Meutia

in #indonesia7 years ago

IMG20170210183659.jpg

Lhoklam masih seindah dulu. Bahkan setelah tsunami memporak-porandakannya. Hamparan pasir putihnya masih membentang sepanjang lekuk pantainya yang memanjang ke utara. Penduduk kota menghabiskan sepanjang hari Minggu demi melampiaskan rindu mereka menyaksikan gulungan ombak yang menari-nari, yang kemudian menghempaskan diri pada tebing curam nan menjulang sepanjang arah ke selatan.

Pasangan muda-mudi duduk bersantai di rangkang-rangkang yang menghadap samudra, berusaha menyesap nikmatnya angin senja yang meluruhkan bunga-bunga cemara tua yang tumbuh rimbun di sepanjang pantai.

Di tengah keramaian pengunjung itu,
Meutia dan Suri berjalan menapaki pasir lembut. Aroma asin laut memandu keduanya berjalan - sambil sesekali dengan malu-malu berusaha merapikan rok lebar mereka dari sapuan angin jahil yang berhembus tak terduga.

Lhoklam memang tak asing bagi keduanya. Tahun lalu, selama satu bulan penuh mereka tinggal di desa pesisir itu untuk melakukan tugas pengabdian masyarakat dari kampus. Hampir tak ada warga yang tak kenal mereka.

Di sepanjang pantai, ibu-ibu penjual kelapa muda menyapa mereka dengan penuh hormat. Demikian juga para pemuda yang berjualan, berusaha menyapa dan menawarkan bantuan.

Di awal senja yang memerah itu, saat matahari perlahan-lahan menuruni kaki langit, Meutia dan Suri terus berjalan dengan perasaan terlampau bahagia lantaran keduanya baru saja diwisuda pagi tadi.

Meutia terkenang perjuangan panjangnya menjadi mahasiswi. Wajah ayahnya, Hadanuddin, seakan bisa dilihatnya di hamparan samudra - dengan keringat bercucuran saat bekerja di sawah demi menghidupi keluarga dan membiayai kuliahnya.

"Akhirnya," Meutia membatin lirih.

Besok ia akan meninggalkan kota, menuju kampung halaman, melamar kerja sebagai guru honor di Sekolah Dasar di dekat rumahnya, dan melangsungkan pernikahannya dengan Sahrul. Siang tadi, setelah selesai wisuda, kebahagiaan yang memenuhi rongga dada itu juga baru saja disyukuri dengan shalat sunat di bawah payung Baiturahman. Itu adalah nazar kedua gadis itu, jika selesai wisuda mereka akan shalat di bawah payung baiturahman, dan kemudian menghabiskan sore di Lhoklam.

"Hei, pue haba, Dek Nong!" tiba-tiba sosok bertubuh tegap muncul dari balik rangkang, menyapa Meutia dan Suri yang sedang berjalan menapaki pasir sambil menjinjing tas dan sepatu mereka. Pemuda itu adalah Radali.

Radali meninggalkan rangkang yang menjadi lapaknya mengelola jasa penyewaan baju pelampung bagi pengunjung yang ingin berenang. Ia mendekati kedua gadis itu sambil menjulurkan tangannya.

"Eh, Bang Radali rupanya," Suri berujar mewakili dirinya dan Meutia sambil menerima uluran tangan Radali.

"Pesan kelapa muda tiga buah," ujar Radali tiba-tiba kepada Bang Musa yang berada di lapak sebelah, tanpa bertanya terlebih dahulu kepada mereka.

Dulunya, Radali memang satu-satunya pemuda yang paling akrab dengan mereka. Ia mejabat sebagai ketua pemuda Lhoklam. Orangnya humoris dan seru.Tapi juga egois dan kasar. Terutama kepada pengunjung yang tak menunjukkan rasa hormat padanya.

Meutia menikmati kelapa yang diserahkan Bang Musa di bawah pohon cemara paling rindang yang agak jauh dari sana. Ia meninggalkan Suri yang terpaksa melayani pertanyaan dan candaan dari Radali.

