Trauma yang dirasakan korban kekerasan seksual "pemerkosaan" dan keluarganya, -terlebih korbannya anak- tak akan pernah pulih. Demikian sakit, terlukanya. Demikian dalamnya.
Dan, melupakan peristiwa yg sangat sulit itu sama mustahilnya.
Trauma dan ingatan akan pemerkosaan itu hanya bisa dikelola sedemikian rupa dengan proses-proses pemulihan psikologis dan dukungan dari-khususnya- keluarga dan teman-teman dekat; lingkungannya.
Kondisi luka psikologis korban dan atau keluarganya diperparah dengan budaya, kearifan lokal bahkan kebijakan yang mendiskreditkan perempuan dengan berbagai alasan yang absurd.
Saya sangat tidak bisa memahami kekerasan sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan suatu masalah, apapun alasannya. Bahkan untuk sebuah hukuman yang konon unruk memberi efek jera. NAMUN, untuk kasus kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan terhadap anak, saya berpikir "Rajam sampai mati atau rajam dan pengusiran dari tempat tinggalnya layak diberlakukan". Bahkan -kalau mengikuti hanya rasa-, itu adalah hukuman paling ringan. Jadi perlu penambahan hukuman, misalnya keluarga ring 1 dengan korban mendapat sanksi sosial (seperti kehilangan hak-hak tertentu dalam kehidupan bermasyarakat di tingkat desa).
Terkait bahwa pelakunya adalah juga usia anak menurut UU dan dalam batas usia tertentu, sanksi sosial dikenakan kepada kedua ortunya.
Saya sangat prihatin bahwa masih banyak yang membenarkan pemerkosaan karena pemahaman bahwa para perempuan diperkosa karena perempuan sendirilah yang "mengundang" nya denhan... kecantikan, keseksian, bahkan karena bepergian malam dan atau sendirian.
Data dan fakta bahwa korban kekerasan seksual itu ada antara umur dari 9 bulan sampai 70 tahun, perempuan-perempuan berhijab dengan baik dan benar, di tempat-tempat umum begitu saja diabaikan. Kemana nurani kita...?.
Seksikah bayi usia 9 bulan yang bahkan masih pipis dan bab di pembalut dengan berbagai merk ya itu?, Cantik dan seksikah nenek di usia renta dan dengan keriput di seluruh badannya itu?
Dan, pelaku?... bukan saja dari yang tak bersekolah, tak berijazah, tak berharta, tak berkuasa, tak ada ilmu agama. Pelakunya ada yang usia anak sampai renta, sarjana bahkan S3, kuli sampai direktur, cleaning servis sampai atasannya....
Jadi bagaimana mempertanggungjawabkan pendapat bahwa kekerasan seksual itu terjadi karena diizinkan atau malah karena undangan?
Dan, saya akan membela "Syaithan" bila disalahkan untuk kejahatan pemerkosaan.
Sekali-kali, coba kembali berpikir dan bernurani, letakkan otak di tempat nya.
(Dukaku untuk para korban pemerkosaan dan keluarga mereka, siapapun. Ingatlah para pelaku dan para pendukung mereka dengan bergagai bentuk, media dan caranya kah yang hina, sehina-hinanya)
Credits: Rukiyah Hanum
(Pemerhati Anak dan Pengiat Psikososial)