Assalamu’alaikum kawan-kawan,,,
Hari ini saya berkesempatan untuk melanjutkan review buku Acehnologi Volume 3 Karya Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, PH.D bab : 29 tentang Tradisi Kepenulisan di Aceh. Dalam bab ini, akan disoroti bagaimana dinamika intelektual Aceh dari perspektif perbukuan.
Dunia perbukuan di Aceh memang tidak begitu marak, jika dibandingkan dengan di pulau jawa. Namun gairah intelektual dan tulis menulis orang Aceh tidak dapat dikesampingkan. Dalam bab ini, kita tentu saja tidak menggugat bangsa lain yang telah menjarah peradaban Aceh. Karena kemampuan berpikir orang Aceh tempoe doeloe tidak sebanding dengan kemampuan berpikir beberapa generasi Aceh hari ini, didalam memahami dan melestarikan hasil intelektual dan spiritual orang Aceh manakala menuangkan ide-ide mereka di atas kertas.
Sejauh ini, dunia perkitaban atau perbukuan di Aceh, memang tidak pernah surut atau padam. Hanya saja, tidak ada upaya serius untuk memperkenalkan kembali karya-karya tersebut pada generasi muda Aceh. Sehingga, mereka selain asing dengan karya orang Aceh, juga terkadang tidak mengetahui kedalaman ilmu pengarang tersebut. Inilah salah satu agenda Acehnologi, dimana ingin membangkitkan kembali keinginan dan kehendak generasi Aceh untuk mengenal dan mendalami karya-karya para endatu mereka sendiri.
Factor seseorang menulis buku di Aceh antara lain yaitu : pertama, para ulama menulis buku karena ingin mengisi kekosongan literature keislaman. Dahulu kala tidak ada google bagi seorang murid untuk belajar ilmu-ilmu keislaman. Sehingga para guru besar menulis, baik itu menyalin maupun mensyarah kitab, untuk memberikan pencerahan bagi sang penuntut ilmu. Kedua, para ulama menulis buku karena ada permintaan dari penguasa. Hal ini disebabkan para pemimpin ingin menjadi kitab ulama tersebut sebagai pegangan dalam menjalankan roda pemerintahannya. Sehingga ulama tersebut mau tidak mau harus menulis kitab. Karena itu posisi mereka sangat dekat dengan poros kekuasaan, yang menyebabkan ada satu pandangan bahwa begitu mulia ulama dalam kerajaan Aceh. Ketiga, respon terhadap keadaan terkini. Para penulis buku merupakan sekelompok intelektual yang amat gelisah. Sehingga keinginan untuk menulis adalah untuk menjawab sekian masalah yang dihadapi ummat. Keempat, menulis untuk berpolemik. Pola penulisan ini adalah untuk mengisi satu diskusi keilmuan. Dan yang kelima, menulis sebagai sebuah bagian dari pekerjaan intelektual. Pola terakhir ini memang sudah menjadi kelaziman dikalangan penulis. Dari kelima respon tersebut tentu saja kita bisa memposisikan dimana karya-karya seseorang dan bagaimana kita mengulas karya tersebut.
Mengenai topografi intelektual Aceh yang menyebabkan dunia perbukuan di Aceh tidak pernah berhenti. Ada beberapa isu sentral, ketika para penulis Aceh melukiskan tinta mereka mengenai bumi serambi Mekkah yaitu : kerajaan, ilmu pengetahuan, ulama, peperangan, diplomasi, pengkhianatan oleh pemerintah pusat, gerakan perjuangan melawan pemerintahan pusat, dan langgam budaya Aceh.