Meutia duduk berselonjor di atas hamparan pasir tanpa memperdulikan Radali yang terus berbicara dan bergurau dengan Suri. Matanya tertuju pada deretan baliho raksasa yang dipajang membelakangi laut. Dua dari baliho itu berukuran cukup besar dari lainnya. Satu baliho berisi gambar Walikota yang menyatakan maju kembali pada pemilihan umum bulan depan. Satu baliho lainnya adalah pesan polisi syariat soal cara berbusana dan berperilaku di pantai. Pesan dengan huruf merah itu dilatarbelakangi gambar seseorang sedang dicambuk oleh algojo.

Hukuman cambuk memang kian gencar digelar beberapa waktu terakhir. Walikota hampir saban malam minggu memimpin razia bersama polisi syariat ke cafe-cafe dan hotel.

Saat Meutia sedang larut dalam lamunannya, tiba-tiba Radali malah sudah berada didekatnya dan segera duduk di sisinya. Meutia menoleh kepada Radali dan memperlihatkan sebuah raut yang mirip senyum.

Keduanya lalu duduk menghadap papan baliho dengan latar laut merah, tanpa berkata-kata.

"Jadi bagaimana, Meutia?" Radali tiba-tiba bertanya memecah keheningan.

"Kamu sudah memikirkannya?"

Mendapat pertanyaan yang tiba-tiba, Meutia terlihat bingung dan terkejut. ia berusaha mencari-cari maksud Radali.

Namun tiba-tiba dalam seketika raut muka Meutia berubah. Suatu kenangan telah mengusik ingatannya. Ia segera bangkit dan hendak beranjak bergabung dengan Suri. Namun Radali segera menahan Meutia, dengan memegang tangannya.

"Jawablah, Meutia!"
"Lepaskan tanganku!"
"Aku akan melepasnya, tapi kau harus menjawab pertanyaanku!"
"Apa lagi yang harus kujawab. Aku sudah menjawabnya berulangkali!" "Tapi Meutia..."
"Tapi apa lagi, Bang! Aku sudah punya tunangan!"

Meutia menghentakkan tangannya dengan kuat dan sejurus kemudian berlari ke arah Suri.


Kini, Matahari sedang menari-nari di ufuk barat sembari meracuni laut dengan pendar cahaya merah. Siapapun akan terpesona melihatnya. Seiring itu, suasana pantai mulai kosong. Pengunjung sudah meninggalkan pantai sedari tadi. Bahkan para pemilik dagangan juga telah pulang. Peraturannya memang hanya membolehkan pengunjung berada di pantai sampai azan magrib berkumandang.

Meutia dan Suri sedang beranjak meninggalkan pantai dengan latar belakang semburat jingga menghiasi kaki langit. Saat itu matahari telah benar-benar tenggelam.

Butuh waktu satu jam untuk tiba di kota. Namun, mereka baru menempuh setengah perjalanan saat tiba-tiba Meutia tersadar telah melupakan tasnya. Ia sungguh lupa mengambil tasnya yang diletakkan di bawah pohon cemara saat menikmati kelapa muda.

"Ya ampun. Bagaimana ini. Kita harus kembali," kata Suri menenangkan Meutia yang tampak panik.

"Tidak mungkin. Kita tak mungkin masuk ke pantai malam-malam begini," kata Meutia.

"Oh.. Kita harus minta tolong Sahrul," Suri tiba-tiba mengusulkan ide untuk meminta tunangan Meutia menemani mereka kembali ke pantai.


Malam telah menunjukkan pukul 20 lebih saat mereka tiba kembali di Lhoklam. Dipimpin oleh Sahrul, dua motor itu menerobos malam menuju pantai. Dari jauh, gemuruh ombak terdengar kian mengganas. Langit telah benar-benar gelap dan angin berhembus semakin kencang.

"Kamu sebaiknya menunggu di sini," kata Sahrul setelah mereka memarkirkan motor 50 meter dari tempat Meutia dan Suri bersantai sore tadi.

Sementara Meutia ikut berjalan di sisi Sahrul untuk menunjuk lokasi tertinggalnya tas.

Setelah mencari-cari beberapa saat di bawah kegelapan malam, mereka akhirnya menemukan juga tas berisi Hp dan dompet Meutia.

