Ketika Jurnalisme Berwajah Sastra

in #indonesia7 years ago (edited)

baca koran.jpg

Ketika jurnalisme masih bertumpu hanya pada konsep lama (jurnalisme formal atau konvensional), yang cenderung hanya mengandalkan fakta dengan model penulisan berstruktur piramida terbalik, dengan gampang kita dapat membedakan antara karya jurnalistik yang lazim disebut berita dan karya sastra yang lazim disebut fiksi (cerpen dan novel). Berita berisi kabar terhangat dari suatu peristiwa, bersifat faktual, padat informasi, dan ditulis atas prinsip 5W+1H dengan struktur piramida terbalik. Sedangkan fiksi berisi cerita rekaan, tidak faktual, tidak padat informasi, bisa tidak jelas masa kejadiannya, dan disusun dengan gaya bertutur yang luwes dan indah.

Akan tetapi, ketika jurnalisme dan sastra sudah saling bersentuhan, terutama setelah berkembangnya jurnalisme sastrawi (literary journalism), banyak karya jurnalistik yang sulit dibedakan dengan karya sastra. Jurnalisme sastrawi, yang dirintis dan dipelopori oleh para jurnalis yang juga sastrawan seperti Daniel Defoe, George Orwell, dan Ernest Hemingway, yang kemudian dikukuhkan oleh Tom Wolfe dengan sebutan jurnalisme baru (new journalism), “meminjam” teknik bertutur fiksi realistik untuk menulis berita sehingga sering mirip karya sastra (fiksi).

Berita dituturkan dalam perpaduan yang menarik antara narasi, deskripsi, dan dialog, dengan menghadirkan tokoh yang berkarakter kuat, dan latar (setting) yang hidup. Prinsip 5W+1H tetap dipegang tapi tidak ditempatkan secara kaku pada awal berita, karena struktur piramida terbalik tidak lagi menjadi tumpuan. Kekuatan imajinasi (bertutur secara imajinatif) mengambil alih peran dalam menyusun berita, sebagaimana kekuatan imajinasi seorang cerpenis/novelis berperan dalam menulis cerita.

Dengan sentuhan sastra (citarasa sastra), berita dapat tersaji seindah karya sastra, dan ketika dibaca dapat senikmat membaca karya sastra. Coba kita simak kutipan-kutipan berikut ini:

                                         (1)

Di Barak Lenin, Barcelona, suatu hari sebelum bergabung dengan milisi, saya melihat seorang anggota milisi Italia berdiri di depan meja petugas. Ia seorang anak muda berusia sekitar 25 tahun, dengan rambut kemerah-merahan dan bertubuh kekar. Topi kulitnya ditarik ke bawah menutupi mata kanannya. Dia berdiri persis di depan saya, dagunya mendongak seakan menekan dada saya, dan mata kirinya menatap dengan dahi berkerut pada peta yang terbuka di atas meja. Raut wajahnya terkesan siap membunuh dan mempertaruhkan nyawanya demi seorang kawan....

                                     (2)

Seorang laki-laki masuk ke bengkel reparasi alat tubuh manusia milik George dan duduk di depannya.
‘’Ada yang bisa saya tolong?’’
‘’Ya, saya ingin tubuh saya disetel dan diberi pelumas.’’
George mengeluarkan alat-alat.
‘’Silakan berbaring, supaya bisa saya periksa.’’
Orang itu berbaring di ranjang kecil berlapis sprei putih dan George langsung menanganinya….

                    (3)

Seorang gadis berambut panjang melangkah tergesa menyongsong seorang lelaki yang turun dari baby benz hitam. Sang gadis lantas mengangkat tumitnya untuk dapat mengalungkan untaian bunga ke leher lelaki itu.

                          (4)

Harga revolusi, kata sejarah, selalu mahal. Tapi, bagi Indra, revolusi di Semanggi hanya seharga seribu perak. Pasalnya, begitu selesai mengikuti unjuk rasa mengguncang SU MPR dengan jargon-jargon revolusioner, sisa honornya tinggal seribu perak.
“Betul, tinggal seribu perak nih! Habis untuk makan.”

