Tgk Muhammad Daud Beureueh di lahirkan di Gampong Beureueh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie tepatnya pada tanggal 17 Jumadil Awal 1317 H/23 September 1899 M. Ayahnya bernama Teungku Ahmad, merupakan seorang Geusyik (Kepala Desa) di Gampong Beureueh, sedangkan ibunya bernama Aminah. Kakek dari Teungku Muhammad Daud Beureueh merupakan seorang keturunan raja Pattani Darussalam (bagian dari negara Thailand). Nama beliau adalah Haji Muhammad Adamy.
Setelah beranjak dewasa, Teungku Muhammad Daud Beureueh menikahi seorang wanita yang merupakan istri pertamanya bernama Cut Halimah (Usi). Cut Halimah ini sendiri merupakan perempuan janda anak saudara kandung dari ayahnya sendiri. Dari perkawinannya itu, beliau di karunia tujuh orang anak, yaitu Hj. Siti Maryam, Tgk H M. Hasballah, Hj Saidah, Hj Raihana, Tgk H Musthafa, Tgk Saifullah, dan Tgk H Ma’mun. Sementara dari pernikahan yang kedua dengan Teungku Asma (dari Paleue) pada tahun 1928, beliau kembali di karuniai tiga orang putra, dan pada perkawinan ketiga dengan Hj Asiah, beliau dianugerahi seorang putra yaitu Tgk H Ruysdi, sehingga seluruhnya berjumlah sebelas orang anak.
Foto : Rumoh Aceh Tgk Muhammad Daud Beureu'eh, Kec Mutiara, Kab Pidie
Sama halnya dengan para ulama yang berasal dari Aceh lainnya, Teungku Muhammad Daud Beureueh juga menimba ilmu pengetahuan melalui jalur pendidikan di lembaga formal dan nonformal. Namun, beliau banyak menempuh pendidikan dari dayah tradisional di kampungnya sendiri, padahal ketika itu telah didirikan berbagai sekolah oleh Belanda, seperti Volkschool, Holland Inlandsche School dan lain-lain. Pada pendidikan formal, Teungku Daud Beureueh pernah belajar di Governement Inlandsche School di Seulimum. Untuk menambah wawasan imunya, beliau lebih banyak belajar dari pengalaman guru-gurunya di dayah secara otodidak.
Membicarakan kiprah Teungku Muhammad Daud Beureueh dalam dunia pendidikan, politik, dan organisasi, tidak mungkin dilakukan secara singkat mengingat nama beliau sangat jelas tertulis dengan tinta emas dalam sejarah di Republik Indonesia. Beliau merupakan seorang ulama dan pejuang yang sangat disegani, baik oleh teman-temannya maupun tokoh-tokoh nasional.
Kiprahnya dalam dunia pendidikan sangatlah besar meskipun untuk mencurahkan ilmunya tidak melalui wadah pendidikan formal. Akan tetapi, setiap alam pemikirannya dan fatwa yang di ucapkannya di dengar dan diteladani oleh masyarakat Aceh khsusunya dan rakyat Indonesia pada umumnya. Beliau mengembangkan sistem baru dalam dunia pendidkan di mana pendidikan juga merupakan wadah bagi organisasi-organisasi pendidikan dan kemasyarakatan.
Salah satunya adalah PUSA. PUSA merupakan organisasi yang didirikan atas dasar perlunya suatu wadah para ulama dalam mempersatukan pemikiran terhadap kelangsungan hidup negeri ini. Cikal bakal terbentuknya PUSA merupakan penggabungan dari beberapa organisasi ,seperti Jamiyah Diniyah, Jamiyah Hasbiyah, Jamiyah Madaniyah, Jamiyah Najdiyah, Jamiyah Khairiyah dan sebagainya.
PUSA awalnya bergerak dalam bidang pendidikan, sosial keagamaan, sementara kegiatan politiknya sendiri sangatlah terselubung. Pada kongres seluruh ulama yang di adakan di Matang Glumpang Dua tahun 1939 didirikanlah PUSA sekaligus mengangkat Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua umum. Kemampuan luar biasa yang di miliki oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh dalam memimpin organisasi baru ini menyebabkan PUSA dalam waktu singkat tumbuh menjadi organisasi besar dan sangat berpengaruh.
Setahun setelah kongres pertama dilaksankan, pada tahun 1940 di Kuta Asan, Sigli, organisasi PUSA di lengkapi dengan gerakan pemuda yang bernama Pemuda PUSA, dan organisasi muslimatnya yang bernama Muslimat PUSA. Kemudian juga didirikan juga sebuah organisasi kepanduan (Pramuka) yang bernama Kepanduan Islam atau Kasysyafatul Islam.
Gerakan PUSA sendiri terdiri atas tiga tempat, yang pertama PUSA sendiri berpusat di Sigli di bawah pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh dan sekretarisnya Teuku Muhammad Amin. Kedua di Idi sebagai pusat dari Pemuda PUSA di bawah pimpinan Teungku Amir Husin Al-Mujahid sebagai ketua umum dan sekretaris Teungku Abubakar Adamy. Sedangkan yang yang ketiga Kasysyafatul Islam bermarkas di kota Bireun di bawah pimpinan Abdul Gani Usman (Ayah Gani) sebagai ketua kwartir besar.
