"Aceh zaman konflik antara RI—Republik Indonesia, baca saja: Pemerintah Pusat—versus GAM (Gerakan Aceh Merdeka) adalah zaman sial tiada tara. Ribuan rakyat sipil dibunuh dan dikubur serampangan. Buku-buku dan pelbagai benda berbau simbol ke-Aceh-an pun ikut serta.”
ADALAH UAK yang pertama sekali mengenalkanku pada dunia literasi. Selepas belajar mengaji dengannya, Uak menyuruhku membacakan untuknya sebuah buku cerita nan tebal yang jumlah halamannya ratusan. Disodorkan buku setebal itu, mulanya aku menolak.
“Kamu cukup membacanya seberapa sanggup saja. Tapi kamu harus menyambungnya tiap malam habis kita mengaji,” kata Uak meyakinkanku.
Kesepakatan ini kelak membuatku dekat dan merasa jatuh cinta dengan dunia bacaan. Sejak malam ‘naas’ itu, selepas belajar mengaji dengannya aku harus membaca 5-6 halaman kisah cinta yang tokoh utamanya adalah si anak pisang Zainuddin dengan si gadis gadang menawan Hayati. Buku tebal itu berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karangan Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Hamka.
Aku memulai dan menghabiskan masa kanak-kanak pada zaman ketika Aceh dirajam dengan status maha terkutuk oleh rezim pemerintah Suharto: Daerah Operasi Militer (DOM). 1989 adalah tahun pemberlakuan DOM yang merenggut ribuan nyawa rakyat sipil dan kelak pada 1998 status ini dicabut tiga bulan setelah Suharto lengser. Kurun waktu itulah aku pertama masuk sekolah dasar dan pada tahun 1998 aku sudah duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama. Di penghujung berlakunya status itu pula roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck khatam kubacakan untuk Uak dan telah tamat pula kubacakan untuk diriku sendiri.
Setamat membaca roman karangan Hamka untuk Uak, aku mulai merasa haus dengan berbagai bacaan. Kelas satu SMP aku mulai membaca tabloid Bola langganan paman. Darinya aku jadi tahu nama lengkap Goerge Weah, pesepakbola terbaik dunia tahun 1995 adalah Goerge Manneh Oppong Ousman Weah. Aku juga mulai membaca majalah Kartini milik Mak Cik, di mana rubrik yang sering kubaca berulang-ulang adalah rubrik yang diasuh oleh ‘Paduka Yang Mulia’ Naek Lumban Tobing: Sexologi. Menyebut nama tokoh satu ini aku sering membayangkan dr. Boyke mesti ber-tawassul padanya jika ingin menempuh ‘jalur sufi’ seksologi.
Kegandrungan akan bacaan membuatku berani membongkar tumpukan berkas-berkas milik kakek di kamarnya. Di sana, aku menemukan satu buku yang hingga sekarang telah hilang tak berjejak. Itu adalah buku terjemahan berjudul ACEH karangan serdadu sekaligus wartawan perang kolonial Belanda, H. C. Zentgraaff. Aku tidak sempat membaca buku ini. Kecuali sekadar membolak-balik halaman per halamannya saja. Ada banyak foto hitam putih tokoh-tokoh pejuang Aceh dan serdadu Belanda dilampirkan di dalamnya.
Satu tokoh pejuang Aceh yang kuingat adalah foto Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud. Di foto itu ia memakai setelan kebesaran bangsawan Aceh dan kopiah Meukeutob tersandang apik di kepalanya. Panglima Polem berkacamata tebal dengan bingkai bulat serupa dasar botol kaca minuman soda. Kelak ketika mulai mendengar The Beatles pada masa kuliah sering kukatakan kepada teman-teman bahwa kacamata John Lennon terinspirasi darinya. Beberapa di antara mereka setengah percaya.
Tapi hal yang paling kuingat dari buku Zengraaff milik kakek adalah gambar di lapik depannya. Yaitu sebuah sketsa setengah badan seorang pejuang Aceh menghunus pedang panjang di dadanya, sementara di pinggangnya terselip sebilah rencong. Kukira ini sketsa monumental dengan guratan garis tegas yang cukup mampu menonjolkan karakter pejuang Aceh tempo dulu.
Sketsa di sampul depan buku itu kemudian digambar ulang dalam ukuran besar oleh Pak Cik di dinding tembok rumah kakek. Letaknya di dinding pembatas ruang tamu dan ruang belakang samping meja makan.
Mengenang masa-masa itu rasa-rasanya sangat menggembirakan. Sekalipun dua orang tua lulusan Sekolah Rakyat (SR) tapi akses menyalurkan hobi baru terbuka lebar. Ayah atau ibu tidak pernah melarangku melahap bacaan umum di luar bacaan pelajaran sekolah. Namun hari-hari menggembirakan itu sama sekali tak berlangsung lama. Sas-sus keberadaan orang-orang GPK (Gerakan Pengacau Keamanan)—sebutan tentara untuk gerilyawan Aceh Merdeka—disambut dengan penggeledahan setiap rumah oleh para tentara. Itu sekitar tahun 1996.