Jika tidak membaca bagian-bagian berikutnya, dan di mana tulisan yang dikutip di atas dimuat, kita akan cenderung menduga bahwa kutipan-kutipan tersebut adalah bagian (awal) dari fiksi – bisa cerpen, bisa novel. Tetapi, dugaan ini tentu saja keliru, sebab semua kutipan di atas merupakan bagian pembuka berita. Kutipan pertama adalah pembuka buku Homage to Catalonia karya George Orwell (1938), yang ditempatkannya sebagai salah satu contoh karya jurnalistik (non-fiksi) yang teknik penulisannya memakai teknik penulisan fiksi.

Contoh kedua adalah kutipan feature yang ditulis oleh Art Buchwal. Dengan gaya pembuka di atas Buchwal menggambarkan bagaimana operasi pertama pemasangan jantung tiruan dilakukan di sebuah rumah sakit, dan ia sekaligus mengeritik organ tiruan hasil rekayasa kedokteran itu. Adegan operasi jantung pun ia gambarkan secara mencekam dan menegangkan.

Kutipan ketiga merupakan pembuka feature tentang wisman kesejuta, yang disambut secara khusus oleh menteri pariwisata, dan dimuat di Harian Media Indonesia dalam tahun 1987. Sedangkan kutipan keempat adalah gaya pembuka laporan tentang aksi unjuk rasa menyongsong SU-MPR, yang saya tulis dan dimuat di Harian Republika, dalam tahun 1999.

Pada mulanya, seperti dapat ditemukan pada berbagai surat kabar dan majalah di Indonesia, gaya jurnalisme sastrawi, atau gaya fiksi realistik, hanya digunakan untuk penulisan berita kisah (feature). Namun, pada perkembangannya, gaya jurnalisme sastrawi juga mewarnai berbagai tipologi berita lainnya, seperti berita lempang (straight news), berita komprehensif (comprehensive news), dan berita investigatif (investigative news), terutama penulisan berita untuk majalah-majalah mingguan, tengah bulanan serta bulanan – yang memang mengandalkan gaya penyajian, kedalaman, kelengkapan, dan keluasan – guna menutup ketertinggalannya dengan surat kabar harian.

Baca koran dua.jpg

Serupa tapi Beda
Pada era jurnalisme sastrawi, gaya penulisan berita memang bisa sama dengan fiksi. Tetapi, antara keduanya tetaplah harus dibedakan, sebab masing-masing memiliki substansi yang berbeda dan disiplin (bidang) yang berbeda. Substansi berita, jelas, adalah fakta. Sedangkan substansi fiksi adalah dunia rekaan (ciptaan) sang pengarang. Fiksi jelas masuk dalam bidang sastra, sedangkan berita – bagaimanapun gaya penulisannya – tetaplah masuk dalam bidang jurnalistik yang tidak dapat terlepas dari urusan fakta.

Untuk memperjelas perbedaan antara berita dan fiksi, Aoh K. Hadimadja (1978), mengelompokkan tulisan ke dalam dua wilayah: wilayah fakta (fact) dan fiksi (fiction). Sedangkan Ashadi Siregar (1989) membedakannya ke dalam tiga kelompok, yakni fakta, opini, dan fiksi.

Yang termasuk di dalam wilayah fakta adalah tulisan-tulisan yang unsur-unsur pembangunnya terdiri dari fakta-fakta, sejak berupa data-data, peristiwa, sampai apa saja yang dikatakan oleh nara sumber. Dan, di wilayah inilah seorang jurnalis ‘bermain’ dalam melahirkan karya-karya jurnalistiknya, sejak yang berupa berita lempang (straight news), sampai berita kisah (feature).

