Foto oleh Aris Yunandar
Jumat, pukul 19.30, dari Fakultas Kopi di Setia Budi, saya bersama Aris Yunandar pergi ke Taman Ismail Marzuki. Hendak melihat Emha Ainun Najib, atau Cak Nun, dengan Kyai Kanjengnya. Rencananya, kami akan memesan Gojek.
Tapi, Rahmat, mahasiswa Paskasarjana di Unpad, berbaik hati mengantarkan kami ke TIM. Dia sendiri katanya ada janji hendak bertemu dengan teman di tempat yang sama.
Jalanan Jakarta, sudah mulai merangkak. Suara klakson kendaraan bertubi-tubi. Semua hendak sampai ke tujuan dengan cepat. Tidak lama, kamipun sampai di lokasi. Orang sudah mulai berdatangan. Tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan. Para pedagang pun menggelar lapak. Kaos dengan tulisan khas Kyai Kanjeng. Lalu juga ada pedagang buku karya-karya Cak Nun. Terlihat antusiasme.
Perut saya mulai terasa lapar. Lihat kanan-kiri. Ada angkringan. Gerobak jajanan ringan khas Jogja. Nasi kucing, tempe, bakwan, jahe disajikan. Khas Jogja. Daerah dimana Cak Nun menapaki diri sebagai budayawan besar Indonesia.
Saya ajak Aris ke angkringan. Dia menolak. Mungkin dalam benaknya angkringan hanya tempat makan biasa. Perutnya sudah kenyang. Jadi tidak perlu lagi. Walau nanti, dia juga ke angkringan. Memesan kopi tubruk dan membeli dua bakwan.
Namun angkringan berbeda, bagi saya, yang pernah dua tahun di Jogja. Melihat angkringan, sedikit mengobati rasa kangen untuk kembali menjenguk kota itu; Malioboro, Sagan, KABY, Balai Gadeng, Lempuyangan, dan tentu saja Sapen.
Saya memesan jahe susu, 3 bungkus nasi kucing dan 2 potong bakwan. Lumayan mengganjal perut. Selesai membayar. Kami mencari tempat duduk lesehan yang nyaman. Orang belum terlalu ramai. Duduk pun di atas spanduk yang digelar.
Acara masih belum dimulai. Cak Nun belum tampak. Waktu sudah bergerak. Lalu mulai ada yang berbicara di atas panggung. Bukan Cak Nun, orang yang membuat kami datang ke TIM. Sepertinya para murid Cak Nun.
Ada sekitar enam sampai tujuh orang di atas panggung. Pakaian mereka santai. Dengan logat Jawa Timur, mereka meminta kepada para hadirin untuk membuat lingkaran. Tujuh sampai sepuluh orang. Lingkaran dibuat dengan cepat. Sepertinya para peserta itu, sudah terbiasa dan akrab dengan acara ini. Saya dan Aris tidak bergeming. Duduk saja.
Dari atas panggung, diarahkan bahwa, untuk menyambut tahun 2018, perlu disusun satu gagasan. Mereka menamakan dengan Piagam Maiyah. Piagam ini diharapkan dapat menekan ketegangan akhir-akhir ini di Indonesia. Akibat politik yang semakin tidak bersahabat. Piagam tersebut akan disusun dari pandangan para jamaah.
Lingkaran itu dibuat. Ada sekitar 100 lingkaran. Kami masih tidak bergeming. Sampai lingkaran itu menghampiri kami. Tigapuluh menit untuk mendiskusikan gagasan. Ada yang bersemangat. Ada yang biasa saja.
Setelah dibicarakan di dalam lingkaran. Maka ada beberapa wakil menyampaikannya di depan umum. Berbicara tentang hal-hal apa yang harus dilakukan. Banyak ide-ide yang ditampilkan. Namun, kami hanya menunggu Cak Nun yang belum juga muncul. Waktu sudah mulai bergerak. Saya gelisah. Ngantuk mulai menyerang. Aris terlihat santai. Tapi sepertinya, dia sudah mulai bosan.
Tidak lama, yang ditunggu pun tiba. Cak Nun bersama personil kyai Kanjeng. Lalu dimulailah musik khas Kyai Kanjeng. Yang penuh dengan balutan iringan musik etnik.
Orang semakin ramai. Tidak ada lagi tersisa tempat untuk duduk. Semakin sesak. Dan, asap rokok mulai menyerang. Kanan dan kiri. Cak Nun masih belum juga berbicara.
Para personil Kyai Kanjeng mulai melakukan lakon yang satire. Para penonton tak berhenti-henti tergelak. Saya juga ikut. Aris tidak selalu. Para pelakon lebih sering menggunakan bahasa Jawa. Ada beberapa kosa kata yang saya tahu. Walau lebih banyak banyak yang tidak dimengerti. Namun ikut tertawa. Karena sepertinya lucu. Saya kira, Aris merasa, bahwa saya paham dengan baik bahasa Jawa. Padahal tidak.
Waktu sudah mulai bergerak. Semakin larut. Aris akhirnya lebih memilih pulang. Sepertinya dia tidak terlalu menikmati. Karena Cak Nun yang kami tunggu belum juga berbicara. Walau sudah duduk di atas panggung. Sementara itu, asap rokok semakin ganas. Tiada ampun.
Saya masih duduk. Mencoba menikmati berbagai lakon. Orang semakin ramai. Datang tiada putus. Tidak terlihat penat. Malah semakin antusias. Lontaran-lontaran berbahasa Jawa dari para pelakon disambut dengan tawa yang keras. Sepertinya,walau di Jakarta, menggunakan bahasa Jawa tetap lebih mengena. Terutama ketika membuat humor.
Saya akhirnya, memutuskan menarik diri. Susah payah keluar dari kerumunan penonton yang semakin menyemut. Dan, Cak Nun yang ditunggu, masih belum juga berbicara.
Si Aris calon diplomat mana pula ada waktu yg kek beginian hehe. kecuali nanti dia ditempatkan di Zimbabwe. dari panitia aku tau, kalau Cak Nun bicara setelah ente berangkat pulang bung.. haahha
Ente kok udah 34?
Kerja keras.. Semua harus diperjuangkan..
32
Yang membuat salut: acara itu digelar tiap bulan. Rutin. Energinya luar biasa.
What's taking so long? Was Cak Nun there?
Saya gak diajak pak @bungalkaf
saya vote pak, dok takhem pak
Manteng 25 lagoe grade
Udah vote ya bang... Mulai sekarang kita vote-vote an hahaha
Jangan lupa vote.
Awak view sep ramee, awak vote sep sedikit. Cok sineuek! Hahaha.
Sang brat perjuangan ke depan.
Kunci bak dron. Abu hoe ka.
ikut meramaikan ya bang... salam kenal!