Dalam bab ini, penulis menceritakan bagaimana posisi penggunaan Bahasa Aceh dari kisahnya yang mulai dari kampung hingga ke kota. Dapat disimpulkan bersama, ternyata penggunaan Bahasa Aceh yang kini semakin meredup eksistensinya dikarenakan oleh masyarakat Aceh itu sendiri, dengan kata lain Bahasa Aceh menjadi terarjinalkan di negeri sendiri menjadi Bahasa asing. Kurangnya perkenalan terhadap Bahasa Aceh menjadi poin yang paling perlu dipertimbangkan, saya setuju dengan penulis yang menceritakan ketika Bahasa Aceh menjadi pelajaran mulok yang posisinya terletak di bawah rapor anak-anak sekolah. Bahkan ketika saya sekolah dulu menggunakan buku pelajaran Bahasa Aceh yang tak pernah berganti/diperbaharui dan kian langka sampai guru saya kesulitan membagi buku tersebut kepada kami, ternyata sekarang ketika saya melihat buku tetangga saya yang masih SD ternyata menggunakan buku yang sama dengan 9 tahun silam ketika saya masih SD.
Padahal, Bahasa bagi suatu etnis merupakan sebuah harta yang paling berharga, nilai dan kepentingan Bahasa dalam kajian antropologi yang dijelaskan dalam bab ini akan membuat kita tersentak bagaiamana mungkin kita kian meredupkan Bahasa daerah kita sendiri, dari beberapa kutipan, penulis menyiratkan kutipan dari John Beattie dalam other cultures yaitu posisi Bahasa dalam suatu komunitas amat penting. Sehingga, peneliti antropologi sosial ketika ingin mendalami pikiran suatu masyarakat, cenderung memulai dengan memahami Bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut. Proses pemahaman ini bukan semata untuk memahami pengaruh Bahasa dalam kehidupan sosial, tetapi juga konsep-konsep dan simbol-simbol yang digunakan oleh masyarakat tersebut. Jadi, tidak mungkin memahami pola piker masyarakat, tanpa memahami Bahasa terlebih dahulu.
Nyatanya, Bahasa mampu memainkan peran dalam pembentukan kebudayaan atau bahkan peradaban, walaupun Bahasa aceh bukan merupakan Bahasa nasional maupun internasional namun Aceh pernah menjadi pusat peradaban yang paling besar di Asia Tenggara pada abad ke-17, walaupun Bahasa pada saat itu merupakan Melayu-Pasai. Namun, Bahasa Aceh dapat menempatkan posisinya untuk menjadikan peradaban dalam daerahnya, jika kesdaran akan pentingnya berbahasa Aceh sirna, maka dapat dipastikan kebudyaan orang Aceh juga akan sirna,bahkan cara pandang ke-Aceh-an juga tak dapat kita cicipi lagi. Dalam bab ini, juga penulis memberikan contoh bagaimana masyarakat jawa tetap mempertahankan Bahasa endatu nya dan menjadikan Bahasa ini sebagai Bahasa dalam forum formal dan informal yang sangat sulit ditemukan di pusat urban masyarakat Aceh saat ini.
Akhir pembahasan ini, penulis juga memberikan cara bagaimana membangkitkan kembali semangat berbahasa dan berbudaya Aceh, maka yang perlu dilakukan, pertama,memperkenalkan jati diri ke-Aceh-an pada generasi muda. Kedua, menjadikan Bahasa Aceh menjadi kebudayaan Provinsi. Ketiga, meyakinkan masyarakat Aceh bahwa Bahasa Aceh merupakan Bahasa endatu. Keempat, melakukan berbagai kajian mengenai Bahasa Aceh. Kelima, membuka dialog kebudayaan di Aceh. Maka dari itu, Acehnologi akan menjadi media bagi kita mengenai kesadaran jati diri ke-Aceh-an yang akan membawa masyarakat Aceh kembali memiliki kebudayaan yang menjadi identitas masyarakatnya.