STUDI TENTANG PANGLIMA LAOT DI ACEH

in #indonesia6 years ago

IMG-20180722-WA0004.jpg
Studi menjelaskan bagaimana keadaan panglima La’ot dan perannya didalam sejarah, serta bagaimana keberadaannya saat sekarang, terutama ketika tidak ada lagi lembaga kesultanan sebagai simbol tertinggi rakyat Aceh. Banyak yang beranggapan bahwa panglima La’ot ada di Aceh sejak empat ratus tahun yang lalu. Namun, studi terhadap sejarah awal lembaga panglima La’ot belum begitu banyak dilakukan secara serius. Sehingga ketika ada upaya untuk menumbuh kembali panglima La’ot Aceh sejak juli 1999, yang tampak kepermukaan adalah lembaga ini benar-benar lembaga adat yang sudah mengakar di tingkat masyarakat. Namun, tidak ada upaya untuk melihat bagaimana kelahiran dan konsep awal dari keberadaan panglima La’ot di tengah-tengah masyarakat Aceh, khususnya ketika masa kejayaan kerajaan Islam Aceh. Karena itu, kajian ini akan memusatkan perhatian pada proses evolusi panglima La’ot dari sebagai aparatur pemerintah yang berubah sebagai ‘warisan kebudayaan’ dan baru- baru ini ditarik kembali sebagai bagian dari pengembangan adat istiadat Aceh.(halaman 1135 vol 4)

Studi ini terbagi tiga bagian. Bagian pertama, setelah adalah mengenai sejarah panglima La’ot. Di sini, akan diketengahkan bagaimana fungsi panglima La’oat di dalam sejara kerajaan Islam Aceh dan selama pada masa pendudukan Belanda, serta bagaimana proses upaya yang dilakukan oleh Belanda untuk mempertentangkan antara adat dan hukum Islam, yang ternyata telah banyak memberikan pengaruh terhadap waja dan interpretasi adat di Aceh saat ini. Bagian kedua, bagaimana dinamika peran panglima La’ot dan adat La’ot di dalam masyarakat dan bagaimana persolan mereka pada era kontemporer. Ada tiga hal yang di jadikan studi yaitu pelaksanaan Khanduri La’ot, penggunaan ilmu hitam, dan pemahaman makna hari libur pada hari jumat. Disamping ketiga persolan itu, juga disajikan bagaimana persolan adat Aceh, pada saat ada upaya melakukan reformulasi dan revitalisasi panglima La’ot di hadapan lembaga Wali Nanggroe. Walaupun persoalan ini belum diangkat oleh para sarjana lokal maupun nasional, namun, mengingat ini amanat MOU Helsinki pada tahun 2005, dimna perlu di dirikan lembaga Wali Nanggroe, maka kenyatan sangat berpengaruh pada kehidupan adat di Aceh.

Hal ini misalnya, jika dulu panglima La’ot bekerja dibawah kendali Sulta, maka sekarang ada upaya untuk memperkenalkan Panglima La’ot pada Wali Nanggroe yang pada awalnya adalah konsep yang dibangun oleh Daud Beureu-eh dan Hasan di Tiro ketika melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia. Diskusi ditutup dengan melihat bagaimana penumbuhan lembaga Panglima La’ot Aceh yang di resmikan pada tahun 2001 setelah adalah boat Thailand, dimana nelayan Aceh mendapatkan uang dari hasil lelang penankapan kapal-kapal dari negeri gajah tersebut. (halaman 1137 vol 4)

Harus di akui bahwa telah banyak studi tentang peran panglima La’ot dan adat La’ot yang selalu berpendapat bahwa tugas dan peran panglima La’ot adalah untuk menjaga kesinambungan Adat La’ot didalam masyarakat nelayan Aceh. Agaknya jelas bahwa pekerjaan utama dari panglima La’ot adalah memonitor aktivitas di pelabuhan- pelabuhan. Namun, ini sama sekali tidak terkait dengan mengawasi nelayan, seperti yang banyak disampaikan oleh para sarjana. Menurut sejarah, pelabuhan-pelabuhan di Aceh adalah tempat bertemunya beberapa kehidupan masyarakat Aceh di dalam bidang ekonomi, politik, agama, dan budaya. Dari sejarah ini, dapat dilihat bahwa Panglima La’ot merupakan salah satu intrumen penting di pelabuhan yang berkerja dibawah kendali Syahbandar.( halaman 1144 vol 4)