THE ANGEL'S CRYING
Indonesia short story by Ahmadun Yosi Herfanda
Hamdan mulai kesal menunggu. Sudah hampir pukul 21.00 WIB orang-orang belum juga datang ke mushala. Jamaah shalat Isya malam itu bahkan kosong. Padahal, sudah disebarkan ajakan kepada warga muslim sekitar mushala untuk mengikuti takbiran bersama menyambut hari Raya Idul Fitri sehabis shalat Isya. Hamdan bertanya-tanya, apakah semua warga memiliki acara yang sangat penting dan tak dapat ditinggalkan?
Hamdan maklum, pada malam Lebaran setiap keluarga muslim pasti mempunyai keperluan yang penting, seperti menyerahkan zakat fitrah kepada yang berhak, menyiapkan pakaian untuk shalat Ied dan silaturahmi, serta menyiapkan hidangan untuk esok pagi. Tetapi, bukankah itu semua dapat dikerjakan oleh ibu-ibu? Kalaupun bapak-bapak ikut membantu, biasanya cukup sebentar, untuk menyenangkan hati sang istri. Kemudian, dapat segera pergi ke mushala untuk takbiran bersama. Bukankah bertakbir mengagungkan kebesaran Allah di ‘hari pengampunan’ tidak kalah pentingnya?
Hati Hamdan tambah risau. Mau takbiran sendiri rasanya lucu. Walaupun dia yakin, bahwa hal itu sangat baik untuk dia lakukan. Tetapi, untuk takbiran sendiri dengan suara keras di tengah kampung Mundusari yang tingkah laku warganya hampir mendekati tingkah laku kaum Jahiliyah pada jaman Nabi, perasaannya berat juga. Dia khawatir kalau dianggap sinting. Bukankah dalam masyarakat yang sudah keblinger, sebutan semacam itu dapat saja dilemparkan kepada orang yang berbuat benar?
Kampung Mundusari dulu merupakan bagian dari basis kegiatan PKI. Ketika ada pembersihan, banyak kepala keluarga yang diciduk. Sebagian kecil kini telah kembali dan yang lain tak ada yang tahu kini di mana. Ada yang bilang, sebagian besar dibawa ke suatu pantai terjal di Gunungkidul, dibantai tentara, dan mayatnya dilempar begitu saja ke laut yang ganas. Sebagian lagi, konon, dibawa ke Pulau Buru dan meninggal di sana. Tapi, ada juga yang melarikan diri ke luar negeri, ke Cina, Rusia, atau ke negara sosialis di Eropa Timur. Ada juga yang kembali sudah menjadi kaya dan punya bisnis besar di Jakarta. Malah ada yang menjadi tokoh elit parpol dan menjadi anggota DPR RI yang dikenal vokal. Hidup ini memang serba tak terduga. Yang punya ‘ilmu siluman’ bisa sluman slumun slamet. Mestinya menghuni penjara, tiba-tiba jadi orang penting di Jakarta.
Sejak dulu kampung itu sangat kosong dari suasana keagamaan. Mistik, perjudian gelap dan perdukunan hidup subur di sana. Kalau ada orang meninggal, bukannya disambut dengan tahlilan dan doa atau suasana bela sungkawa lainnya, tapi malah disambut dengan permainan gaple semalam suntuk sambil minum minuman keras.
Para remajanya pun seperti hidup dengan liar. Ketimbang belajar di rumah atau mengaji di mushala mereka lebih suka nongkrong depan layar tancep, begadang di depan gedung pertunjukan ketoprak, bergerombol di tepi jalan, nonton dangdut tobong atau keluyuran tidak karuan. Tak heran kalau kadang-kadang terdengar kabar, bahwa si A atau si B mengandung tanpa bapak, si C dan si D ditangkap polisi karena Narkoba, atau si F digebuki ramai-ramai karena ketahuan mencuri sepeda.
