Pada kesempatan kali ini saya akan melanjutkan review kembali, buku Acehnologi volume 2 karangan bapak Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, PH.D yaitu pada bab 20 tentang studi religi Aceh.
Dalam bagian ini dikupas bagaimana pemetaan aliran-aliran atau gerakan religi yang muncul di Aceh. Sesungguhnya di Aceh, dinamika pemikiran tidak pernah stagnam. Hanya saja, setiap episode sejarah Aceh selalu mengalami kegaduhan, yang berujung kadang kala membungkam dialektika pemikiran keislaman di Aceh.
Kendati dewasa ini, kiblat pemikiran dan gerakan religi tidak lagi diarahkan ke Aceh, tetapi ke pulau Jawa, seperti di Yogyakarta, Jakarta dan Bandung. Sebagaimana sering disebutkan dalam buku ini, pemikir Aceh yang selalu menjadi rujukan di Nusantara adalah Syeikh Hamzah Fansuri dalam bidang sastra dan sufisme, Syeikh Nurdin Ar-raniry dalam bidang fiqih, teologi, dan sufisme, dan Syeikh Abdur Rauf As-singkili dalam bidang tafsir, fiqih dan sufisme.
Mendiskusikan Aceh pada prinsipnya hampir sama dengan mengkaji islam. Sebab, antara Aceh dan islam adalah tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Dasar pijakan kerajaan-kerajaan di Aceh dilandaskan pada sistem keyakinan pada islam. Dasar pengetahuan di Aceh juga dilandaskan pada kosmologi islam. Dasar bangunan kebudayaan juga tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang terkandung didalam islam. Akibatnya, islam telah membungkus Aceh didalam satu kesatuan yang utuh dan holistik.
Di dalam konteks kesejarahan, islam yang datang ke Aceh, bukanlah islam yang merupakan hasil peperangan. Namun islam yang dibawa oleh 'ulama sekaligus pedagang. Sehingga, kedatangan islam ke Aceh, tidak mewarisi dendam, sebagaimana kedatangan islam ke Eropa. Salah satu misteri yang belum terpecahkan adalah "mengapa proses islamisasi di Aceh sangat cepat diterima? " sementara proses islamisasi di Jawa berlangsung sampai bertahun-tahun, sehingga islam dapat dijadikan sebagai "kekuatan utama".
Islam di pulau Jawa belum mampu menukar sistem kebatinan Jawa. Adapun yang muncul adalah islam yang di jawanisme oleh rakyat Jawa. Sementara di Aceh, proses islamisasi tidak mengenal Acehnisasi Islam. Dengan kata lain, ada hal yang perlu ditelaah secara mendalam tentang "Islamisasi Aceh" dan "Acehnisasi Islam".
Salah satu alasan yang mungkin mampu menjawab hal diatas adalah kenyataan sejarah. Hampir semua kerajaan-kerajaan islam, kecuali kerajaan Lingge, berada di kawasan pesisir. Selain itu, kawasan perdagangan juga dekat dengan bibir pantai. Jika dilihat dari nama-nama tempat di Aceh, tampak bahwa pulau Ruja merupakan tempat persinggahan berbagai suku bangsa dari Asia Selatan dan Timur Tengah.
Selanjutnya, berbagai teori mengenai kedatangan islam ke Pulau Ruja memang tidak jau berkisar pada masa-masa kehidupan Rasulullah atau pasca-kewafatan Beliau. Ini menyiratkan bahwa adanya keturunan-keturunan dari garis Arabia yang kemudian menjadi Sulthan Peureulak. Tidak hanya itu, kemunculan kerajaan Samudera Pasai juga menyiratkan bahwa adanya kedatangan orang-orang mulia ke Pulo Ruja. Hampir semua tempat di "negeri-negeri bawah angin" yang disinggahi oleh islam, berdiri kerajaan-kerajaan islam didekat pantai.
Lanskap air dan tanah dengan ruang pantai-sungai-bukit menjadi saksi bagaimana Islam sebagai sistem religi rakyat Pulo Ruja muncul. Disini dapat dipastikan bahwa, rakyat Aceh tidak pernah menjadikan spirit religi kristen dan yahudi sebagai sistem pandangan hidup mereka.