Bab ini sebenarnya sangat saya nantikan ketika mulai membaca buku Acehnologi. Bukan tidak beralasan, dalam bab-bab sebelemunya penulis sering sekali saya jumpai menyinggung terhadap cara berfikir orang Aceh. Nah, setiap saya jumpai kalimat ini maka rasa penasaran semakin membuncah maka kemudian setelah saya membacanya mencoba untuk mereview sedikit disini.
Bab ini meliat bagaimana falsafah berfikir orang Aceh. Dalam bahasa Aceh sendiri istilah yang sering digunakan ialah cara seumike (cara berpikir). Untuk itu maka akan coba diutaikan proses berfikir orang Aceh, dimulai dari hal yang mempengaruhi dari segi mikro kosmos dan makro kosmos. Pada bagian pendahuluan ini penulis menerangkan bahwa hadih maja sebagai produk pemikiran dari orang Aceh yang paling otentik. Berbagai pendekatan dituturkan peluis akan digunakan di dalam bab ini.
Setelah di awali dengan pendahuluan maka selanjutnya penulis memberikan bagaimana konteks dan penggunaan dari beberapa kosa kata dalam bahasa Aceh yang sangat sering digunakan. Di awali dengan kata reuboh. Reuboh ialah unagkapan untuk merebus hingga mendidih. ini merupakan gaya bicara yang menyudutkan seseorang, di praktekkan oleh kaum muda dan dari sini tidak dibenarkan adanya rasa marah. reuboh yang dilakukan ini sangat identik dengan olok-olokan. Kendati demikian, tetap ada batasanannya. Dalam permasalahan ini tidak akan menyentuh ranah agama dan keluarga.
Lantas pembahasan ini semakin meluas hingga masuk kepada kosa kata kedua yang diangkat oleh penulis, yakni bangai(bodoh). Dalam pola sosialiasai di perkampungan, tuturan penulis menjelaskan bahwa penggunaan istilah ini sangatlah lazim. Istilah yang digunakan oleh mereka yang tinggi status sosial kepada mereka yang status sosialnya lebih rendah. Dari hal ini terlihat bahwa penggunaan kata bagai bukan untuk penyebutan seseorang tersebut bodoh, melainkan karena posisinya orang tersebut boleh menggunakannya. Misalkan saja dari orang tua kepada anak, kakak kepada adik. Penjabaran ini semakin berlanjut dengan tambahan kata lain baik diawal atau diakhir dari kata bagai. Tentunya hal ini akan menciptakan pemaknaan baru, disinilah penulis menjabarkannya.
Maka dari dua hal di atas, penulis menarik benang merahnya bahwa orang Aceh dalam kontruksi berfikirnya akan mengikuti wilayah dan status sosial. Pemaknaannya yaitu orang Aceh akan membuat wilayah dan status sosial untuk saling berkonfil atau mencari aliansi sebanyak mungkin. Namun disini penulis juga menegaskan ini bukanlah hal yang sangat dominan dari cara berfikir orang Aceh. Bisa terlihat ketika ingin menyatukan masyarakat Aceh maka pilihannya ialah ritual keagamaan serta sosial kebudayaan. Dari penjabaran ini kita bisa melihat bagaimana penulis mencona memberikan gambaran kehidupan sosial masyarakat Aceh.
Pembaca lantas akan menyelami bagian yang sangat menarik dari jabaran bab ini. Setidaknya menurut saya seperti itu. Uraian disini mengambil titik beratnya pada bagaimana pola seumike (berpikir) orang Aceh. Pembaca akanmemperoleh tiga pondasi dasar yaitu alam, agama dan jiwa. Disini nantinya akan diberikan pemahaman dari pola seumike orang Aceh. Melanjutkan yang sebelumnya, disebutkan bahwa keseimbangan kehidupan dari ranah paling rendah hingga naggroe ialah dengan bagaimana bersikap pada alam, agama, jiwa. Masuklah kepada pemahaman atau pola pertama yaitu penyebutan istilah hana roh. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan pemahaman sesuatu yang dianggap melawan alam. Roh sendiri jika ingin dimaknai maka bermakna ruh atau disini diberikan penjelasan sebagai spirit yang tak kasat mata.
