Hotel Lading 23 Maret 2018, Kala pertama dan menjadi terakhir kalinya bertemu sembari berbagi cerita dengan Pak Ramli. Tubuhnya yang tak lagi kuat, nafasnya yang tersengal sengal, dan bicaranya yg putus putus, membuat saya semakin takjud dengan semangat yang dipancarkan dari mata beliau. 28 tahun duduk dan berkantor di Pusat Dokumentasi Informasi Aceh masih terlalu singkat bagi beliau untuk mengenal Aceh lebih jauh.
Pembicaraan kami mulai ngalur ngidul antara saya, bang Ayi Mapesa dan Pak Adaly. Menyentuh semua era sejarah Aceh. Mulai dari era Samudra Pasai, Aceh darussalam, konflik DI Tii, sampai era konflik RI Gam.
Satu hal yang begitu membekas dihati dan dipikiran saya kala itu, yaitu ketika beliau bercerita mengenai wawancara beliau dengan salah satu radio Jerman kala Aceh masih dirudung konflik RI Gam.
"Saya tanya kepada wartawaran Radio Jerman yang kebetulan orang Indonesia itu, kenapa kalian (Eropa) sampai sibuk-sibuk mengurusi Aceh yang dari di ujung sumatra ini? Apa sebenarnya yg kalian cari?" Ungkap pak Ramly dengan sorotan matanya yang tajam. Usia tak jadi halangan baginya ketika harus berbagi ilmu dan pengalaman.
Wartawan radio dari Jerman itu bercerita, Jika Aceh merupakan daerah dengan potensi yang cukup stategis bagi Eropa. Yaitu sebagai pintu masuk ke Selat Melaka. Jadi jika Aceh terus dirudung konflik, atau terus-terusan mendapatkan tekanan, maka hampir bisa dipastikan pelayaran di Selat Melaka akan terganggu.
Munculnya bajak Laut, bergabungnya Pejuang Aceh Merdeka dengan ISIS, atau Pemberontak Moro, atau Khmer Merah, hal ini akan sangat menganggu Eropa yang hampir setengah perekonomiannya bergantung dari jalur Ekspor Impor Selat Melaka ini.
Penguasa Selat Melaka
Sejarah telah membuktikan, siapa yang mampu menguasai Selat Melaka maka dia akan mampu menguasai setengah perekonomian dunia. Ini menjadi salah satu sebab mengapa Portugis duduk di Melaka lalu menyerang Aceh tanpa henti. Selat melaka juga menjadi poros politik Sultan Iskandar Muda dalam menjalankan politik luar negerinya. Dan hal itulah yang melatar belakangi Sang Sultan mengerahkan pasukan besar-besaran untuk mengusir Portugis yang ada di Melaka kala itu.
80.000 sampai 90.000 kapal besar pertahun melintasin selat sempit antara sumatra dan malaysia ini juga, menjadi landasan VOC mati-matian mencari cara agar bisa berperang dengan Aceh. Dan cerita selanjutnya, kalian lebih tahu bagaimana Akhirnya.
Awal tahun 2018, publik Aceh dikagetkan dengan ide Gubernurnya yang juga seorang pilot pesawat single engine. Pasalnya, beliau mengajukan pembelian pesawat berjenis Aero Shark. harganya tak tanggung-tanggung, 12 Milyar Rupiah ( untuk enam unit pesawat). Alasannya? Untuk mengamankan laut Aceh!
Walaupun pada akhirnya ide ini mental dan dalam proses yang alot, namun cerita panjang Selat Melaka dengan Aceh ini menjadi sebuah paradigma tersendiri.
Sejenak saya berpikir, apakah pak Gub berpikiran sama seperti pak Adami ataukah seperti yang dikhawatirkan oleh wartawan radio dari Jerman itu. Entahlah..
"Nak Yudi, ingatlah! Siapa yang bisa menguasai Selat Melaka, maka dia akan menjadi penguasa sebagian ekonomi dunia! " Inilah pesan yang begitu melekat dipikiran saya. Tak lama dari pertemuan hari itu, pak Ramly pun harus menghadap Sang Pencipta.
Rasa-rasanya, Aceh kembali kehilangan tokoh sejarahnya.
dedication for Mr Ramly A. Dally