Setiap makan bersama keluarga, saya amat jarang memesan makanan. Paling banter segelas ekspresso dan air putih. Kalau di rumahkan yang tidak menjual kopi maka saya tidak memesan apapun. Saya hanya duduk manis menunggu anak anak dan ibunya memesan. Mengapa begitu? Sebab tugas saya nantinya vuma menghabiskan sisa makanan mereka. Hampir pasti selalu tidak habis mereka makan. Makanya kalau saya juga memesan. Akan banyak makanan terbuang. Terkadang saya lebih kenyang darimereka. Bahkan saya bisa makan beragam makanan.
Dirumah hal yang sama juga terjadi. Saya biasa menghabiskan sisa mereka. Daripada dibuang. Itu saya lakukan dengan kesadaran bahwa jangan ada yang mubazir. Hal yang sama juga dialami istri saya. Ternyata memang kami lebih lahap daripada anak anak.
Dimasa lalu, di keluarga saya atau keluarga anda mungkin sebaliknya. Masih jelas dikenangan saya saat tinggal bersama Ayahwa atau Bapak. Untuk kepala rumah tangga adalah prioritas. Hidangannya khusus. Tidak bercampur dengan anak anak. Usai memasak ibu akan mengambil dulu untuk ayah. Menarok di tempat khusus yang tertutup. Wadah berupa talam. Tutupnya di sebut "tutop sange" atau tutup hidang. Setelah semua menu dicukup untuk ayah. Baru sisanya untuk ibu dan kami anak anak. Tidakkan ada yang berani menyentuh hidangan itu sebelum ayah makan. Bagi kami dikampung hidangan buat ayah amat sakral.
Bila ayah usai makan maka di izinkan untuk memakan sisanya. Dan prosesi ini sangat membanggakan. Saya mengenang betapa saya sangat bahagia bila ayahwa atau bapak mempersilakan saya memakan sisanya. Itu momen yang ditunggu. Umumnya makanan dihidangan itu memang akan bersisa. Begitu batasan yang kita terima dimasa lalu. Sebandel bandelnya sang anak takkan melanggar norma ini. Hanya para balita yang punya hak mengganggu ayah makan. Mendapat beberapa suap sambil duduk dipangkuan. Sang ayah memang raja dalam keluarga. Ini tergambar dalam perlakuan dikeluarga. Mendapat keistimewaan di meja makan dan lain lain. Semanja manjanya sang anak pasti punya pantangan. Misalnya masuk ke kamar orang tua kita. Atau kalau masih ada rumoh Aceh. Maka hampir pantang sang anak yang sudah besar untuk naik ke rumoh ineng. Itu ruangan tertinggi di rumoh Aceh.
Jaman telah berubah. Peradaban terus bergerak. Boleh jadi makin maju. Namun kita kehilangan banyak hal. Boleh jadi positif. Ketika kemajuan juga menggilas budaya. Kini menjadi kuno hubungan orang tua dengan anak dengan segala kekakuan. Meja makan menjadi tempat berakrab ria untuk keluarga. Tidak ada yang istimewa buat sang ayah. Orang tua akan bangga bila berhasil menyajikan menu terbaik buat sang anak. Bila dulu ayah adalah raja kini anaklah menjadi raja. Semoga saja nilai itu berubah lebih ekstrim. Misalnya orang tua yang harus membalas budi anak. Atau hal hal lain yang bertukar. Wallahu alam
Pasti na cerita preh ulee eungkot teutaguen ata sisa yah di yup sange he he he. Ulee eungkot sisa yah sabe jeut keu rebutan meunyoe kamoe ureung pasi.
Ulee eungkot peunajoh ulee balang, jinoe ka hana yum le
Top brader, lon pike gara2 kolesterol bunoe, rupa jih ken ... hahaha
Singeh baro kolesterol beh, bek han kajak