Assalamualaikum,Wr,Wb…
Kali ini saya akan mencoba kembali mereview bab 25 dari buku ACEHNOLOGI VOLUME 3 yang ditulis oleh bapak Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad, PH.D. Baiklah saya lagsung saja memulai pembahasan tentang bab 25 Sistem Kebudayaan Aceh.
Bab ini menurut saya sangat menarik dibaca.
Pertama, mengenai konsep awal mengenai kemampuan manusia Aceh didalam memunculkan kebudayaan yaitu adanya : I (saya), being (keberadaan), dan terakhir adanya action (aksi), seperti yang kita ketahui dalam bahasa Aceh ‘saya’ berarti lon dan tentang keberadan diartikan dengan na. Jika di gabung menjadi na lon yang artinya adalah na lon dan jika tidak ada maka ditulis hana lon istilah na ini pun banyak dipakai di berbagai aktivitas seperti, na tuho (tahu arah), na teupat (lurus), na tupat (tahu dimana), na deuh (tampak keliatan), na turi (kenal), na tu’oh (tahu), Jika tidak tau maka awalannya ditambah ha.
Kedua, adanya pola pikir yang dilakukan orang Aceh ternyata mirip pola yang dilakukan di Barat. Misalnya persoalan mengenai pencaharian makna ‘saya’ ternyata dalam buku ini disebutkan juga ada di Barat. Yaitu ketika mereka mencari knowing self (kenali diri) atau consciousness (kesadaran diri). Kajian ini dapat ditemukan di ilmu-ilmu sosial. Menurut Charles Taylor yang menekuni pemikiran Hegel mengatakan “bahwa diri manusia baru bisa bermakna ketika mampu diepresikan didalam kehidupan dan diakui sebagai kepuasan diri.Alasan mengaapa dikaitkan kajian Aceh dengan era pencerahan di Barat yaitu karena peristiwa kebangkitan akal dan kebangunan di Aceh sama-sama terjadi diera yang sama. Yaitu abad ke-16 dan ke-17 masehi. Jika di barat saat itu muncul filsafat dan sains, maka di Aceh adanya agama dan peradaban.
Ketiga, adanya sistem ide-ide di kalangan orang Aceh yang progesif. Misal, sistem ide orang Aceh berjalan di atas ombak dan perahu. Namun, ide ini tidak lagi ada. Laut Aceh tidak lagi merapatkan kapal-kapal seperti di Temesek (Singapura). Yang pada akhirnya desiran ombak tidak lagi menyaksikan sebuah wangsa yang maju, melainkan wangsa yang mulai hilang identitasnya, baik itu spiritual ataupun intelektual. Hal itu dikarenakan tidak ada lagi kekuasaan dan peradaban, yang tersisa di tepi laut hanyalah reusam (gambar), dan yang lebih menyedihkan lagi adalah di depan perahu orang Aceh, berlalu kapal-kapal yang cukup besar lalu pada saat yang sama, di depan petani Aceh, tanah air orang Aceh mulai dikorek dan dibawa ke laut. Hasil bumi diangkut di depan mata sedangkan, orang Aceh sibuk menonton TV di warung kopi.
Maka dari itu proses penyadaran akan kekuatan laut Aceh, merupakan salah satu upaya yang harus dipertahankan dan juga bagi pemerintah harus mampu memperkuat institusi mereka. Karena ada pandangan bahwa salah satu kegagalan suatu Negara, karena mereka tidak mampu memperkuat lembaga-lembaga pemerintahan. Tidak hanya itu saja di proses peuturi ini, mereka yang memiliki kekuasaan, baik di eksekutif maupun di legislatif harus mampu diarahkan untuk bisa tidak berfikir melakukan proses chinsow (alat pemotong kayu). Maksudnya adalah kita masih berfikir bagaimana melakukan chinsow pada materi uang, padahal orang lain sedang memikirkan proses chinsow pada bumi Aceh.
Kesimpulannya pemikiran chinsow jangan lagi diarahkan. Melainkan harus dipikirkan bagaimana cara melawan chinsow orang lain yang memiliki dampak jangka panjang bagi generasi Aceh. Dari kajian model ini diharapkan akan membantu kebangkitan kembali kebudayaan Aceh dalam konteks era modern.
Demikian saya review pembahasan mengenai Sistem Kebudayaan Aceh, apa bila ada kekurangan dalam menyampaikan atau penulisan kata-kata saya mohon maaf.
------Arfan Syahputra
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://steemit.com/indonesia/@dbl20/review-acehnologi-volume-3-bab-25-tentang-sistem-kebudayaan-aceh