Sementara itu, pola kedua ialah penyebutan isltilah hana get( tidak baik) atau bisa juga hana jroh. Jika aspek sebelumnya didasarkan kepada alam maka aspek pola ini didasarkan kepada jiwa. Pola ini tercipta oleh mereka yang dianggap bijaksanawan berdasarkan ilmu-ilmunya sehingga dari sini melahirkan yang namanya hadih maja. Nasehta yang diberikan disini cenderung pendek dan sasaran utamanya bukalah rasional melainkan jiwa manusianya. Dari hal ini muncullah dampak berupa moralitas ke-Aceh-an, dan perlu digaris bawahi target utamanya bukanlah akal pikiran sehingga rasional tidak di ke depankan. Dengan berbagai sebab, pembaca akan sampai kepada penekan dampak yang diberikan oleh penulis. Berdampak kepada redupnya falsafah hana get, bukan hanya karena terjadipergeseran dalam kehidupan masyarakat namun juga tidak adanya kajian mengenai falsafah ke-Acehan-an di Aceh sendiri. Serta penegasan bahwa orang Aceh tidak mencari jati diri Aceh melalui pola ini, sehingga aspek jiwa dan orang Aceh dianggap tidak penting dalam kehidupan sehari-hari.
Lantas kemudian, pembaca akan mencapai kepada aspek ketiga yaitu han jeut( tidak boleh) yang berasal dari aspek agama. Hal ini dikeluarkan oleh para ulama dalam bentuk larangan yang digali dari hukum-hukum Allah. Sehingga setiap ada permasalahan yang berkaitan dengan agama maka akan dirujuk kepada ulama. Ini mengakibatkan tidak kurangnya karya diberikan oleh ulama sebagai bentuk panduan bagi ummat. Dari penjabaran pola pikir ini penulis menegaskan bahwa aspek agama yang malahirkan pola han jeut merupakan toleransi terakhir dari dua pola sebelumnya. Pemahamannya jika penerapan hana roh dan hana get tidak berjalan dalam masyarakat. Serta ketika han jeut sudah tidak bisa juga diterapkan maka dipastikan masyarakat Aceh akan berada dalam kegamangan.
Pola terakhir ini sebenarnya ingin diformalkan dalam bentuk penerapan Syariat Islam di Aceh, sehingga bisa mengatur masyarakat hingga ke wilayah privasi. Kendati demikian, hal ini menjadi penolakan dari mereka yang memiliki tujuan untuk terciptanya liberalisasi pemikiran di Aceh. Bagaimana kemudian dengan keadaan sekarang yang telah mengalami pengalihan dari falsafat han jeut menjadi kekuatan politik. Sehingga dari hal ini peran ulama menjadi tidak dominan dalam hal mengatur bagaimana agar masyarakat Aceh bisa kembali kepada pola berpikir ini. Perbedaan dulu yang diambil peran dalam bentuk penuangan pada kompilasi adat istiadat Aceh serta menjadi spirit utama dalam membangun kebudayaan. Dampaknya setiap raja atau ratu selau memiliki penasehat dari golongan ulama.
Akhirnya mencapai kepada penegasan penulis mengenai ketiga pola berpikir ini. Pola berpikir Aceh ini dianggap telah hilang dan tidak memiliki peran atau fungsi dalam masyarakat Aceh saat ini. Ketika hana roh dan hana get tidak sejalan maka akan berdampak pada aspek ketiga yaitu han jeut. Akibatnya, jika alam-jiwa-agama tidak menjadi lagi pijakan dasar dari pola berpikir orang Aceh maka struktur sosial akan rapuh. Sehingga rakyat akan kehilangan sosok pemimpin spiritual yang memiliki kapasitas dalam memahamkan diri mereka pada ketiga aspek falsafah tersebut, hana roh, han get, serta han jeut.
Dari ketiga hana yang tersebut penulis mengatakan akan terciptanya adat atau reusam yang dikala masa kerajaan menjadi sandaran atau Undang-undang yang isinya sendiri berupa aturan yang berasal dari agama. Pola berpikir ini sudah tidak diminati lagi, terutama untuk wilayah perkotaan. Berbeda dengan kehidupan di perkampungan yang kehidupan mereka diatur dengan haluan mempeutimang dari ketiga makna hana di atas.
Maka konsep pola terakhir yang diberikan oleh penulis ialah timang atau selaras. Inilah yang menjadi puncak dari pola berpikir orang Aceh. Pemahamannya ketika ketiga aspek cara berpikir mengenai alam, jiwa dan ketuhanan sudah selaras maka kehidupan orang Aceh sudah lurus atau di dalam buku ini di istilahkan dengan Salam atau Dar al-Salam. Sehingga mencapai penekanan akhir bahwa studi ini telah membuka satu wacana berpikir oran Aceh. Dan juga penulis memberikan harapan adanya kajian lanjutan yang kemudian menjadi pintu masuk bagaimana dampak beripikir Aceh di saat mereka berhadapan atau bernegosiasi dengan kehidupan modern.