Pada bab sebelumnya kita telah membahas tentang Jejak Budaya Aceh, yang mana pada pembahasan tersebut secara garis besar telah saya paparkan apa saja Jejak Budaya Aceh yang terdapat pada tempoe doeloe hingga tidak sedikit yang masih tersisa dan dapat kita temui pada zaman sekarang.
Kali ini memasuki bab baru, hampir sama dengan sebelumnya yaitu tentang budaya Aceh, namun bedanya yang lalu kita lebih membahas mengenai jejak budaya tapi sekarang akan dibahas mengenai Sistem Kebudayaan Aceh.
Dalam bab ini penulis mencoba mengupas kemampuan masyarakat Aceh dalam menciptakan, merekayasa, dan mempertahankan sistem kebudayaan. Untuk itu penulis buku ini memunculkan 3 konsep mengenai kemampuan manusia Aceh di dalam memunculkan kebudayaan yaitu; I (saya), being (keberadaan), dan action (aksi). Tidak lupa pula upaya untuk menemukan konsep hakikat jati diri manusia yang telah berjasa menemukan bentuk-bentuk kebudayaan pun menjadi tujuan dalam kajian ini.
Persoalan Saya atau dalam bahasa Aceh diartikan dengan lon sangatlah penting, namun sering diungkapkan dengan kalimat turi droe (kenali diri). Rakyat Aceh beranggapan untuk kenal diri, tahu diri, arah diri, posisi diri menampakkan diri, perlu adanya pendalaman Islam, mulai dari syariat, hakikat, hingga makrifat. Setelah itu baru mereka berani menyebut lon (saya). [Hal. 808]
Untuk itu, dalam membangun kebudayaan, orang Aceh terlebih dahulu harus mengerti makna akan turi droe (kenal diri). dengan kata lain mereka yang menjadi produsen budaya harus mengenali 'saya' yang ada dalam diri mereka sendiri, kemudian berangkat dari situ dibuatlah fondasi untuk bertindak dengan memakai falsafah ingat, seimbang, syukur yang mana ketiga falsafah tersebutlah yang agaknya sering dipakai oleh masyarakat aceh dalam membentuk sebuah kebudayaan.
Ingat disini bermakna, apapun yang dilakukan harus diingat bahwa ada kekuatan lain di luar diri manusia yang menguasi alam ini, ingat ini kemudian diwujudkan mulai dari asal-usul hingga sampai bagaimana manusia kembali kepada Allah.
Selanjutnya yang menjadi faktor kedua dalam memproduksi kebudayaan Aceh adalah seimbang (balance) yang kemudian jika diterjemahkan dalam bahasa Aceh menjadi timang (sejajar). Maksud dari faktor kedua ini adalah setiap aktifitas kebudayaan yang dilakukan oleh orang Aceh selalu bertujuan untuk menyeimbangkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, alam dan sesama manusia. Untuk itu segala aktifitas kebudayaan tidak boleh ada yang menyalahi aturan Tuhan, merusak alam dan juga merenggangkan hubungan sesama manusia.
Adapun terakhir yang menjadi faktor ketiga dalam memproduksi kebuayaan Aceh adalah syukur. Artinya setiap kegiatan kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat Aceh selalu dihiasi dengan simbol tanda syukur, sebagai contoh khanduri di dalam kebudayaan Aceh yang bertujuan untuk menuju beureukat (blessed).
Kenduri Blang Source Image
Pada bagian selanjutnya dibahas, ternyata pola pemikir Aceh tentang kesadaran diri juga hampir sama seperti pola pemikiran Barat sehingga kajian ini dikaitkan dengan era pencerahan dibarat, hal ini dikarenakan peristiwa kebangkitan akal dan kebangunan very abstrack system of ideas di Aceh juga terjadi pada era yang hampir sama dengan era pencerahan di Barat yaitu berkisar pada abad ke-16 dan ke-17 Masehi. Perbedaannya yaitu jika di Barat yang muncul adalah filsafat dan sains, maka di Aceh muncul agama dan peradaban. Barat berusaha menyangkal agama, namun di Aceh pada saat itu telah berhasil memasukkan agama dalam struktur pemikiran orang Aceh. Tidak hanya itu penerapan very abstrack system of ideas orang Aceh juga telah diwakafkan kepada dua entitas etnik terbesar di Asia Tenggara, yaitu telah berhasil mengislamkan mistik orang Jawa yang serba Hindu dan juga terhadap sistem identitas yang ditawarkan kepada Melayu telah mengislamkan struktur kekuasaan di beberapa kerajaan Melayu.
Namun dibalik keadigdayaan peradaban Aceh pada saat itu yang dapat mewakafkan sistem berpikir kepada bangsa lainnya, agaknya kini telah hilang terkait konsep bagaimana memproduksi very abstrack system of ideas. Salah satu penyebabnya juga ketika datangnya penjajah yang bukan hanya membumi hanguskan jasad intelektual orang Aceh, namun spirit intelektual juga ikut untuk dipustuskan.
Untuk itu untuk memproduksi kembali konsep very abstrack system of ideas orang Aceh, maka perlu adanya upaya untuk membangkitakan daya nalar yang kritis bagi para intelektual untuk menciptakan atau menemukan teori-teori yang mampu mengarahkan proses penyadaran masyarakat Aceh akan kekuatan laut Aceh mengingat tepi pantai Aceh merupakan lintasan hubungan Aceh dengan bangsa lainnya sehingga tepi laut menjadi keadigdayaan peradaban orang Aceh pada saat itu. Disamping itu, pemerintah juga harus mampu memperkuat institusi mereka karena berhasil atau gagalnya suatu negara disebabkan oleh lembaga-lembaga pemerintahan.