Baru tiga tahun Hamdan tinggal di kampung itu. Kebetulan dia menjadi guru agama pada SMP Negeri yang kebetulan pula berlokasi di pinggir kampung Mundusari. Melihat suasana yang sangat rawan di kampung itu, hati Hamdan tergugah untuk memberikan sesuatu yang berharga kepada masyarakatnya. Kebetulan ada beberapa guru dan mahasiswa yang beragama Islam yang kos di kampung itu. Atas kerjasama dengan mereka dan atas dukungan ketua RT yang kebetulan beragama Islam -- walaupun tak pernah mengerjakan shalat -- Hamdan mengumpulkan dana untuk mendirikan mushala sederhana. Kini mushala telah berdiri, tentu sangat sayang kalau tidak dimakmurkan.
***
Jarum jam pada dinding mushala sudah melewati angka sembilan. Tapi Hamdan masih berzikir sendiri. Kawan-kawan seperjuangannya – beberapa mahasiswa Muslim -- sudah pada pulang kampung dua hari menjelang Lebaran. Tinggal dia sendiri yang mengurusi mushala. Mau ikut pulang kampung bersama istrinya, dia tidak tega meninggalkan mushala itu tanpa ada yang mengurusnya. Orang-orang belum juga datang ke mushala untuk takbiran. Pemuda-pemudanya juga belum ada yang tampak batang hidungnya. Mungkin mereka pada pergi ke disko, nonton dangdut, ketoprak, atau nonton film di gedung bioskop tua yang hampir roboh, Hamdan tidak tahu.
Hamdan bermaksud melangkah ke pintu untuk menengok rumah Pak Salman persis di depan mushala. Mantan preman inilah yang kemarin malam berjanji untuk menemani Hamdan memulai takbiran di mushala sehabis shalat Isya. Yang mau ditengok tiba-tiba muncul di pintu.
”Wah, cukup lama saya menunggu bapak,” tegur Hamdan menyembunyikan kekesalannya.
“Barusan nonton tivi, Dik. Dik Hamdan kok tidak nonton? Acaranya bagus, lho. Ada Elvi Sukaisih.”
“Kan Bapak sudah janji akan memulai takbiran bersama saya sesudah shalat Isya?”
“Ya. Tadi saya juga sudah mau ke sini, tapi kupikir orang-orang pasti juga nonton semua. Maka enak-enak saja saya nonton. Kan percuma datang ke mushala sendirian!”
“Ah, sudahlah, Pak. Mari kita mulai takbiran saja sambil menunggu yang lain.”
“Lho, kok cuma berdua. Kita tunggu dulu saja. Sebentar lagi mereka juga datang. Nggak usah serius-serius lah, Dik Hamdan!.”
Pak Salman agak ngotot. Hamdan jadi khawatir kalau terjadi ketegangan. Ia tahu, Pak Salman mantan preman terminal bus yang temperamental. Sewaktu ada pembersihan PKI dulu dia ikut ditangkap, karena ikut aktif di SOBSI – organisasi buruh underbouw PKI. Baru dua tahun yang lalu ia kembali. Dan, karena sulit mencari pekerjaan, Pak Salman akhirnya menjadi calo bus antar kota. Dia biasa hidup dalam suasana yang keras. Hamdan sebetulnya sudah merasa bersyukur, Pak Salman mau rajin datang ke mushala. Untunglah, tak lama kemudian beberapa orang lagi berdatangan bersama beberapa anak muda. Hamdan melemparkan senyum pada mereka. Pak Salman ikut berseri-seri.
Hamdan segera memulai acara takbiran bersama. Mulanya mereka kelihatan bersemangat, bertakbiran dengan suara keras dan kompak – Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar. La ilaha illallah. Allahu akbar. Allahu akbar wa lillahil hamd. Tetapi, lama-lama semangat mereka mengendor. Suara mereka semakin habis. Bahkan banyak yang hanya menggerak-gerakkan mulutnya saja, tanpa bersuara. Tinggal Hamdan dan beberapa orang yang bersuara.