Semua orang panik kecuali aku dan anak-anak lain seumuran atau di bawahku yang tidak mengerti isu politik sama sekali tidak tahu menahu tentang keadaan ini. Yang aku tahu empat tiga orang abangku, yang terakhir masih kelas 3 SMA, ayah, Pak Cik, dan banyak orang dewasa lain diwajibkan ronda malam. Mereka pergi berjaga di pos ronda setiap malam secara bergiliran. Ada yang kedapatan seminggu dua kali atau hanya sekali. Disesuaikan dengan banyak-tidaknya orang dewasa dalam satu kampung.
Tiap malam biasanya para peronda akan melakukan tiga kali apel. Apel kehadiran usai magrib, apel keutuhan anggota ronda pada tengah malam, dan habis subuh apel kepulangan. Semuanya dilakukan di pos ronda yang tentu saja di bawah pengawasan para tentara.
Cerita abang, pada apel-apel itulah sering terjadi kejadian tidak mengenakkan yang dilakukan tentara. Ada yang kena popor senjata sebab tidak lengkap anggota ronda karena salah satu peronda sedang buang air besar tepat ketika tentara datang. Ada yang harus nyemplung dalam tambak atau kubangan sebab salah bicara. Bahkan di kampung lain, kata abang, ada yang langsung ditembak di tempat hanya gara-gara namanya sama dengan nama anggota GPK.
Berita penggeledahan rumah makin santer. Banyak yang dibunuh atau dibawa ke pos tentara dan kemudian ‘disekolahkan’ karena di rumahnya ditemukan benda-benda mencurigakan. Parang dengan gagang berornamen Aceh dianggap mencurigakan. Semua benda tajam untuk kebutuhan sehari-hari yang gagangnya berukir dengan ornamen, tidak terkecuali pisau dapur sekalipun dianggap punya kaitannya dengan GPK. Pedang juga. Rencong dan senapan angin lebih-lebih. Tidak hanya senjata tajam. Berkas-berkas dalam satu rumah juga digeledah. Kedapatan memiliki buku-buku sejarah Aceh bisa berakibat fatal.
Konon, Syama’un warga kampung lain, salah satu korban yang mayatnya dibuang di persimpangan kampung dan jasadnya dikuburkan di belakang rumahku ditembak dengan brutal setelah ia diciduk dari rumahnya oleh tentara. Menurut banyak cerita, tentara menemukan buku tentang Teungku Daud Beureu-eh di rumahnya saat penggeledahan. Dalam buku itu, tertera nama Hasan Tiro sebagai bagian dari tokoh keturunan pejuang Aceh pada masa perang Belanda dan perang kemerdekaan.
Bersinggungan dengan nama Hasan Tiro dalam bentuk apapun, apalagi menyebut-nyebut namanya dalam kehidupan sehari-hari masuk dalam kategori haram tingkat tinggi. Bagi yang melanggarnya langsung kena ciduk. Ujung-ujungnya meninggal dalam kondisi mengenaskan atau hilang tak tahu kemana.
Hasan Tiro adalah pembangkang nomor wahid yang dimusuhi rezim Suharto. Deklarasi Aceh Merdeka yang dicetusnya pada 4 Desember 1976 di gunung Halimun, pedalaman Pidie membuat Aceh dikirimi puluhan ribu tentara. Mengutip Azhari, penulis buku kumpulan cerita pendek Perempuan Pala dalam satu pidato kebudayaannya, “Masa-masa ini adalah masa di mana jumlah tentara di Aceh lebih banyak dari jumlah sapi.”
Kakek seorang tentara Heiho pada masa pendudukan Jepang. Setelah Jepang kalah, ia direkrut untuk masuk kepolisian. Ia menjadi polisi aktif hingga ketika DI/TII Kartosoewiryo bergema di Jawa Barat mendapat sambutan Teungku Daud Beureu-eh di Aceh. Hal itu membuat kakek desertir dari dinas dan bergabung dengan kesatuan penentang pemerintah itu. Perjalanan hidupnya di beberapa kesatuan dicatat dengan baik dalam buku catatannya.
“Bapak? Jangankan kisah hidupnya, lahir anak kambing atau tanggal kapan tanam kelapa depan rumah saja ia catat dengan baik. Saya pernah baca buku catatannya, dan di situ ada ditulis waktu saya dibawa pertama sekali ke Banda Aceh naik kereta api tahun 1960-an,” kata ibu ketika kutanyakan perihal buku catatan kakek beberapa waktu lalu.
Sebab keberadaan catatan harian, berkas-berkas lama, dan beberapa buku sejarah termasuk ACEH karya Zentgraaff, kakek dan seisi rumah sepakat untuk menyingkirkannya dari rumah demi menghindari amuk tentara. Menurut ibu, kakek mengumpulkan berkas dan buku-bukunya dalam satu buntelan. Di dalamnya masuk pula sebilah kelewang, rencong dan beberapa benda peninggalan masa ia aktif dalam beberapa kesatuan.
