Di Kampungku, jika tak punya modal atau keahlian tertentu, kau hanya akan menambah deretan penghuni rangkang Apa Ki di pinggir sungai. Di sana tak kurang 19 orang setiap hari berkumpul.
Jika tak punya uang, di sanalah kau akan menemukan kelompokmu. Sebuah koloni yang kuat, yang hebat dalam bermain catur, yang update berita dalam dan luar negeri dan yang paling setia kawan hingga rela berpancung kopi segelas bersama. Kelompok ini disebut "Awak Apa Ki Ek Bui".
Itu merujuk nama Apa Ki, pemilik rangkang bak trieng yang disulap jadi lapak warkop. Ek Bui (taik babi) sendiri adalah gelar tambahan yang disemat pada Apa Ki setelah dia mengalami masa paling sial dalam hidupnya dua puluh tahun lalu. Dia diseruduk babi suatu hari tepat saat khatib sedang berkhutbah jumat di masjid kampung. Detik-detik jelang kejadian naas itu, ia dengan santainya memasuki semak di tepi sungai untuk buang hajat. Entah salah siapa. Tapi orang sekampung sepakat menyalahkan Apa Ki, bukan babi.
"Tak hormat memasuki kawasan senior," begitu ejek orang-orang saat tahu Apa Ki diseruduk babi karena hendak buang hajat di tempat tinggal para babi. Tapi Apa Ki memang hebat. Dia menjadi satu-satunya orang yang sanggup membunuh babi dengan tangan kosong dalam sejarah kampung kami.
Itu pula yang kemudian menobatkannya sebagai ketua kelompok "Lets Buy", sebuah klup perburuan babi yang terkenal di seantero kecamatan. Tapi saat pesanan berburu babi tak datang dari kampung-kampung sebelah, maka Apa Ki dkk akan berkerumun lagi di rangkang di tepi sungai.
Seratus meter dari rangkang Apa Ki terdapat kelompok satu lagi yang berisi para pekerja keras. Sepanjang hari mereka menyelam dasar sungai untuk mengeruk pasir lalu memuatnya ke dum truck untuk dikirim ke kampung-kampung lain yang jauh dari sungai. Mereka terlalu tangguh dan gigih. Mereka memiliki badan kekar dan semangat kerja seperti robot.
Kelompok Apa Ki Ek Bui kerap menyindir mereka sebagai orang-orang bodoh yang tak tahu cara menikmati hidup.
"Udep chit ka susah katamah peu-susah droe lom! Ho kaneuk ba dum peng!" kata Apa Ki suatu hari dengan nada penuh iba saat melewati tumpukan pasir yang telah menggunung yang sedang dimuat ke truck-truck pengangkut.
"Awak droen yang kalupah hebat dum. Duek toeh mbong siuro supoet. Peng meu-ngon blo rukok tan. Alahai!" balas pengeruk pasir.
Begitulah sepanjang waktu. Dua kelompok itu tak pernah akur.
Namun, sebuah tensi yang lebih panas akan terlihat saat ada hajatan-hajatan besar di kampung. Seperti ketika musim turnamen sepak bola, musim pilkades, hingga musim pilkada.
Seperti yang terjadi beberapa hari lalu saat masa kampanye dimulai untuk setiap calon Bupati di daerah kami. Awak Apa Ki Ek Bui menjagokan pasangan TarZan (Tarmidi-Zainoel) yang tak pernah mengeyam pendidikan apapun.
"Tapileh yang saban ngoen droe teuh, yang tom rasa udep susah. Bek tapileh yang panyang that sikula. Maken panyang sikula maken carong diseumeungut!" kata Apa Ki saat melewati tumpukan pasir yang telah menggunung yang sedang dimuat ke truck-truck pengangkut.
Itulah yang mancing perang mulut dengan para pengeruk pasir yang menjagokan pasangan SalAm (Salimin-Amrijol) yang dikenal berpendidikan tinggi.
"Kadroe teuh bangai paleng han beuna wakil yang carong," balas pengeruk pasir.
"Hahaha. Mubuet!!" sergah Apa Ki sambil berlalu pergi.
get free upvote your post http://mysteemup.club
Follow me for upvotes | Send 0.200 Steem or 0.200 SBD and the URL in the memo to use the bot for a resteem and to get over 5 upvots.
Kwkwkwkw. APA KI EK BUI na cit nan nyan di gampong lon ahahahaha.