Pada postingan kali ini, saya akan kembali melanjutkan review buku acehnologi volume 3 karangan bapak Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, PH, D. Bagian keenam tepatnya pada bab 28 tentang Tradisi Berguru di Aceh.
Dalam kajian bab ini ingin melihat bagaimana tradisi meugure (berguru) di Aceh. Dapat dikatakan bahwa tradisi meugure memang menjadi satu nafas bagi kehidupan rakyat Aceh. Karena seseorang dianggap berguna dan berfungsi dalam masyarakat, jika orang tersebut pernah meugure pada seorang ulama atau guru, baik didayah maupun di madrasah. Tradisi ini memang tidak hanya monopoli orang Aceh saja, tetapi juga dalam setiap masyarakat di Nusantara, dimana tradisi meugure ini tidak dapat dihindarkan.
Beberapa pemimpin besar selalu ada guru dibelakangnya, yang mengarahkan dan mentransfer ilmu dan hikmah, mulai yang lahir sampai yang bathin. Kenyataan ini menjadi faktor bahwa berguru menjadi begitu penting.
Dalam tradisi meugure, murid diarahkan untuk tidak hanya memahami ilmu yang bersifat burhani dan bayani, tetapi juga aspek-aspek 'irfani. Ketika aspek-aspek epistemologis dikuasai oleh murid atau santri, maka dia akan dilepaskan ke masyarakat untuk menjadi "pengawal" kehidupan masyarakat. Pertanyaannya adalah mengapa dulu orang yang dididik adalah orang yang dipandang akan berkiprah dalam masyarakat? Kemudian, mengapa pula sang pendidik mampu mengenali sang murid? Proses mengenali antara satu sama lain inilah yang menyebabkan transfer ilmu, tidak hanya lagi sebatas formalitas seperti yang terlihat di dunia pendidikan saat ini, tetapi juga bisa beralih kepada transfer kebijaksanaan (wisdom).
Bagi orang Aceh, dayah merupakan pusat dari ilmu pengetahuan. Sistem pendidikan yang saling berkait dengan masyarakat dan kegiatan yang melingkupinya, menjadikan pendidikan orang Aceh saling terintegrasi antara ilmu pengetahuan dengan keperluan masyarakt, sehingga, keberadaan tradisi meugure seperti ini menjadikan lembaga ini sebagai tempat untuk mencari jejak spirit ke-aceh-an.
Proses transfer ilmu dengan spirit menjadi dua mata koin yang tidakdapat dipisahkan. Akibatnya, jebolan dayah saat itu memang betul-betul dapat dirasakan oleh masyarakat. Beberapa ulama terkemuka kemudian menulis kitab yang dijadikan sebagai pedoman.