Namun sebelum sempat mengambilnya, dari balik semak-semak sekelabat bayang hitam tiba-tiba terlintas di hadapan mereka. Seketika itu juga Meutia terkejut dan meraih pundak Sahrul.

"Kurang ajar!"
"Dasar jalang!"
"Berani-beraninya kalian mengotori kampung ini!"
"Plaakkk... Plaakk...!
"Gedebubb.. Gedebubbb....!"

Beberapa orang melompat keluar dari semak-semak dan terus menghujamkan pukulan ke arah Sahrul. Di tengah gelapnya pantai, Meutia menangis sembari menjerit meminta tolong. Namun ia segera sadar, para penyerang mereka adalah Radali dan para pemuda lainnya.

"Percuma kau berkerudung!"
"Dasar penzina!"

"Hentikan! Hentikan ini! Kumohon!," jerit Meutia mengiba saat menyadari bahwa yang terjadi adalah mereka sedang dipeudrop.

Tak lama, puluhan warga telah memadati pantai. Sahrul dan Meutia akhirnya digiring ke Meunasah. Di sepanjang jalan Sahrul terus menerima tendangan dan sepakan. Sekujur mukanya membengkak hingga tak bisa dikenali lagi. Darah segar mengucur membasahi kemeja biru yang dikenakannya malam itu.

Semua orang tahu apa yang akan terjadi. Untuk melengkapi ritual bengis yang mirip tradisi itu, mereka tentu akan dilempar ke dalam got Meunasah. Dipaksa merendam dan menyelam, lalu dipaksa menghabiskan sebatang sabun pencuci pakaian.

"Ambil ini," bentak Radali sambil melempar ke atas mereka dua batang sabun pakaian berwarna hijau muda.

"Pakai sampai habis!!" kata Radali lagi.

Maka, itulah malam penuh petaka yang meruntuhkan segala kehormatan yang selama ini dijaga. Malam paling celaka yang pernah dialami sepanjang hidup mereka. Sementara Suri hanya bisa menangis menyaksikan pelecehan dan penganiayaan yang diterima kedua sahabatnya itu.

Di dasar got - yang mengeluarkan aroma busuk endapan air kencing -
Meutia duduk meringkuk dengan setengah dadanya terendam, dan menangis. Di belakangnya Sahrul tidak bisa banyak bergerak karena kondisinya yang mengenaskan. Keduanya masih harus melaburkan sisa sabun itu ke seluruh badan, bahkan ketika kulit mereka kian perih seperti akan melepuh.

Menjelang tengah malam, satu pasukan polisi syariat akhirnya tiba menggunakan mobil patroli dengan sirine yang meraung-raung. Dua tubuh pucat menggigil itu lalu digiring naik ke mobil. Mereka digelandang ke markas polisi syariat.

Sebulan kemudian...

Jumat siang, 17 Agustus 2017, Masjid Al Kubra, Lhoklam, disesaki jamaah yang begitu banyak. Shalat jumat memang telah usai, namun jamaah tak kunjung pulang. Malah, kaum perempuan dan anak-anak dari berbagai usia mulai berdatangan memenuhi halaman masjid.

Persis di halaman depan masjid, sebuah panggung telah disiapkan. Ribuan warga yang terus berdatangan mulai membentuk barisan mengelilingi panggung seperti orang beribadah di Mekah. Suasana begitu riuh. Para wartawan terlihat dimana-mana. Fotografer tak henti-hentinya memotret dan televisi menyiarkan siaran langsung.

Di satu sisi panggung, didirikan kanopi 5x7 meter dilengkapi deretan kursi empuk. Di sana duduk pejabat terhormat. Tampak Sang Walikota berada di deretan terdepan.

Tiba-tiba, sebuah mobil kejaksaan memasuki halaman masjid dan memecah kerumunan warga. Dua sosok berpakaian serba putih digiring turun dengan tangan terborgol dan dikawal memasuki masjid.

"Uqubat cambuk pasangan khalwat segera akan dimulai," petugas pemandu acara menaiki panggung dan memulai pengumuman menggunakan mikrofon di sudut panggung.

