Bahasa di Menara Gading dan di Miyub Moh

in #indonesia4 years ago

20160218_215717-01.jpeg

Foto: Dataran Merdeka, Kuala Lumpur

Pagi adalah saat dimana pikiran masih jernih untuk digunakan berfikir, katanya. Saya tidak begitu percaya dengan pernyataan ini, karena beberapa pekerjaan kreatif justru dikerjakan pada malam hari. Editor audio visual, penulis, dan sebagainya mengerjakan proses kreatif mereka pada malam hari. Mungkin tepatnya, otak kita akan renew setelah bangun tidur karena otak telah menyeleksi pikiran-pikiran yang tidak penting untuk dihapus, semacam pembersihan chace pada perangkat komputer atau telepon pintar.

Saya selalu membuat kesepakatan dengan diri sendiri untuk mulai menulis lagi. Pertimbangan saya, kemampuan untuk mengekspresikan apa yang dipikirkan ke dalam bentuk tulisan perlu dilatih dengan praktik terus menerus untuk menguasai kekayaan kosa kata dalam tulisan. Selain mengasahnya dengan membaca, praktik menulis setiap hari juga melatih untuk untuk mengurangi penggunaan kosakata yang sama secara terus menerus dalam sebuah tulisan. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk menulis kembali. Kebetulan saya memilih platform ini untuk pajangan tulisan saya.

Pagi ini saya menemukan ide untuk menulis tentang sebuah kejadian yang terjadi dalam grup Whatsapp belajar bahasa Inggris kami, Disini saya mencoba untuk menanggapi kalimat yang dilontarkan oleh salah seorang teman saya. Cerita awalnya, salah seorang teman memberitahu saya untuk membuat poster untuk pengumuman tema diskusi bahasa Inggris Minggu ini. Temanya adalah positive thinking. Salah seorang teman yang lain meminta penjelasan tentang tema tersebut dengan menghadirkan komparasi untuk menemukan definisi dari frasa positive thinking. Dia bertanya "Husnuzzan ya?".

Kemudian spontan salah seorang teman yang lain mengiyakannya, namun dia mengelaborasi lebih jauh tentang frasa positive thinking tersebut. "Benar, cuma bahasanya dibuat lebih scientific saja...." balasnya di Whatsapp grup. Sebenarnya saya ingin menanggapi (saya menghindar untuk menyebutnya "mengkritik", karena akan bias jika dibaca oleh orang yang baper) di Whatsapp grup tersebut tetapi saya urung karena akan lebih baik untuk ditulis lebih panjang, karena ini terkait dengan sebab historis juga.

Positive thinking adalah bahasa Inggris yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti berfikir positif, atau berfikir baik. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Arab adalah husnu adz-dzan yang arti dalam bahasa Indonesianya adalah berfikir baik juga. Penjelasan etimologinya adalah husnu berarti baik, dzan adalah dugaan (dalam konteks ini berarti berfikir/menduga). Kenapa kemudian positive thinking dianggap lebih scientific daripada husnudzan?

Tradisi filsafat dan ilmu pengetahuan beberapa kali berpindah dari satu kontinen ke kontinen lainnya. Saya tidak menyebut negara, karena batas-batas geopolitik terus berubah dalam sejarah umat manusia. Pusat-pusat ilmu pengetahuan juga berpindah dari timur ke barat, begitu juga sebaliknya. Semua peristiwa besar seperti kolonialisme, rasisme, dan lain-lain mempengaruhi kiblat berfikir kita atau lebih spesifik mana yang kita anggap scientific.

Namun, sebuah hal yang sangat mempengaruhi tradisi ilmu pengetahuan secara fundamental adalah bahasa. K. Bartens, seorang guru besar filsafat di Indonesia mengklasifikasikan pemikiran-pemikiran dan para filsuf dalam beberapa jilid bukunya menurut bahasa apa yang mereka gunakan untuk mengekspresikan ide dan pemikiran.

Dalam beberapa masa, bahasa Arab sempat menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan ide-ide. Dimana buku-buku Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Ibnu Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh ilmuwan-ilmuwan Eropa. Begitu juga buku-buku Wittgeinsten, tokoh filsafat analitik (yang mempelopori matematika modern) yang ditulis dalam bahasa Jerman diterjemahkan juga ke dalam Bahasa Inggris. Buku-buku para pemikir besar (seperti; Imanuel Kant, Sartre, Heidegger, Hegel, Marx, dan sebagainya) tidak ditulis dalam bahasa Inggris. Sebagian dalam bahasa Jerman, yang lain dalam bahasa Perancis.

Memang ada beberapa pemikir besar yang menulis karya mereka dalam bahasa Inggris, seperti; Bertrand Russel, Moore, Karl Popper (mereka adalah kumpulan filsuf analitik, rata-rata juga matematikawan). Penggunaan bahasa Inggris menjadi lebih luas kemudian disebabkan oleh kemenangan Amerika Serikat dalam perang dunia, dimana koloni Inggris sebelumnya sudah menduduki pulau tersebut. Tentu saja bahasa Inggris berkembang pesat. Keberadaan kampus-kampus besar di Amerika juga mendorong penggunaan bahasa Inggris menjadi bahasa ilmu pengetahuan atau scientific.

Kesimpulannya, saya tidak setuju dengan dikotomi bahasa kedalam binary. Satunya merupakan bahasa scientific, yang lainnya bukan (dalam hal diatas bahasa Arab). Karena peristiwa besar dalam sejarah dunia telah mengubah penggunaan suatu bahasa dalam ekspresi ilmu pengetahuan, juga karena bahasa yang kita maksud tersebut hanyalah parole (ujaran), bukan Langue. Struktur langue dan parole justru kemudian dikritik oleh filsuf posmodernisme sebagai bagian dari struktur sebuah bahasa. Karena menurut mereka ada suatu hal lain, yaitu experience (pengalaman) yang bisa merusak tatanan strukturalisme tersebut.

11 Desember 2020