Baru setengah jam lebih sedikit acara takbiran berjalan, mereka sudah tampak ogah-ogahan dan banyak yang seperti gelisah ingin segera meninggalkan mushala. Melihat gelagat demikian, Hamdan segera mengistirahatkan acara takbiran dan memberi kesempatan kepada mereka untuk merokok dan minum teh atau kopi yang telah dihidangkan oleh Bu RT.
Dalam istirahat mereka tampak bersemangat. Hamdan ikut ngobrol ngalor ngidul dengan diselingi tawa segar yang cukup keras. Tapi, tiba-tiba terdengar suara takbiran, bukan hanya suara seorang, tapi banyak orang, dalam koor yang kompak, Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar. Lailaha illallah. Allahu akbar. Allahu akbar wa lillahil hamd….
Suara takbiran itu terdengar dekat sekali, seperti di atap mushala, menggetarkan perasaan. Hamdam terdiam. Begitu juga orang-orang di mushala. Mereka mencoba menengarai dari mana datangnya suara itu.
“Apa Dik Hamdan memutar kaset takbiran?” tanya Pak Salman
“Tidak.”
“Itu suara takbiran dari mana?”
“Dari mana ya? Kedengarannya dekat sekali.”
“Ya, dekat sekali. Padahal tidak ada mushala di sekitar sini. Jangan-jangan dari rumah Pak Salman.”
“Ah, enggak. Saya tak punya kaset takbiran.”
“Coba kita lihat keluar.”
Satu demi satu orang-orang pun keluar mushala, mencari dari mana asal suara itu. Orang-orang heran, suara itu berasal persis dari atap mushala sederhana itu. Orang-orang mencoba menengarai suara itu dari berbagai arah, depan, samping kanan-kiri, dan belakang. Suara itu tetap terdengar berasal dari atap mushala.
“Jangan-jangan suara jin,” kata seorang warga.
“Bisa jadi. Sebelum dibuat mushala, di sini memang ada pohon beringin besar, tempat jin beranak pinak,” sahut Pak Salman.
“Kalaupun itu suara jin, kita tak perlu takut. Jin yang takbiran pasti jin Islam. Jadi, sealiran dengan kita,” celetuk Hamdan.
“Saya jadi merinding. Mau pulang saja ah!” kata seorang warga.
“Saya juga mau pulang. Takut!” sahut yang lain.
“Takbirannya kita teruskan besok saja, Dik. Saya juga jadi merinding,” kata Pak Salman.
“Baik, kalau begitu. Saya akan tetap melanjutkan takbiran sampai jam dua belas malam. Jangan lupa besok kita berangkat shalat Ied bersama-sama. Siapa yang masih mau menemani saya takbiran sekarang, silakan!”
Tidak ada jawaban dari warga. Satu demi satu mereka meninggalkan halaman mushala. Hamdan tinggal sendiri. Ia kembali masuk ke mushala, dan dengan perasaan merinding ia bertakbir keras-keras dengan bantuan mikropon. Anehnya, begitu Hamdan bertakbir, suara takbiran misterius tadi hilang, dan begitu Hamdan berhenti, suara itu muncul lagi seperti menyambung takbirannya.
Mendengar suara takbiran sahut-menyahut itu, Pak Salman jadi penasaran. Ia membuka korden jendela dan mengintip ke arah mushala. Ia terkejut, mushala nyaris penuh oleh orang-orang berjubah putih yang bertakbiran bersama Hamdan. Karena takut, ia cepat-cepat menutup kembali korden jendelanya.
***
Jam enam pagi orang-orang sudah berkumpul di depan mushala untuk berangkat ke tempat shalad Ied bersama-sama. Hamdan datang agak terlambat. Mereka menyambut kedatangannya dengan tersenyum-senyum, seperti mengolok-olok.
“Kesiangan, Dik? Tadi malam sampai jam berapa?” tanya Pak Rakhmat.
Hamdan tersenyum.
“Hebat juga takbiran sendiri sampai larut malam,” puji warga yang suka memakai kopyah putih meskipun belum pernah naik haji itu.
