Review Seri Acehnologi Vol. III (Dari Teungku ke Ustaz)

in #indonesia6 years ago

Akhirnya ini merupakan bab terakhir dari bagian Tradisi Intelektual Acehnologi dan juga merupakan bab terakhir dari seri buku Acehnologi Vol. III, itu artinya bab ini merupakan bab terakhir yang akan saya review, karena untuk vol. I, Vol. IV-VI tidak saya review lagi.

Semoga saja ada sebagian dari kawan kita dari steemian yang bersedia meluangkan waktunya untuk bisa mereview ke-empat volume seri Acehnologi yang tersisa. Dan saya secara pribadi juga berharap agar para pembaca artikel saya ini untuk mau membaca lebih lanjut buku Acehnologi yang dikarang oleh Bpk Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad (KBA) secara komprehensif, karena tidak ada kata menyesal setelah kalian mulai membacanya.

Kembali ke review, bab ini akan dikupas keadaan sosio-kultural pendidikan Islam di Aceh, khususnya mengenai perubahan otoritas religi dalam masyarakat Aceh dari Teungku ke Ustaz. Karena sebagaimana yang kita (orang Aceh) ketahui bersama, bahwa laqab Teungku merupakan simbol otoritas bagi para pemimpin atau ahli agama lokal dalam pendidikan Islam di Aceh. Peran Teungku juga tidak hanya di dayah, namun juga sebagai "penjaga masyarakat" dalam kehidupan beragama sehari-hari di Aceh.

nyoe-aceh-teungku1-610x250.jpg
Source Image

Sedangkan istilah ustaz berarti guru, mereka memainkan perannya di pondok pesantren moderen, tidak hanya itu mereka juga dianggap sebagai juru dakwah. Panggilan ustaz kini telah diterima sebagai 'gelar' dalam bidang keagamaan di Aceh selain Teungku.

Tradisinya, penulis memaparkan bahwa di Aceh para ulama dikenal dengan panggilan Teungku, Abu, Abi, Waled, Abati dan Abon. Dalam hal ini terdapat hirarki bahwa yang tertinggi disebut dengan Abu (bapak), dapat juga dikatakan dengan sebutan teungku chik yang biasanya menjadi kepala dayah. Tugasnya adalah menetapkan kurikulum dan metodologi yang dilaukan dalam pelaksanaan pendidikan di dayah. Disamping itu juga teungku chik berperan sebagai pemimpin spiritual bagi masyarakat.

Selanjutnya dibawah teungku chik (abu chik), dikenal dengan sebutan Teungku Bale. Secara akademik kelompok teungku ini sama dengan peran ustaz di pesantren moderen, levelnya pun sama dengan tingkat SMU. Para santri belajar dari teungku bale di balai-balai dayah. Teungku Bale juga dianggap sebagai perwakilan dari teungku chik dalam acara-acara keagamaan dalam masyrakat.

Dibawahnya lagi, dikenal dengan sebutan teungku rangkang. Tingkatnya sama dengan SMP. Kelompok teungku ini dipilih dari santri yang bertindak sebagai 'asisten' bagi teungku bale.

Tingkat selanjutnya dikenal dengan sebutan teungku meunasah. Tugas mereka bukanlah di dayah, melainkan di gampong (kampung). Istilah meunasah merupakan tempat dimana anak-anak belajar Islam dan melakukan shalat berjamaah, bisa dikatakan hampir mirip dengan mushalla. Tidak hanya itu teungku menasah juga bertindak sebagai 'syaikh' bagi orang kampung.

Disamping itu, istilah teungku juga diterapkan kepada orang Aceh yang tinggal di luar Aceh, bisanya dipanggil *Teungku Aceh. Ada juga istilah teungku dipakai oleh anggota GAM yang memiliki posisi dalam gerakan ini. Hal inilah yang kemudian ada yang beranggapan bahwa title teungku lebih bersentuhan dengan persoalan tradisi semata, bukan gelar keagamaan.

Teungku Lah Magnet Gerakan Aceh Merdeka.jpg
Source Image

Kini sebagaimana kita ketahui bersama, dalam acara-acara keagamaan saat ini di Aceh, peran teungku telah digantikan oleh peran ustaz di berbagai kesempatan, seperti ustaz yang menjadi imam shalat berjama'ah karena masyarakat menganggap suara uztaz lebih merdu. Kelompok ustaz yang kebanyakan berasal dari pesantren jawa ini dikeordinasikan oleh ulama lokal, lulusan dari Timur Tengah. Mereka sering mengadakan rapat untuk mengevaluasi misi mereka dalam jaringan sunnah. Jaringan ini tidak mengunakan mazhab manapun, melainkan hanya merujuk amal ibadah pada al-qur'an dan sunnah.

Agaknya terdapat konflik antara kelompok teungku dengan uztaz di salah satu kawasan di Aceh. Ada yang mengatakan bahwa kedatangan ustaz telah menantang otoritas dan kharisma pada teungku. Penulis juga mengungkapkan bahwa kedatangan mereka ke Aceh agaknya tidak hanya sebagai upaya mengajar Islam, namun juga memperluas jaringan radikalisme di Indonesia. Walaupun jika kita perhatikan bahwa ustaz jawa telah memberikan kontribusi dalam kehidupan beragama.

ZULKIFLI-USTAZ-SOMAD.jpg
Source Image

Kini orang Aceh pun lebih tertarik untuk mengirim anak-anak mereka pada pondok moderen, ketimbang ke dayah. Hal ini menjadi persoalan serius dalam masyrakat Aceh akan kesinambungan sistem pendidikan tradisional. Dengan demikian peran dayah semakin menurun dalam pengembangan pendidikan karena para orang tua dewasa ini lebih menginginkan anak mereka bisa melanjutkan studi lebih tinggi hingga ke Timur Tengah.

Regards @eumenes Follow/Like/Comment