-Sinopsis:
Di tengah ancaman serangan raja iblis, umat manusia hanya punya satu harapan lagi.
Yaitu dengan memanggil seorang pahlawan yang cukup kuat yang mampu menyelamatkan dunia.
Namun tampaknya, sang pahlawan kehilangan ingatannya.
Inilah kisah sang pahlawan dari negeri antah-berantah.
===================
Namaku adalah Batara, saat ini aku berumur 17 tahun kalender matahari. Aku bersama keluarga sekalian tinggal di sebuah desa terpencil di tengah hutan. Di desa ini kami bisa hidup dengan damai. Kami bercocok tanam, beternak, dan dapat berdoa pada dewa Sang Hyang Kersa tanpa ada gangguan. Di antara kami semua tidak ada seorang pun yang pergi ke dunia luar, kami sudah merasa damai di sini.
Namun terkadang beberapa monster datang menyerang, memakan ternakan kami dan merusak kebun-kebun. Tapi sebagian besar kami dapat mengatasinya, walau terkadang ada korban luka maupun korban nyawa. Kami bahkan tidak pernah bisa membayangkan jika kami pergi ke luar hutan. Di luar sana, di tempat yang tidak terdapat penghalau monster, kami yakin akan dimakan habis oleh mereka.
Bahkan ketika aku kecil, kupikir dunia hanyalah sebatas desa ini saja. Dan ujung dunia adalah dinding yang terbuat dari akar pohon Dewi Nyi Pohaci. Akar pohon tersebut menggunung membuat dinding yang mengelilingi desa kami, sedangkan inti utama pohonnya berada tepat di tengah-tengah desa kami.
Monster-monster biasa tidak akan berani mendekatinya, namun monster-monster yang lebih kuat mampu menggerogoti dan melubanginya. Itulah mengapa kami harus selalu waspada. Yang sedang aku lakukan sekarang ini adalah melakukan patroli di atap dinding. Di sertai rekan-rekan lainnya kami bertugas untuk mengawasi segala sesuatu yang tidak beres.
Di dada kananku terdapat sebuah keris, sedangkan di pinggang kiriku terdapat sebuah pedang yang berat dan cukup panjang. Pedang ini adalah pedang suci peninggalan para leluhur. Pedang ini telah memilihku sejak aku masih dalam kandungan, semua itu sesuai dengan ramalan Empu Wisnu.
Karena pedang ini, aku menjadi orang yang paling diharapkan oleh semuanya. Aku berlatih berpedang, sihir dan bertarung demi melindungi desa. Di desa ini aku juga memiliki seorang kekasih yang bernama Wulan, ia adalah gadis perawan paling cantik di desa ini. Bahkan menurut para sesepuh, ia bagaikan perwujudan dari Dewi Nyi Pohaci sendiri.
"...—!"
Tiba-tiba aku merasakan keberadaan monster, jumlah mereka lebih banyak dari biasanya dan di antara mereka ada monster-monster dengan aura kuat.
"Semuanya, bersiaga! Monster-monster mendekat! Bunyikan gongnya!"
Seketika itu pun salah satu dari yang berpatroli bergegas membunyikan gong.
gonggonggonggong*
Gong itu berbunyi sebanyak lima kali, tanda bahaya besar sedang mendekat. Aku pun turun dari dinding dan melaporkan prasangkaku pada sesepuh. Seketika aku berada di hadapan mereka, aku langsung menunduk lalu memberi sembah dengan tanganku.
"Bapa-bapa sekalian, sahaya datang membawa kabar buruk. Di luar dinding sana, ada banyak sekali monster yang sedang mendekat kemari. Jumlah mereka berbeda dari biasanya bak pasukan, di antara mereka juga terdapat monster-monster sangat yang kuat."
Seketika itu pun terlihat ekspresi khawatir dari wajah mereka.
"Kira-kira berapa lama hingga mereka sampai di sini?" tanya salah seorang dari mereka.
"Sekitar seribu hitungan lagi bapa. Tapi sahaya yakin bahwa sahaya dapat melawan monster-monster kuat itu, namun sahaya membutuhkan bantuan dari para bapa untuk melindungi desa ini dari monster-monster yang lain."
"Baiklah kami akan siapkan."
Seketika itu aku beranjak meninggalkan mereka untuk melakukan persiapan pada diriku sendiri. Dengan sigap aku mengenakan baju bajaku, di saku-saku kakiku telah kusiapkan obat-obatan. Wulan menghampiriku, ia membatuku mengenakan baju baja di bagian yang sulit kujangkau.
"Semoga gusti Sang Hyang Kersa memberkatimu kakanda."
