Pernahkah anda menonton film dokumenter yang berjudul “The Human Sexes: Language of the Sexes”?. Di film tersebut, kita akan mendapatkan bagaimana masyarakat tertentu dalam mendefinisikan “cantik dan seksi” untuk wanita. Bagi masyarakat suku Karen Padaung yang terdapat di Birma Timur, wanita cantik nan seksi adalah yang memiliki leher panjang dan jangkung. Untuk mendapatkan leher yang jenjang, mereka rela mengorbankan fleksibelitas gerak karena memakai kalung tembaga di leher agar bahu menurun sehingga batang leher memanjang dengan sendirinya.
Lain lubuk, lain pula ikannya. Masyarakat Cina Kuno menafsirkan konsep “cantik dan seksi” ketika seorang wanita memiliki kaki yang sangat kecil hingga antar jemari kaki saling menyatu. Caranya, sejak berusia lima tahun mereka “dipaksa” untuk memakai sepatu dengan ukuran sangat kecil dan kakinya dibalut dengan kain perekat (selotip). Begitu juga dengan salah satu suku di Afrika, dalam pandangan mereka, seorang wanita dikatakan “cantik dan seksi” ketika memiliki bibir yang lebar. Sejak kecil, mereka memasukkan lempengan logam ke dalam bibirnya agar melebar. Begitulah para wanita di sana demi sebuah legitimasi sosial. Bahkan, besar kelebaran bibir menjadi standar dalam menentukan tinggi rendahnya harga mahar ketika ada yang meminang. Semakin lebar bibir, semakin tinggi mahar yang didapatkan, begitu pun sebaliknya. Tiga kasus di atas sebagaimana dihadirkan dalam film tersebut menjadi bukti bahwa konsep “cantik dan seksi” ini sebenarnya memiliki nilai relative yang berdasarkan atas penafsiran subjek-subjek yang terlibat. Pada titik ini, alur pikiran yang mengatakan “cantik dan seksi itu relative” bisa dibenarkan.
Di sisi lain, gerakan besar globalisasi seakan berusaha untuk menyeragamkan makna “seksi dan cantik” bagi seorang wanita sesuai dengan selera pemegang kuasa kapitalis. Alhasil, redefenisipun terjadi sesuai dengan konsep yang ditawarkan pasar.
Redefenisi Konsep “Cantik dan Seksi” Ala Pasar
Market, dengan kerja manipulative, berupaya menciptakan definisi baru tentang apa itu “cantik dan seksi” bagi wanita. Seakan “cantik dan seksi” itu memiliki ketentuan baku yang dibalut dalam sebuah konsep tubuh ideal. Parahnya, ini (hampir) diterima secara universal.
Jika kita bertanya pada para lelaki dan wanita, bagaimana mereka mendefinisikan “cantik dan seksi”, saya yakin, hampir semua dari mereka akan menjawab bahwa “cantik dan seksi” itu apabila memiliki tubuh ideal yang dikonsepkan melalui indikator-indikator tertentu, misal: memiliki rambut lurus, hitam dan lebat; memiliki payudara padat dan berisi; memiliki kulit putih, halus dan berseri; serta memiliki tubuh langsing, tinggi, dan bahenol bak biola spanyol.
Asumsi ini bukan dari hasil penelitian mendalam yang saya lakukan, apalagi jika disinggung berkaitan dengan kerangka berpikir dan metode ilmiah. Namun, dari wawancara ringan dengan beberapa kolega, saya (dengan sedikit mengeneralkan) berkesimpulan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas terkait konsep “cantik dan seksi”. Dugaan ini diperkuat dengan tayangan-tayangan iklan sebuah produk dengan menampilkan para wanita bertubuh “ideal”. Begitu pun pada acara-acara kontes wanita sejagad. Meski mengusung slogan 3B (Brain, Beauty, and Behaviour), tetap saja beauty selalu menjadi daya tarik utama.
Pergeseran makna tubuh yang semula memiliki nilai otentisitas terhadap materi, yang kemudian sarat dengan nilai-nilai lainnya setelah muncul komodifikasi atau muatan budaya lainnya, tentu berimplikasi secara moralitas dan sosial. Untuk itu, kerangka berpikir Mike Featherstone sepertinya cocok untuk melihat fenomena ini. Setidaknya, Mike menegaskan ada tiga tanda dalam memahami pergeseran masyarakat modern saat ini: dominannya nilai simbolis suatu barang, lahirnya proses estetisasi kehidupan, dan melemahnya sistem referensi tradisional (Abdullah, 2010).
