Review Acehnologi (II:20 Studi Religi Aceh)

in #indonesia7 years ago


Berbicara tentang studi religi di Aceh sama saja prinsipnya dengan mengkaji Islam. Sebab, antara Aceh dan Islam tidak dapat di pisahkan antara satu sama lain dasar pijakan kerajaan-kerajaan di Aceh di landaskan pada sistem keyakinan pada Islam, dasar pengetahuan di Aceh juga di landaskan pada kosmologi Islam, dasar bangunan kebudayaan juga tidak dapat di lepaskan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Islam. Akibatnya, Islam telah membungkus Aceh dalam satu kesatuan yang utuh dan holistik. Contoh kebudayaan Aceh yang tidak dapat dilepas dari Islam adalah keunduri, istilah keunduri ini di bagi dalam dua jenis. Jenis pertama merujuk pada kenduri yang bersifat untuk kehidupan dan jenis kedua biasanya di hubungkan dengan kematian. Dalam tradisi keunduri nuansa Islam memang kental sekali. Karena itu, jumlah kenduri atau selametan di Aceh di mulai sejak seseorang lahir, hingga pasca meninggal dunia. Makna dari keunduri tersebut sering di hubungkan dengan konsep syukur, ingat, dan keseimbangan.

Dalam konteks kesejarahan, Islam yang datang ke Aceh bukanlah Islam yang merupakan hasil peperangan. Namun Islam yang di bawa oleh ulama sekaligus pedagang, sehingga kedatangan Islam di Aceh tidak mewarisi dendam sebagaimana kedatangan Islam ke Eropa. Islam di terima secara damai, pedagang, penguasa, dan ulama membentuk suatu komunitas politik yang secara teoritis tak terlepas dari hasrat relegius. Dagang, kekuasaan,dan agama adalah tiga hal yang saling berkaitan di masa awal Islamisasi, Islam menjiwai atau menjadi spirit bagi aktifitas perdagangan, kekuasaan, dan tradisi ilmu yang di kembangkan. Satu hal yang perlu di catat adalah sistem keyakinan yang di praktikkan oleh orang Aceh adalah tuntas dan totalitas dalam berkeyakinan.

Proses Islamisasi Aceh dilaksanakan secara terintegrasi dan terkoneksi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Menurut buku acehnologi volume dua halaman 649 dikatakan bahwa dalam konteks tersebut kondisi alam sangat memungkinkan dilakukan penyebaran Islam di Aceh. Seperti kerajaan peureulak berada di kawasan pantai timur, berdekatan dengan kawasan Sumatra Utara. Kerajaan samudra pasai berada di pantai berdekatan dengan kerajaan jeumpa di Bireun. Kerajaan terakhir ini terkoneksi dengan kerajaan pedir di Aceh Pidie. Selanjutnya terhubung dengan kerajaan Aceh Darussalam berdekatan dengan kerajaan Merhum Daya di Aceh Jaya. Selanjutnya sampai ke Aceh selatan. Kerajaan peureulak pun tidak jauh dengan kerajaan Tamiang di perbatasan Aceh dengan Sumatra Utara. Jarak antara masing-masing kerajaan tersebut tidak lebih dari 50-100 kilometer, adapun wilayah ekspansi penduduk dari bibir pantai sekitar 15-25 kilometer. Di antara kawasan utara dan selatan terhadap perbuktian yang dikenal yang di kenal dengan istilah bukit barisan, ini belum lagi kawasan yang di pisahkan dengan gunung-gunung yang memberikan indikasi kuat sebagai proses utama bagaimana kekuatan spiritual Islam di kembangkan. Di hamparan penggunugan dan lembah tersebutlah kerajaan Islam di pulo Ruja bermunculan. Hamparan nisan para sultan dan ulama-ulama ternama di temukan, sebagai data dan fakta historis maupun arkeologi mengenai gerak Islam sebagai kekuatan politik, perdagangan, dan ilmu pengetahuan.

Istilah Islamologi sendiri bermakna kajian tentang Islam, ada juga yang menyebutkan dengan istilah Islamic Studies atau Dirasah Islamiyyah. Di Aceh, studi Islam kerap di istilahkan melalui konsep meuruno (belajar). Jika ada istilah meuruno, biasanya di tambahkan dengan istilah jak meuruno atau jak meununtut. Karena itu, di dalam tradisi Aceh pergi belajar keluar rumah atau kampung sudah dapat di pastikan itu adalah belajar Islam, adapun tujuan tempat belajar adalah dayah atau zawiyah. Sementara itu pada saat ini tradisi penjejangan studi Islam pun mulai bervariasi di Aceh, minat untuk belajar islam di Aceh walupun belum ada studi yang komrehensif tetapi menunjukkan kecendrungan yang amat besar. Hal ini di buktikan sejak taman kanak-kanak sudah mulai di terapkan pemahaman keislaman salah satu istilah yang kerap di gunakan adalah IT (Islam Terpadu).

Pada halaman 658 di katakan di level SD, juga sudah di minati sekolah yang berbasiskan Islam yang juga di kenal dengan istilah SD IT. Model sekolah ini pun mulai di buka oleh pihak swasta. Para murid tidak hanya di ajarkan ilmu, tetapi di ajarkan bagaimana menghafal Al-Qur’an. Ketika memasuki jejang SMP/MTS, para murid mendapatkan berbagai model lembaga pendidikan, mulai dari yang memakai kerangka boarding school, hingga sekolah model/percontohan. Pesantren tradisional pun sudah mulai membuka SMP. Begitu juga, pesantren membuka madrasah dari tsanawiyah hingga ‘aliyah. Kompentesi input semakin bersaing manakala sudah masuk pada level SMA. Dapat di katakan bahwa mereka yang mendapatkan studi Islam secara komprehensif di bangku TK hingga SMA cenderung memperoleh hasil yang memuaskan.

Hanya saja dan di sayangkan ketika mereka masuk ke jenjang lebih tinggi di bangku kuliah lebih cenderung masuk pada bidang keilmuan yang mengandalkan angka dan bahasa, jurusan-jurusan “pemikir” cenderung sepi peminat seperti jurusan aqidah filsafat, perbandingan agama, perbandingang mazhab, dll. Pertanyaan nya MENGAPA???? Mengapa hal seperti itu terjadi??? Menurut buku acehnologi volume dua halaman 660 dikatakan islamologi di Aceh cenderung ingin membentuk masyarakat yang beramal saleh. Walaupun situasi sosial dan budaya yang terekayasa terkadang tidak mendukung dari tujuan kesalehan yang ingin di bentuk. Karena itu rekayasa masyarakat di Aceh lebih di arahkan untuk implementasi ajaran Islam. Akan tetapi, energi atau infrastruktur pemikiran tidak mampu membendung berbagai di namika yang muncul dalam studi Islam itu sendiri, akibatnya di Aceh tidak ada ruang untuk mencurahkan pemikiran-pemikiran yang di pandang di luar kelaziman, sebagimana diyakini dan diamalkan oleh sebagian masyarakat Aceh. Inilah satu penyebab mengapa studi Islam yang mendalam pemikiran tidak begitu diminati oleh para generasi muda di Aceh. Alhasil dalam realitas sosial, masyarakat cenderung menghormati seseorang jika mereka sudah mendapatkan pekerjaan yang layak.