"Terima kasih Wulan, aku pasti akan pulang."
Perpisahan kami diakhiri dengan saling mencium kening.
Delapan ratus hitungan berikutnya, kami sudah bersiaga di depan gerbang. Aku memimpin pasukan paling depan sambil memegang pedang suci di tangan kananku.
Aku mengalihkan pandang ke kiri dan kanan, meminta restu dari mereka untuk menggunakan kekuatan pedang suci secara penuh. Mereka pun mengangguk meyakinkanku, seketika itu pun aku mengangkat pedang tinggi-tinggi, membuat sinarnya dapat terlihat oleh semua orang.
"Dengan nama gusti Sang Hyang Kersa, beserta pedang suci yang Ia berkati padaku. Sahaya memanggil kekuatan alam. Dari langit dan bumi, utara dan selatan, timur dan barat, datanglah padaku, penuhi panggilanku. Musnahlah wahai musuh-musuh!"
Aku pun mengayunkan pedang suci sekuat tenaga dengan arah diagonal. Seketika itu garis cahaya menyebar dan membakar hutan dengan dahsyat. Kurasakan hilangnya hawa keberadaan beberapa monster, setidaknya ada sekitar 7/9 dari mereka yang berhasil kuhabisi. Walaupun begitu sisa dari mereka tetap menerjang ke arah desa kami.
Kuangkat tanganku tinggi-tinggi, sinyal bahwa para monster sudah mendekat. Dari ujung api pepohonan dapat kulihat sekitar ratusan monster berkumpul. Melihat hal tersebut, para penduduk desa, para pemuda hingga bapak-bapak menyiapkan senjata mereka masing-masing.
Kemudian di depan sana kulihat seekor monster yang berbeda dengan monster lainnya. Bentuk tubuhnya mirip dengan manusia dibalut oleh baju baja hitam yang tak pernah kulihat. Dari ujung kepala hingga kakinya tertutup dengan rapat, hanya tersisa celah-celah mata untuk melihat.
Namun tak salah lagi, prasangkaku mengatakan bahwa makhluk itu adalah monster. Lalu dari lubuk hatiku aku tahu, bahwa monster itu sangatlah kuat lebih kuat dari yang biasa kami hadapi.
Monster itu pun terhenti, ia berdiri di tempat yang lebih depan dari para monster lainnya. Kemudian dari mulutnya terucap sesuatu.
"Kau manusia di sana, apa kau yang telah melakukan serangan tadi?" tanyanya sambil menunjuk ke arahku.
Baru kali ini aku bisa melihat monster yang bisa bicara.
"Ya, itu aku." Jawabku dengan tegas.
"Menarik, tak kusangka ternyata dapat bertemu dengan manusia sekuat kau di sini. Aku ingin tahu kau bisa bertahan sampai mana."
Monster itu pun mengangkat pedang hitam yang berada di tangannya tinggi-tinggi, lalu mengayunkannya ke arah kami. Seketika itu pun para monster di belakangnya menyerbu.
Seketika itu pula kupusatkan kekuatan di telapak kakiku lalu melompat ke arah merek secepat-cepatnya. Dapat kudengar suara ledakan seperti petir dari arah pijakanku, mendorongku maju melesat dengan kecepatan penuh. Dengan pedang suci di tanganku, kubelah monster-monster yang menghalangi.
Aku melompat dari satu sisi ke sisi lain, mengincar monster-monster yang kuat. Kubelah seekor monster yang berukuran setinggi pohon pinus, kutebas dua ekor monster seukuran lima gajah, dan seterusnya.
Tapi semua itu tak semudah yang kubayangkan. Iblis kuat berbaju baja itu ikut menyerangku, ia mengejarku, mencoba mengikuti pergerakanku. Tenaganya begitu kuat, setiap ujung pedang kami bertemu percikan-percikan petir tercipta.
Kulihat para penduduk desa sedang bertarung melawan para monster yang lebih lemah, namun masih tersisa lima monster raksasa lagi yang harus kuhancurkan. Tapi aku tertahan di sini, dihalangi oleh si baju baja.
"Wahai manusia, katakan siapa namamu." Ucapnya selagi kami saling menatap tajam.
"Batara." Jawabku dengan singkat.
"Akan kuingat Batara, namaku adalah Kalabuat. Aku adalah salah satu panglima besar raja iblis."
Aku pun mengambil langkah pertama. Kali ini aku yang menyerang duluan. Kuserang ia dengan mengayunkan pedang miring ke bawah, ujung pedang kami pun saling berbenturan.