Setelah perang asia timur raya pecah, PUSA mengambil satu kebijakan politik yang amat penting, yaitu tidak bekerja sama dengan Belanda dalam menghadapi Jepang, tetapi kesempatan ini justru di pergunakan untuk melawan kekuasaan Belanda yang mulai goyah. Para pemimpin PUSA dan para pemimpin Pemuda PUSA mengorganisir gerakan bawah tanah untuk memimpin perlawanan. Perlawanan tersebut pertama kali pecah di Seulimum yang di pimpin oleh Teungku Haji Hasballah Indrapuri, Teungku Abdul Wahab Seulimum dan rekan-rekannya. Kemudian perlawanan di Sigli di pimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh sendiri, selanjutnya di Aceh Barat di pimpin oleh Teuku Sabi Lageun.
Setelah proklamasi kemardekaan Indonesia 17 agustus 1945 rakyat Aceh di bawah pimpinan Teungku Daud Beureueh dan ulama-ulama lainnya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan bergabung bersama API (Angkatan Pemuda Indonesia), ini merupakan cikal bakal terbentuknya tentara nasional indonesia di Aceh yang di bentuk oleh Syamaun Gaharu.
Teungku Daud Beureueh pada saat itu tergabung dalam divisi Teungku Chik di Tiro, sebuah organisasi mujahidin. Selain itu, ada dua divisi lain yang berdiri, yaitu divisi Rencong dan divisi Payabakong. Untuk menggabungkan kekuatan ini agar bekerja sama, Teungku Muhammad Daud Beureueh di angkat menjadi Gubernur militer Langkat dan Tanah Karo, di bawah kepemimpinannya di bentuklah TNI di Aceh.
Berbagai kebijakan politik yang di ciptakan oleh pemerintah pusat menyebabkan keguncangan-keguncangan di beberapa daerah di Indonesia, termasuk Aceh. Rasa kecewa rakyat Aceh karena merasa tidak dihargai atas apa yang telah di korbankan demi kemerdekaan negara Indonesia menyebabkan terjadinya pergerakan pada tahun 1953 yang di kenal dengan peristiwa DI/TII. Peristiwa ini menjadi catatan sejarah penting yang dilakukan ulama Aceh setelah kemerdekaan Indonesia. Para pengamat politik mengakui bahwa pada tahun awal-awal kemerdekaan Indonesia, Aceh adalah daerah modal. Oleh karena itu, gerakan DI/TII di anggap unik.
Daerah aceh hingga 1 januari 1950 menjadi provinsi yang mempunyai status otonom, namun status ini hanya bertahan kurang dari satu tahun. Hal ini di sebabkan pemberian kekuasaan kepada Syarifuddin Prawiranegara menurut UU Nomor 2 tahun 1949, oleh pemerintah di maksud apabila terjadi kegagalan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), maka aceh bebas dari pendudukan Belanda. Atas dasar kekuasaan yang di berikan tersebut, Syafruddin Prawiranegara membagi provinsi Sumatra Utara menjadi Keresidenan, yaitu Aceh dan Tapanuli (Sumatra Timur), dengan kondisi Aceh kembali bergabung dengan provinsi Sumatra Utara maka timbul berbagai tuntutan untuk menjadi daerah otonomi lagi.
Foto : Masjid Baitul A'la Lilmujahidin, Baroh Yaman, Kec Mutiara, Kab Pidie
Sementara itu, terjadi ketegangan antara PUSA denagn Badan Kelaskaran Rakyat (BKR). Pada kongres alim ulama seluruh Indonesia di Medan, diputuskan untuk mempertahankan supaya dalam pemilu yang akan datang negara RI menjadi negara Islam. Untuk menarik simpati rakyat, Teungku Daud Beureueh mensosialisasikan hasil kongres di Medan keseluruh pelosok Aceh. Dalam suasana ketegangan ini, Teungku Muhammad Daud Beureueh akhirnya memproklamirkan bahwa Aceh bagian dari negara Islam Indonesia yang selanjutnya di kenal dengan peristiwa DI/TII.
Konflik yang berlangsung dari tahun 1953 berakhir di tahun 1959 yang di selesaikan dengan perundingan-perundingan, baik di pihak RI maupun DI/TII. Pemerintah pusat pada saat itu menyadari kekeliruan yang di lakukan dengan status Aceh menjadi provinsi daerah istimewa Aceh, DI/TII beserta kaum ulama dan pendukungnya kembali kepangkuan RI.
Foto : Makam Tgk Muhammad Daud Beureu'eh di depan Masjid Baitul A'la Lilmujahidin, Baroh Yaman, Kec Mutiara, Kab Pidie
Teungku Daud Beureueh berpulang kerahmatullah pada rabu 14 Zulqaidah 1407 H atau 10 Juni 1987 dan di makamkan dengan sederhana sesuai permintaan beliau di kampung halamannya di Beureueh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie. Itulah sedikit penjelasan singkat tentang sosok ulama serta pejuang yang terkenal di Aceh. Nama beliau masih di abadikan hingga sekarang. Semoga kedepannya banyak melahirkan sosok seperti beliau dalam generasi Pidie khusunya, dan Aceh pada umumnya.(ma)
Sumber :
- Pesan - Pesan Edukatif Tgk. Muhammad Daud Beureu'eh. Oleh Mahmud Saleh.
- Daud Beureu'eh : Pejuang Kemerdekaan Yang Berontak oleh Tempo.
- Teungku Muhammad Daud Beureu'eh Bapak Darul Islam Dan Bapak Orang-orang Aceh. Oleh Suara Hidayatullah edisi Juni 1999.
- Bukan Salah Daud Beureu'eh (Serambi Opini, 10 Desember 2010) Oleh Khairil Miswar