Terlihat algojo bertubuh besar dengan memakai penutup wajah menaiki panggung dan mengambil posisi yang ditentukan. Ia memegang rotan sebesar ibu jari dengan panjang satu meter setengah.

"Hadirin sekalian dimohon tenang," petugas tadi melanjutkan pengumumannya.

"Yang di depan dimohon duduk, supaya yang di belakang juga dapat menyaksikan."

"Terpidana cambuk pertama atas nama Meutia Binti Hasanuddin, mahasiswi kedokteran Universitas Raya, lahir di Gampong Kuta 19 April 1990, ditangkap di pantai Lhoklam saat sedang melakukan mesum bersama terpidana dua atas nama Sahrul Bin almarhum Samad, mahasiswa kedokteran universitas Raya, lahir 23 September 1989 di gampong Lamtika," petugas tadi membacakan ulang putusan pengadilan dengan intonasi suara yang khas.

"Hhuuuuuuu...." ribuan massa yang menonton mulai menyoraki.

"Mana orangnyaa.. manaa...."

"Hadirin dimohon tenang..." kata petugas tadi menenangkan massa yang tak sabar.

Lalu ia melanjutkan kalimatnya.

"Keduanya dinyatakan secara sah dan meyakinkan telah bersalah melanggar qanun nomor 14 tentang khalwat dan difonis hukuman cambuk di muka umum sebanyak 10 kali cambukan!"

"Hhuuuuuuu..." serentak massa bersorak.

"Kenapa cuma 10 kali..." teriak massa di satu sudut.

"Mana orangnya... Cepaattt...." teriak yang lain.

"Terpidana pertama, Meutia Binti Hasanuddin diminta naik ke panggung.." sambung si petugas.

Terlihat Meutia dengan mukanya yang pucat digiring ke luar masjid dan menuju panggung eksekusi. Ia berjalan membelah kerumunan massa di tengah gemuruh sorak-sorai penuh kebencian. Air matanya mangucur deras basahi kedua pipinya yang kurus.

Di tengah ribuan mata yang menghujam atasnya, ia mencoba menegakkan wajahnya dari posisi semula yang terus menunduk. Ia merasakan ribuan pasang mata terus menatapnya dengan penuh kerendahan. Apa yang bisa dilakukannnya hanyalah berdoa dalam hati. Lalu ia mulai tak dapat berpikir apa-apa. Meutia hanya menyadari betapa ia malu, malu dan sangat malu.

Sementara di salah satu sudut barisan penonton, Radali berdiri dengan senyum kepuasan. Ia lelaki paling busuk yang pernah ada. Ia menciptakan malapetaka karena niatnya memiliki Meutia tak sampai. Tapi lebih busuknya lagi pengadilan semudah itu memercayainya.

"Algojo, siap??!!" tanya petugas

"Siap!!" jawab algojo bertopeng seraya mengambil posisi di belakang Meutia.

"Cambukan dimulai pada hitungan satu..."

"Satu!"
"Plaaakkkk....!"

"Dua!"
"Plaaaaak..!"

Hhhuuuuuuu.........!" massa bersorak kian puas. Tapi sebagian mereka justru memperlihatkan wajah iba. Sebagian di sudut yang lain menggigit bibir. Sebagian lainnya bahkan menangis.

"Tiga!"
"Plaaaakk...!"

Meutia memekikkan jeritan kesakitan. Ia merasakan sakit hingga ke ubun-ubun. Punggungnya serasa terbelah. Meutia mulai oleng. Ia tak dapat menyeimbangkan lagi tubuhnya. Matanya mulai kabur. Lalu gelap...

Sort:  

bagus sekali tulisanmu!

mbak, apa kabar? kangen nih, lama ngak bersua kita 😂

muhajir maopppp!!! aduuuhhhh saya tanya kamu ke mana-mana apakah kamu di Steemit atau tidak... akhirnya jumpa juga di sini... kangeeeennnn!!!

Mana Muhajir Maop. Dipanggil tuh

Kak, aku sudah lama bikin steemit, tapi ngak ngepost. haha..lama sekali kita ngak berkabar. hehe..

Makasih mba. Masih belajar saya 😊