukan dari pada tuntutan aspek yang pertama.
Runtuhnya peradaban hadarah karena dalam peradaban ini berlaku ketidakadilan dengan adanya jurang perbedaan yang lebar antar golongan kaya dengan miskin. Merajalelanya penindansan dan kezaliman, terjadinya keruntuhan moral dan nilai dalam masyarakat terutama kalangan pemimpin. Adanya sikap tertutup yang tidak mau menerima perubahan terutamanya dari segi perubahan teknologi dan sejenisnya serta terjadinya malapetaka atau bencana alam yang menyebabkan kerusakan secara besar-besaran. Dasar kerutuhan hadarah adaah hilangnya ashobiyah (solidaritas sosial) dalam tubuh peradaban itu. Hilangnya ashobiyah menjadi aspek penting karena terdapat hubungan ashobiyah dengan pertumbuhan negara. Tahap pertama pertumbuhan sebuah negara adalah tahap pembentukan fondasi pemerintahan negara yang dicanangkan berdasarkan kekuatan ashabiyah. Tahap kedua, pemusatan kekuasaan dimana penguasa mulai berusaha membatasi kekuasaan dan melemahkan ashobiyah. Rakyat ditekan agar tunduk dan patuh pada kekuasaannya, sehingga rakyat mulai tidak senang kepada penguasanya dan mulai bersikap acuh tak acuh terhadap kekuasaan negaranya. Tahap Ketiga, tahap kesantaian yaitu tahap untuk menikmati kekuasaan yang diwariskan oleh penguasa terdahulu dan tahap dimana negara telah mencapai kemakmuran, semangat ashobiyah pun mulai melemah. Tahap Keempat, tahap kemalasan dimana negara dalam keadaan statis dan tidak ada pembaharuan. Tahap Kelima, tahap penghamburan kekayaan negara, dimana penguasa negara menjadi perusak kebaikan-kebaikan yang telah di bangun oleh para pendahulunya. Negara tahap ini sudah tua dan sudah dihinggapi penyakit yang berat dan sulit disembuhkan.
Ibnu khaldun juga menyatakan bahwa perilaku bangsa yang kalah dalam peradaban sejarah menunjukkan bahwa mereka yang kalah selalu “tergila-gila” untuk meniru mereka yang menang menyangkut ciri-ciri fisik, pakaian, mazhab pemikiran, segala bentuk kebiasaan dan adat mereka. Jiwa bangsa-bangsa yang ditaklukkan biasanya cenderung memandang bahwa bangsa-bangsa yang menaklukkan mereka memiliki kesempurnaan yang sifatnya “alamiah”. Level penundukan yang terjadi pada bangsa yang kalah pertama level “fisik” yang biasanya melibatkan kekerasaan yang berupa perang atau agresi. Kedua level “mental” (disinilah, bangsa-bangsa yang ditundukkan memiliki anggapan bahwa bangsa yang menang memiliki “keunggulan” secara alamiah atas mereka.
Oleh: Khairul Amin