“Sebetulnya saya tidak sendirian, Pak,” kata Hamdan.
“Yang benar, Dik. Tadi malam waktu lewat di depan sini saya hanya melihat kamu takbiran sendiri di dalam mushala.”
“Benar, Pak. Saya tidak sendiri. Bapak mau mendengar cerita saya?”
Pak Rakhmat mengangguk.
“Ternyata para jin di kampung kita sudah masuk Islam semua. Tadi malam mereka menemani saya takbiran,” kata Hamdan.
“Ah, Dik Hamdan ada-ada saja.”
“Dengarkan dulu cerita saya, Pak. Tadi malam, setelah Bapak pulang, saya sebenarnya juga akan ikut pulang. Tetapi tiba-tiba sejumlah mahluk yang menyerupai manusia berpakaian putih-putih memasuki mushala ini dan mereka memaksa saya untuk memimpin takbiran.”
Bapak-bapak yang sebagian besar sudah tua itu hanya melongo dan saling memandang. Anak-anak mudanya ikut memperhatikan cerita Hamdan.
“Mereka mengaku, bahwa mereka adalah para jin yang mendiami kampung ini,” lanjut Hamdan. “Mereka juga mengatakan kalau mushala ini tidak digunakan oleh orang kampung, mereka akan mengambil alih untuk mereka gunakan sebagai mushala para jin. Bapak-bapak dan adik-adik boleh percaya boleh tidak. Tetapi itulah kejadian yang saya alami tadi malam.”
“Apakah Dik Hamdan tidak bermimpi?” tanya Pak Rakhmat.
“Tidak, Pak. Sampai jam setengah satu saya masih takbiran di sini. Mungkin hanya saya yang diberi kesempatan dapat melihat mahluk-mahluk gaib itu.”
Orang-orang kampung itu mengangguk-angguk.
“Itulah, Pak. Mungkin jaman sudah akhir, sehingga keadaan menjadi terbalik. Para manusia yang seharusnya taat beribadah, kini malah semakin jauh dari Allah. Sedangkan para jin yang semula sebagai mahluk-mahluk jahat dan ingkar, kini malah taat kepada Allah.”
Bapak-bapak yang sebagian besar masih percaya pada tahayul dan klenik itu mengangguk-angguk dengan pasti. Anak-anak muda hanya saling memandang.
Takbiran bersama akhirnya dimulai juga. Mereka mengagungkan asma Allah sambil berjalan ke lapangan tempat shalat Ied dengan kompak dan bersemangat. Ini terasa agak aneh. Biasanya kalau mereka takbiran secara begitu lebih melempem dan lebih kacau lagi ketimbang takbiran di dalam mushala.
Hamdan agak geli, tapi hatinya menjadi lega. Ia sebenarnya hanya mengarang cerita itu untuk ‘mengerjai’ warga kampung. Ia tidak melihat orang-orang berjubah putih yang tadi malam memenuhi mushala seperti dilihat Pak Salman. Sayangnya, sejak melihat orang-orang misterius itu, mantan preman ini terkena demam dan tidak dapat pergi shalad Ied.
Gambar diambil dari:
https://www.google.co.id/search?biw
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://sembahyangrumputan.blogspot.com/2011/05/ledakan-di-rumah-emak.html
Ya, Om Cheetah. Teks udah saya ganti..... Padahal teks tadi saya tayang di blog sendiri. Gak boleh juga ya. Duuuhhh rugi deh .....
Gak boleh double posting mas. Meskipun blog sendiri. Om cheetah gak bisa membedakan. Maklum mesin
ha ha ha.... ya ya....
Kisah yang menarik pak
Makasih Andrian. Itu setengah kisah nyata....
Wah saya suka sekali yang ini pak @ahmadunyh
Walaupun Hamdan sedikit berbohong (walau sebenarnya memang ada yang nemenin), tapi usahanya mengajak warga ke mesjid patut diacungi jempol.
Kasihan pak Salman..
Ya begitulah. Itu setengahnya kisah nyata.....