Pada kesempatan kali ini, saya akan kembali melanjutkan review buku acehnologi volume 3 karangan bapak Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, PH, D. Bagian kelima tepatnya pada bab 25 tentang Sistem Kebudayaan Aceh.
Dalam bab ini, ingin dikupas tentang sistem kebudayaan yang ada di Aceh. Dua istilah tersebut memang kerap terdengar yakni bagaimana reproduksi kebudayaan Aceh. Karena itu, tidak sedikit pula kajian mengenai kedua hal tersebut, dimana sejak kedatangan islam ke Aceh hingga keinginan untuk mengaktifkan kembali pelabuhan di Aceh.
Jadi, secara sosio-historis, tepi laut begitu strategis. Sementara secara sosio-kultural, sangat dinamis. Sehingga studi Acehnologi tidak dapat menahan diri untuk tidak mengkaji peradaban Aceh dibibir pantai, sampai ke sungai, lalu berhenti di perbukitan atau pegunungan.
Studi ini mengupas kemampuan manusia Aceh untuk menciptakan, merekayasa dan mempertahankan sistem kebudayaan. Dalam konteks ini, terdapat tiga konsep mengenai mengenai kemampuan manusia Aceh didalam memunculkan kebudayaan yaitu : I (saya), being (keberadaan), dan action (aksi).
Dalam bahasa Aceh, saya berarti "lon". Adapun keberadaan dapat diartikan dengan "na". Dengan demikian, keberadaan saya dapat diterjemahkan "na lon". Sebaliknya, jika saya tidak berada ditulis menjadi "Hana lon". kerap ditambahkan dengan kata "ha" yang ditulis menjadi "Hana lon" (saya tidak berada). Disini, kata "na" (ada), yang pada mulanya berkaitan dengan wujud (being) berubah menjadi sesuatu yang bersifat metafisika. Ketika disebutkan ketiadaan, didalam bahasa Aceh tidak ada padanan kata yang tepat. Misalnya ketiadaan saya tidak bisa dipahami menjadi Hana lon. Karena perlu ditambahkan menjadi: "saya tidak tahu arah" , "saya tidak tahu lurus", "saya tidak tahu posisi ", begitulah seterusnya.
Didalam kebudayaan orang Aceh, sesuatu yang baik selalu dikatakan dengan mangat. Misalnya, haba mangat atau pajoh mangat. Kalau ada haba mangat, selalu diikuti dengan pajoh mangat, yang diwujudkan dengan khanduri. Bagi orang Aceh, kabar baik selalu berawal hasil proses keseimbangan yang positif dari tiga aspek (tuhan, alam dan manusia). Jadi, kalau manusia sukses selalu dipicu oleh keseimbangannya dengan tuhan dan alam. Karena itu, khabar baik atau khabar gembira harus disyukuri apapun hasilnya. Konsep syukur itu diwujudkan dalam makan enak (pajoh mangat). Disinilah kemudian muncul kesadaran masyarakat untuk memberikan yang terbaik kepada siapapun. Misalnya, orang memberikan makanan enak kepada ulama, Raja dan tamu. Adapun konsep yang melingkari haba mangat dan pajoh mangat adalah beureukat (berkah). Jadi, konsep khanduri dalam kebudayaan adalah untuk menuju beureukat (blessed).
Selanjutnya, untuk menggali kebudayaan Aceh, maka tidak dapat dipungkiri kajian sejarah kebudayaan merupakan hal yang muthlak dilakukan. Dari kajian model ini diharapkan akan terus membantu bagaimana kait kelindan kebudayaan Aceh yang telah disemai selama ratusan tahun, dapat dibangkitkan kembali dalam konteks era modern.