Kali ini saya akan mereview kembali buku Acehnologi tapi bedanya kali ini saya akan mereview volume tiga, yap sambungan dari buku Acehnologi volume dua. Pada bab pertama volume tiga ini kita akan membahas tentang “kerak peradaban Aceh” cukup menarik untuk di bahas.
Jika kita ingin membangkitkan kembali peradaban Aceh maka mau tidak mau kita harus memahami aspek metafisik dari peradaban Barat. Di samping itu, karena kita ingin membangkitkan peradaban Aceh pada sebuah Naggroe, maka mau tidak mau, harus memikirkan bagaimana aspek metafisik dari peradaban jawa dan peradaban lainnya yang ada di Nusantara ini.
Sebagai contoh ketika Aceh bergabung dengan Republik Indonesia, Aceh di anugrahi gelar ‘Istimewa’. Dan hanya ada dua daerah yang di anugrahi daerah istimewa, Aceh dan Yogyakarta. Ketika Aceh di berikan gelar istimewa, yang terbayang adalah orang Aceh memiliki Adat istiadat dan ajaran Islam yang dapat di laksanakan dalam kehidupan rakyat. Namun tidak di berikan ruang untuk menjadikan Islam sebagai spirit dalam tradisi bernegara di daerah ini. Pembarian ini pun tidak cukup merasakan jati diri ke-Aceh-an, bahkan gelar ini tidak membuat para eksponden urung tuha Aceh puas berada di bawah payung NKRI. Intinya Aceh walaupun di berikan keistimewaan, tetap saja tidak “istimewa” di bandingkan tentangganya, yaitu Yogyakarta. Demikian juga ketiga Aceh di berikan hak untuk mengurusi diri sendiri, di berikan gelar Naggroe Aceh Darussalam namun sekali lagi, gelar ini juga tidak memberikan jawaban yang cukup signifikan bagi orang Aceh. Pada tahun 2006 Aceh di beri gelar baru yaitu pemerintah Aceh namun, sampai sekarang Aceh tetap tidak menampakkan keistimewaannya apalagi mencapai kegemilangan. Aceh tetap tetap yang gamang dan galau.
Pertanyaannya mengapa Aceh tidak bisa seperti Yogyakarta padahal sama-sama mempunyai gelar daerah istimewa? Jawabannya dengan gelar keistimewaan yang melekat pada Yogyakarta rakyatnya dengan sangat bersahaja tetap satu padu. Pusat kebudayaan masih di pusatkan di keraton. Mereka masih patuh pada sultan. Daerah ini juga tidak kaya dan sejahtera seperti Aceh, di daerah pinggiran Yogyakarta masih ada penduduk yang makan tiwul. Namun ketika kita keliling Yogyakarta masih ada aspek spirit kebudayaan yang di pertahankan baik dari aspek kebudayaan mikro-kosmos maupun makro-kosmos.
Di sinilah persoalan muncul peratanyaan apa dan bagaimana spirit ke-Aceh-an? Pada halaman 749 di katakan di Aceh tidak ada lagi sultan yang pusat dari peradaban Aceh. Walaupun secara historis, di Aceh terdapat beberapa kerajaan Islam, namun peniggalan kerajaan tersebut hanya terbatas pada situs sejarah dan kronika yang menjadi rujukan generassi berikutnya. Salah satu yang menopang kerjaan Aceh kerajaan di Aceh adalah spirirt keIslaman yang menyelinap masuk kedala spirit kebudayaan dan spirit ilmu pengetahuan. Kebersatuan tiga spirit inilah yang membentuk jati diri ke-Aceh-an. Dengan kata lain, dari tiga kekuatan ini Aceh mampu melukiskan dirinya sebagai sebuah entitas peradaban di Nusantara. Upaya untuk memperkenalkan tiga spirit ini ke generasi muda Aceh bukanlah sesuatu yang amat mudah, mengingat hampir dua ratus tahun Aceh mengalami proses de-strukturisasi sosial dan de-moralisasi yang amat menghawatirkan.
Di Aceh proses pencarian dan pendefinisian spirit lebih banyak di dasarkan pada kajian-kajian keIslaman, khususnya tasawuf dan filsafah. Di Aceh kajian ini telah mengantarkan Aceh berada di satu pintu peradaban yang amat maju pada abad ke 16 dan 17 masehi. Jadi, ketika Aceh memiliki kejayaan peradaban pada abad ke-17, saat itu ada sesuatu kekuatan spirit kosmik yang mengitari kehidupan rakyat Aceh.
Namun hari ini Aceh masih bergerak secara aktif untuk keluar dari kemelut, hampir setiap episode sejarah pasca bad ke-17 selalu di hadapi konflik atau tragedi berdarah yang selalu melihat manusia sebagai aktor utama. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa Aceh telah menoreh satu penggal peradaban yang tidak dapat di lupakan oleh siapapun. Namun, proses untuk mengulangi keberhasilan peradaban Aceh selalu mengalami kegagalan, hal ini terlihat misalnya setelah abad ke-17 Aceh mulai di sibukkkan untuk menerima sistem berpikir yang tidak lagi mengangkar pada spirit ke-Aceh-an. Akibatnya ketika spirit ke-Aceh-an tidak lagi muncul maka negeri Aceh sangat mudah untuk di taklukkan walaupun secara fisik Aceh tidak pernah dukalahkan oleh penjajah, namun secara mental Aceh telah mengalami proses penghilangan secara sistematis sumbu kesadaran peradaban.