Sedangkan opini dalam konteks ini adalah tulisan-tulisan yang dibangun oleh unsur-unsur gagasan (ide) dan penilaian (justifikasi) atau analisa kritis terhadap suatu persoalan, gejala maupun fenomena, serta kadang-kadang diakhiri dengan saran atau solusi. Misalnya, esei, kolom dan artikel ilmiah populer. Di wilayah inilah para kolumnis, eseis, dan penulis artikel ‘bermain’. Sementara, fiksi adalah tulisan yang sepenuhnya dibangun oleh dunia rekaan pengarangnya sendiri, seperti cerpen, novel, dan roman.

Masri Sarep Putra (2010) secara cukup tegas juga tetap membedakan substansi antara berita bergaya sastra (literary journalism) dengan cerpen atau novel. Literary journalism, menurut Masri, melulu didasarkan pada fakta yang sesungguhnya. Tidak ada, dan tidak boleh ada, unsure khayalan (fiksi – pen.) di dalamnya. Sedangkan cerpen ataupun novel adalah karya fiksi, rekaan, dan imajinatif.

Di sini hanya dikutip perbedaan antara berita dan fiksi, karena penulis ingin menegaskan perbedaan antara karya jurnalistik yang sastrawi dengan karya sastra, sebab keduanya memang berada di wilayah yang berbeda, dengan substansi yang berbeda. Adalah berbahaya jika berita diperlakukan sebagai fiksi, atau disamakan dengan fiksi, dengan memperlakukan peristiwa sebagai unsur-unsur fiksi.

Dalam menulis berita, bagaimanapun gayanya, fakta tetaplah harus diperlakukan dan ditempatkan sebagai fakta. Jurnalis tidak boleh sedikitpun memasukkan fiksi ke dalamnya. Dan, inilah prinsip utama jurnalisme yang tetap harus dipegang oleh para wartawan sampai kapanpun, baik wartawan media cetak maupun elektronik.

Bagaimanapun kita tetap harus mempertahankan eksistensi media massa sebagai pilar kebenaran yang ketiga, setelah agama dan peraturan perundangan. Jika substansi berita (fakta) sudah dicampuradukkan dengan fiksi, dengan khayalan atau rekaan yang penuh kebohongan, maka akan runtuhlah fungsi pers sebagai pilar kebenaran yang ketiga itu, dan pers tidak akan dipercaya lagi oleh masyarakat. @ ahmadun yh, dari berbagai sumber

Foto diambil dari:

  1. https://www.triwibowo.com/mitos-desain-koran-menurut-pakar/

  2. https://www.bola.net/open-play/kolaborasi-unik-messi-ramos-rvp-dkk-dalam-video-musikal-pepsi-80ed62.html

Sort:  

penjelasan yang sangat menarik, Pak. Dibandingkan berita lempang, features yang ditulis dengan gaya naratif memang lebih awet, tetap menarik meski dibaca berhari-hari atau bahkan berbulan/tahun setelah kejadian. Dan lebih nempel di ingatan pembaca.

Ya betul, Ihan.. sepekat....

Menarik, jurnalisme sastrawi.
Jadi serasa membaca sebuah kisah dalam cerpen ya, Pak.

btw, kutipan terakhir mungkin salah nomor kah? Tadi saya cari-cari kutipan ke-4 karya pak @ahmadunyh, tapi yang kelihatan kutipan (5)

Terima kasih koreksinya, Fida. Anda sangat teliti. Itu kesalahan penomoran sudah saya betulkan. Tks

Keren👏👏

ketika online sudah 'menyapu' semua periatiwa seharusnya koran bergeser ke cerita, kisah, atau yang kerap disebut jurnalisme sastra. Tapi banyak koran di Indonesia masih tetap pada gaya lama, yang akhinya koran tak lagi dibaca.

Berita rasa sastra... Menarik 😀

Menarik betul. Mengingatkan saya pada jurnalisme sastrawi di ISAI. Ayo nulis dengan model begini. Pasti keren