Aku terpental ke angkasa, namun kukendalikan momentumku lalu menerjang ke arah si baju baja dari atas kepalanya. Ia tersenyum, seakan ia menikmati pertarungan ini. Di sisi lain aku membagi kesadaran, kuperhatikan penduduk desa, di sana mereka terlihat kesulitan.
Aku harus segera mengakhiri ini, tegas dalam diriku.
Seketika itu kusebarkan kekuatan ke seluruh tubuh, membuat setiap sisinya terasa ringan. Aku pun melesat dengan kencang, mengeksekusi teknik seribu langkah petir.
Kuserang ia dari segala sisi, menyilang, memutar, dari atas, bawah, kiri dan kanan. Lalu tiba-tiba, sosoknya menghilang dari pandanganku. Kemudian kurasakan ia berada di belakangku menyiapkan serangan mematikan yang mengincar leherku.
Dengan sigap aku memutar menundukkan kepalaku, kulihat celah dari gerakannya seketika itu pula kuayunkan pedang ke arah tangannya.
—Sret!
Cairan hitam pun mengalir dari tangannya, aku pun melompat menyisakan jarak di antara kami.
"Luar biasa ...." gumamnya terdengar gembira.
Ia pun menatapku dalam.
"Tapi aku yakin, kau belum mengeluarkan seluruh kekuatanmu kan?"
Ia pun mengangkat tangan kirinya ke samping menghadap ke arah desa.
"Sejak tadi perhatianmu selalu dialihkan oleh mereka, itu benar-benar menjengkelkan."
Bola energi berkekuatan tinggi pun terkumpul di telapak tangannya.
"Akan kumusnahkan mereka untukmu!"
"...—!"
Sialan! Ia berniat untuk memusnahkan desa dengan kekuatannya. Tapi jika aku dapat menangkisnya, walau tubuhku yang jadi taruhannya, aku harus melindungi desa!
"Takkan kubiarkan!"
Namun ... aku telah lengah. Selagi kucoba untuk bergerak, konsentrasiku teralihkan oleh desa. Pada saat itu pula kusadari bahwa si baju baja menyiapkan serangan lain untukku. Aku telah lengah. Hingga kusadari, bahwa tangan kiriku telah terpisah dari tubuhku.
Sakit .....Rasanya benar-benar sakit, sangat sakit sampai-sampai membuatku hampir kehilangan kesadaran.
Tapi aku harus ke sana, aku harus menghentikan bola energi itu.
Dengan memaksakan tubuh, aku pun melesat dengan kencang. Di saat yang bersamaan, pancaran energi tinggi melesat memanjang bagaikan benang berwarna hitam. Tapi aku sampai di waktu yang tepat, seketika itu pun aku mengerahkan segala kekuatanku pada pedang suci.
"HAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!"
Lalu ... pandanganku pun dibutakan oleh cahaya.
Benar-benar menyilaukan, bagaikan menatap matahari dengan mata telanjang.
Maafkan aku Wulan .... sepertinya aku takkan bisa memenuhi janji.
Selamat tinggal ....
Di sebuah ruang ritual yang suci dan megah, beberapa orang berkumpul.
Mereka berjajar memutar membuat lingkaran. Di tengah mereka terdapat sebuah lingkaran sihir.
Mereka pun memanjangkan tangan ke depan. Lalu membaca mantra.
Pada dasarnya mantra adalah doa'. Tak ada salahnya bila dinyanyikan dengan nada yang indah.
Siapapun yang mendengarnya pasti akan terkesima. Membuat hati mereka luluh dan terharu.
Lalu berkat dari dewa pun turun. Cahaya bersinar terang dari lingkaran sihir itu.
Kemudian, di dalam sana muncul sesosok pria.
Rambutnya berwarna perak layaknya uban, bajunya compang-camping, di tangan kanannya ia memegang sebuah pedang.
Tak lama setelah itu, ia jatuh tergeletak.
Darah segar mengalir dari bahu kirinya. Hingga kami sadari bahwa ia hanya memiliki satu lengan.
Demi dewa, aku merasakan firasat buruk .......
Sehari setelah peristiwa itu, sang pahlawan siuman. Ia dapat berbicara dengan bahasa kami, walau sepertinya ia bukan berasal dari negeri ini.
Namun ketika kami menanyakan namanya. Ia bertanya pada kami:
"Nama ...., eh .... siapa ... aku???"
Demi dewa ....
==============================
Jangan lupa follow untuk update terbaru!
chapter 1: https://steemit.com/indonesia/@castrix/novel-indonesia-pahlawan-dari-negri-antah-berantah-rudolf