Kakek mengubur buntelan itu di satu sudut kebun belakang rumah, yang letaknya tidak sempat diberitahukan kepada orang rumah. Semasa penggeledahan rumah kakek di anggap bersih. Dinding tempat sketsa pejuang Aceh adopsi sampul buku Zentgraaff digambar Pak Cik ditutup dengan lemari besar. Tentara yang masuk tanpa melepas sepatu ke rumah kakek hanya menemukan ruangan rumah yang kosong, dingin, tanpa ada perabotan apa-apa. Membayangkannya saat ini, kupikir para tentara kecewa setengah mati. Sekecewa maling kampung yang telah susah payah masuk rumah, tapi tidak ada barang berharga yang bisa dijarah.
Buntelan yang dikubur kakek tetap terkubur hingga kini. Tidak ada yang tahu letak persisnya di mana. Kakek meninggal sebelum konflik usai. Pada masa DOM, mengubur buntelan itu adalah alamat menyambung hidup. Begitu pun paska DOM dicabut hingga ketika Megawati jadi Presiden, Aceh kembali digelar dengan status baru: Darurat Militer, berturut diikuti Darurat Sipil.
Itu status sama celakanya dengan status DOM sebelumnya. Kiriman tentara makin ditambah yang berimbas pada semakin banyaknya rakyat sipil berjatuhan menjadi korban kebrutalan mereka. Maka membiarkan buntelan itu tetap terkubur tanpa mengungkit-ungkit di mana letaknya adalah pilihan yang diambil Pak Cik, Mak Cik dan juga Ibu agar tidak mati sia-sia di tangan tentara. Dan buku yang belum kubaca itu jadi tumbalnya.
Satu-dua tahun setelah masa penggeledahan itu, kegemaranku membaca masih membuncah. Tapi di rumah kakek, di rumah uak, dan di beberapa rumah tetangga aku tidak menemukan lagi buku-buku seperti sebelumnya. Ini mengharuskanku kembali membolak-balikkan halaman Tabloid Bola. Seturut dengannya rubrik asuhan Naek L. Tobing kembali kulahap diam-diam. Berlangsung hingga penghujung tahun ketika DOM dicabut di mana dari bacaan itu pikiranku melahirkan banyak fantasi. Saat itu, aku sudah mengalami mimpi lucah ketika tidur malam, dan mendapati celana dalam basah pas bangun pagi. Sementara di luar sana, seperti cerita abang sepulang ronda, para tentara semakin brutal saja.[]
Pernah dimuat cetak di buku yang aku lupa judulnya, untuk pagelaran pameran Andong Buku #2 di Bentara Budaya Yogyakarta 2016, besutan @cakudin dan kawan-kawan. Pernah kuminta bikin ilustrasi sama @kitablempap, tapi lempapnya dia lupa.
Like back
Ceritanya membuat kita mengenang masa2 konflik dulu.
Dimana-mana suara ledakan senapan.
Mantap bg mus @bookrak
Kenangan buruk yang mau gak mau harus diingat setiap generasi. Kukira begitu.
Coba baca buku H. C. Zentgraaff itu halaman 21-25, tentang asal-usul keluarga Ulama Tiro.
Nantilah kubuka dan baca lagi. Yang kubaca berulang-ulang itu cerita Van Der Zee yang kena tembak anak buahnya sendiri. Lucu dan konyol sekali itu perwira, sampai-sampai aneuk daranya Van Heutz dirundung kikuk sangat saat hendak bilang kabar duka ke istrinya di Meulaboh sana.
"Masa-masa ini adalah masa di mana jumlah tentara di Aceh lebih banyak dari jumlah sapi."
kalimat ini memiliki kekuatan yang sangat dahsyat.
bereh kali esai nasi kerak ini
Bukan kata-kataku itu, PYM @cucoraja. Itu kalimatnya Azhari Aiyub yang akhir Maret nanti novelnya berjudul Kura-kura Berjanggut akan terbit.
benar, tapi secara keseluruhan esai ini tidak kalah luar biasanya, tabek!
Hhhhhh..betul-betul sial tulisan ini, saya juga lupa judul buku kumpulan esai tersebut. Colly beribu colly, saya juga lupa mrmbuatkannya ilustrasi...hhhhh
Tahulah aku kini. Kau lupa gara-gara sibuk colly rupanya.
Beureutoh ladad bak ta baca.
Bek ka peubtreb lee tungang, segerakan ilustrasi jih...
Congratulations you have been upvoted because you left a post in the NewbieResteem Discord Chat channel post Promotion Box.
Very interesting reading of a piece of history I have heard very little about.
We invite you to use our tag to connect with more of our members. To learn more visit: Come Join Us!!! (Newbie Resteem Initiative)
Lots of votes made possible due to the kindness of abh12345 and his Steemit Curation Leagues