Ini perjalanan kenanangan saat saya dan beberapa teman memasuki Gua Ie, sebuah goa bawah tanah di pedalaman Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, tahun 2013 lalu.
Ini hasil bidikan Heri Juanda, teman saya, saat saya berada di mulut goa sebelum kemudian memasuki inti dasar goa.
Saya memang bukan seorang panakluk alam sebagaimana teman-teman Mapala di kampus-kampus.Tapi paling tidak, sebagai anak yang lahir dan besar di kampung, saya akrab dengan hutan.
Di sini saya ingin memulainya dari momen saat kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang dipenuhi ilalang di batas akhir Desa Leupueng Bruek.
Leupueng Bruek adalah desa terakhir yang bisa dilalui menggunakan motor setelah sebelumnya kami berkendara menembus empat desa, yaitu Lampakuk yang terletak di Jalan Lintas Banda Aceh - Medan dengan waktu tempuh sekitar 20 menit dari Banda Aceh. Selanjutnya berbelok ke kiri memasuki Lampoh Raja, Lamsie, dan Lam Alieng.
Kami berjalan melewati kebun warga hingga memasuki hutan lebat. Di sepanjang jalan terlihat semak belukar basah. Air menetes dari daun-daun dan udara lembab menyelimuti kami. Kicauan burung juga mulai terdengar ribut dan udara terasa lebih sejuk dan dingin.
Saat itu posisi kami sudah berada di kaki perbukitan. Aroma khas hutan mulai kental menusuk hidung.
Jalanan mulai menanjak. Kami mengikuti jalan setapak yang diapit oleh pohon-pohon berukuran besar. Udara semakin sejuk dan suasana menjadi gelap. Itu bukan karena mendung, tapi karena cahaya matahari tidak bisa dengan leluasa menembusi lebatnya pepohonan.
Jalan setapak yang kami lalui adalah jalur khusus untuk menghindari tanjakan bukit terjal sampai akhirnya kami tiba di mulut goa.
Sesuai jenisnya Gua Ie adalah sebuah goa bawah tanah yang memiliki mulut berupa lingkaran luas menyerupai sumur tua.
Goa ini terletak pada kemiringan bukit. Pada area berbentuk lembah. Lebat pepohonan dan semak belukar tumbuh melingkar pada mulut goa.
Sesuai posisinya pada puncak bukit yang miring, mulut goa tidaklah rata, tapi tampak menyerupai gelas yang terpotong miring.
Di dasar mulut goa terdapat dua pintu masuk dengan diameternya sekitar dua meter.
Dengan mengenakan Climbing Rope kami mulai menuruni mulut goa.
Tiba di dasar goa saya disuguhkan pemandangan menkajubkan. Seperti berada di dasar gelas raksasa. Mendongak ke atas tampak pohon-pohon kayu besar menjulang di sekitar mulut bagian atas goa. Akar-akar sebesar tangan tampak menjalar dari semak belukar di bagian atas goa dan turun ke dasar goa. Mengingatkan saya pada film-film Tarzan.
Suasana di dasar goa sepi-hening. Penerangan juga samar-samar; cahaya matahari kurang leluasa masuk ke dasar ‘gelas raksasa.
Saat itu remang-remang cahaya matahari yang sebelumnya manusuk goa mulai tak terlihat lagi. Mendongak ke atas, tampak langit menghitam. Mendung pekat dan hujan lebat akhirnya hujan mengguyur deras menghujam ke dasar goa. Air juga mengalir turun dari dinding goa. Kami bersabar di sana hingga sekitar satu jam, sampai hujan berhenti mengguyur. Tapi wajah langit masih menghitam.
Kami kemudian bergerak memasuki inti goa. Rupanya hanya pintu masuknya saja yang berukuran kecil, sementara lorong di dalamnya berukuran lebar; sekitar lima meter.
Baru beberapa langkah dari pintu goa, suasana menjadi gelap-gulita. Ruangan terasa pengap. Di depan kami terhidang turunan terjal dan licin. Itu adalah bentuk goa diogonal. Panjang turunan diagonal itu sekitar 15 meter. Kami menuruninya dengan pelan. Kami kemudian menyalakan lilin dan menyebarkannya ke penjuru goa.
Suasana samar-samar gelap dan pengap. Lantai goa dipenuhi air tawar dengan ketinggian sebatas lutut. Bebatuan karang terlihat menyembul dari permukaan air.
Genangan air itu memenuhi lorong goa; mengikuti garis horizontal goa. Semakin lurus di depan genangan air semakin dalam.
Pada genangan air yang merendam kaki, terasa ada makhluk yang kerap menabrak kaki. Saya takut itu adalah ular. Tapi ternyata itu ikan. Banyak sekali ikan di sana.
Foto ilustrasi: Pixabay.com
Langit-langit goa tampak memiliki kubah-kubah yang tampak dipenuhi bintik-bintik hitam. Itu adalah jelmaan ribuan kelelawar yang sedang bergelantungan di sana. Setiap cahaya senter mengarah ke binatang itu, mereka akan bergerak terbang. Gerakan terbang seeokor kelelawar terlihat akan diikuti kelelawar lainnya.
Kami berusaha tidak mengganggu binatang itu karena tentu saja akan menimbulkan masalah serius. Mereka akan panik dan kami akan menjadi korban tabrakan beruntun 😂
Kepak sayap ribuan kelelawar terdengar mengeluarkan bunyi khas. Serupa gemuruh angin. Tapi kelelawar itu kemudian tenang lagi dan bergelantungan kembali.
Perlengkapan yang tidak mendukung membuat kami tidak mungkin mengarungi lebih jauh genangan air yang mengikuti lorong goa.
Sekitar satu jam di dalam inti goa, kami bergerak keluar. Mendaki tebing diagonal sepanjang 15 meter terasa lebih susah daripada menuruninya.
Kami kemudian pulang meninggalkan goa terindah yang pernah saya masuki itu. Saat tiba di perkampungan hari telah magrib.
Setelah bincang-bincang dengan warga sekitar, saya tahu rupanya hoa itu kerap dipakai sebagai tempat persembunyian GAM saat Aceh masih dilanda konflik bersenjata. []
a great post
Makasih 😀
hawa teuh tajak keunan..
Nyankeuh. Bek gadoeh jak u persia 😁
GAM = Gerakan Aceh Merdeka.
Nyoe payah tajak sige bak gua nyan, sep lagak pemandangan. Artikel yang bagus.
Pajan man tajak bang. Sep bereh idalam gua nyan 😄
Entek watee na watee. Kapakat si heri ngen hamzah enteuk.
GOAX
😎
Kami butuh cerpen. Pleaseee ... Cerpen cerpen
Bek cerpen sabe. Han tatupue tuleh 😂
Goa yang luar biasa...
Terima kasih @blacksweet
Yah kaba sigo, tatelusuri sampai jalan tak bersisa.