Beranjak dari itu, kita bisa melihat bahwa nilai simbol suatu komoditi menjadi begitu penting bagi masyarakat modern. Penyembahan terhadap simbol akan melahirkan pola perilaku yang terkadang tidak bisa diterima akal sehat demi tercapainya hasrat yang sebenarnya itu tidak lebih dari kontruksi kapitalis dengan beragam rekayasa yang diciptakan untuk menghadirkan sebuah kesadaran semu bagi target. Secara tidak sadar, kebanyakan wanita mendambakan memiliki fisik yang “ideal”. Kondisi ini diperparah ketika dunia didukung oleh konstruksi kuasa maskulinitas. Ini juga sengaja diciptakan menjadi bagian dari gaya hidup (style), sehingga jika ada yang mengabaikannya, maka ia bisa saja dianggap tidak “hidup”. Bagaimana pusat-pusat kecantikan “diserbu” oleh para wanita guna menggapai derajat “cantik dan seksi” ala kapitalis dan maskulinis. Seorang wanita tidak lagi perhitungan dalam mengeluarkan rupiah. Beragam alat kosmetik yang disajikan di pasaran laku keras, mulai dari untuk menghilangkan jerawat agar kulit wajah terlihat mulus, sampai pada produk yang katanya bisa membuat kulit lebih putih dan cerah.
Operasi plastik dengan mengubah bentuk material tubuh, mulai dari mata, hidung, dagu, payudara, bahkan hal yang paling intim sekalipun juga merupakan fenomena tersendiri sebagai implikasi dari upaya mengikuti style guna mencapai derajat “cantik dan seksi”. Kondisi ini berdampak pada pengabaian nilai-nilai kesehatan. Contohnya saja suntik silikon untuk membuat payudara padat berisi. Padahal, secara medis, menyuntik cairan silicon ke dalam payudara memiliki efek negative dan sewaktu-waktu bisa sangat berbahaya bagi tubuh itu sendiri. Kesehatan tubuh dikesampingkan demi sebuah legitimasi “cantik dan seksi”.
Semua yang dilakukan oleh para wanita tersebut adalah upaya estetisasi kehidupan yang menganggap hidup ini bagian dari ekspresi seni karena apa yang dikonsumsi tidak lagi melihat nilai fungsi, namun lebih kepada simbol yang berhubungan dengan status dan citra dalam masyarakat (Abdullah, 2010).
Ciri pergeseran yang ketiga adalah melemahnya sistem referensi tradisional. Anggapan kolot akan disematkan kepada wanita yang masih setia terhadap ideology dan system sosial generic yang diperolehnya. Dalam hal ini, nilai agama bukan lagi patokan dalam berkelakuan dan bertingkah laku karena kiblat sudah berganti pada model-model yang ditampilkan kapitalis.
Pergeseran nilai dan redefinisi terhadap konsep tubuh ideal yang “cantik dan seksi” berdampak pada kontruksi pemikiran yang kemudian dilahirkan pada tataran praktek yang terwujud dalam performance. Tentu saja ini mewujudkan perilaku-perilaku baru yang menjurus pada pencapaian legitimasi “cantik dan seksi”. Memiliki rambut keriting yang sebelumnya bukan sebuah masalah, namun kemudian itu menjadi masalah ketika terjadi redefenisi makna “cantik dan seksi” yang ditawarkan pasar. Sebenarnya, perilaku budaya konsumsi yang dibentuk pasar adalah strategi dalam mengejar keuntungan berlipat ganda bagi sang pemilik modal. Alhasil, keganasan globalisasi dan kapitalisasi melahirkan imaji-imaji yang ingin dimiliki.
Akhir kalam, para suami hadir sebagai “korban”, terlebih ketika dompetnya tak lagi kuasa menghadirkan pundi-pundi untuk performance.
Postingan ini keren Romi, I like it
Bereh @abu-buleun .....
Nyan Han Ek Tamamam Et2 Nan Tatumuleh Kajeut Keu Makalah Awak Dokter Kecantikan. Heheheh...
Suwah Tapanceng @good-karma dkk nak meulipat 2. hehehe...
Insya Allah Rijang Jeut Keu Kurator @abu-buleun
Lon pih hana meuphom kibn nyoe... perseh lagee leumoe kap situk... mka jih, beuleu neupuruno lee dronh yg ka awai...