Dulu di awal tahun 2000-an, ketika saya sering terpapar bacaan berupa Majalah Annida dan novel-novel islami yang ditulis oleh senior-senior saya di Forum Lingkar Pena (FLP), gaya menulis saya sedikit banyak dipengaruhi oleh gaya penulis-penulis FLP. Menyusul teenlit dan chicklit booming di tahun 2004, saya pun merambah ke kedua genre ini. Sialnya, saya mendadak suka sebagian besar novel dari genre teenlit dan chicklit ini. (Mungkin karena pengaruh saya sudah merasa bosan membaca tulisan fiksi islami yang polanya begitu-begitu saja). Walhasil, gaya menulis saya pun berubah. Dari gaya menulis sok ‘berceramah’ ala akhi ukhti ke gaya menulis teenlit chicklit yang lebih bebas ala cewek metropolitan yang gahol. Saat membuat tulisan ini, saya membuka kembali file-file cerpen dengan genre islami dan teenlit chicklit yang pernah saya tulis di 10-12 tahun lalu tetapi tidak pernah saya kirimkan ke media manapun. Saya jadi menertawakan diri sendiri atas kenyataan betapa labilnya saya dahulu karena perubahan drastis gaya menulis dari sok ngustazah ke sok kegenitan ala metropolitan.
Selama 10 tahun terakhir, bacaan saya mulai bervariasi―meskipun tetap didominasi oleh fiksi. Saya mulai membaca buku-buku dari pengarang dunia baik yang terkenal karena mendapat penghargaan dunia maupun terkenal karena bukunya selalu menjadi buku dengan penjualan terbaik di dunia. Dan karena jumlah buku yang saya timbun di rumah tidak berbanding lurus dengan jumlah buku yang saya baca, saya mulai selektif membeli buku. Walhasil, saya mulai pilah-pilih novel dari pengarang Indonesia. Saya hanya mau membeli novel dari pengarang-pengarang favorit saya saja (Leila S. Chudori salah satunya)―kecuali saya diberi gratis secara sukarela (bukan saya yang meminta) dengan iming-iming ‘Tolong bikinkan resensinya’. Bagaimana dengan novel-novel dari pengarang-pengarang di bawah naungan FLP? Tidak bermaksud mengecilkan organisasi kepenulisan yang pernah membesarkan saya ini, tetapi saya harus jujur bahwa saat ini saya hanya membaca novel Kang Abik saja. Itupun hanya sebatas pada novel Ayat-Ayat Cinta saja, bukan novel-novel Kang Abik lainnya.
Belum semua buku dari pengarang-pengarang dunia, yang saya timbun di rumah, sudah saya baca. Tetapi dari sedikit yang sudah saya baca, ada beberapa pengarang yang saya sangat terpengaruh oleh mereka, terutama dalam hal gaya menulis. Sebut saja dua di antaranya adalah Jhumpa Lahiri dan Chitra Banerjee Divakaruni, dua pengarang perempuan Amerika keturunan India. Salah satu novel Jhumpa Lahiri, Interpreter of Maladies, pernah mendapatkan anugerah Pulitzer Price for Fiction, sebuah penghargaan bergengsi dunia. Sementara novel-novel Chitra Banerjee Divakaruni sudah diterbitkan ke dalam beberapa bahasa.
Boleh dibilang, saya adalah pemuja mereka berdua, Jhumpa Lahiri dan Chitra Banerjee Divakaruni, dan saya selalu memburu setiap novel yang mereka tulis. Dan karena semakin bertambahnya novel-novel mereka yang saya baca, terkadang itu memengaruhi gaya menulis saya. Yang paling terlihat adalah saya jadi suka menulis dalam kalimat yang panjang-panjang untuk satu kalimat saja―bahkan berlapis-lapis dengan beberapa anak kalimat. (hayo temukan kalimat-kalimat panjang dalam tulisan ini). Ya, jika membaca novel-novel Jhumpa Lahiri dan Chitra Banerjee Divakaruni, akan terasa bahwa kalimat mereka panjang-panjang meskipun tidak semua kalimat begitu. Tetapi saya begitu menikmati, begitu menjiwai, dan akhirnya saya memutuskan bahwa saya jatuh cinta pada tulisan mereka.
Mungkin, inilah yang disebut selera. My cup of tea. Bersama tulisan-tulisan mereka, saya menemukan rasa yang pas. Sebagaimana saya menyukai makanan tertentu dengan rasa yang cocok di indra pengecapan saya, tetapi itu bisa jadi tidak cocok buatmu.
Dulu, ketika mengisi kelas-kelas menulis, saya sering menganjurkan kepada peserta kelas agar ‘jangan membuat kalimat yang panjang’. Pendek saja, begitu saran saya. Tetapi sekarang, seiring bacaan yang mulai beragam, saya tidak pernah lagi memberikan saran demikian―karena saya bahkan tidak mengikuti ‘paham’ itu lagi.
Saya sering mendapat komplain di kolom komentar Steemit, selain di blog sendiri tentunya, mengatakan bahwa kalimat saya terlalu panjang-panjang sehingga mereka kelelahan saat membacanya. Saya bukannya tidak peduli, tetapi saya sudah meneguhkan hati bahwa inilah selera saya dan saya merasa saya sudah berada di jalan yang benar. Selama saya menulis dengan ejaan yang benar menurut EBI, berusaha meminimalkan typo (saya tidak bilang tidak ada typo sebiji pun karena saya manusia yang tidak lepas dari khilaf typo), menempatkan tanda baca dengan baik, maka saya sudah berada di jalan yang benar.
Jika terdapat komplain dengan mengatakan bahwa tulisan saya tidak menarik karena pengaruh gaya menulis saya, saya anggap saja selera dan gaya mereka berbeda dengan selera dan gaya saya. Kenapa kita harus seragam dalam hal selera dan gaya?
Selera adalah sesuatu yang tidak bisa digugat sampai kiamat!
Nah, bagaimana dengan selera membacamu? Apakah itu memengaruhi gaya menulismu?
Sangat kak..
Skrg lagi suka baca kumpulan puisi dan prosa. Kalau lg pas mood, terbawa jadinya 😂😂
Sama...sama..yaa..saya jg gitu..:P
Jangan terlalu sering samanya.. Entar kek mana gt haha
Hahahahaaaa....
bangeet, Kaaak!
eh ada typo di kata Indonesia tuh, di atas, Kak. (Padahal Aini juga sering kali typo, hahaha. Dasar semut di seberang nampak aja, ya.)
Tahun ini adalah tahun nonfiksi buat Aini. Harus membaca yang rada-rada textbook dan buku-buku parenting. Dicekokin buku Komunikasi Sosial dr. Purboyo Solek, teori-teori mengajar karena harus jadi guru untuk anak-anak sendiri. Mana setiap hari baca buku Dinosaurus dan buku-buku anak lainnya. Buahahaha
Pingin kali piknik dengan buku-buku fiksi, tapi nanti setelah tugas-tugas selesai. Hehe
Sudah diperbaiki. Terima kasih Aini :D
Aini semangat juga yaa
Berkelas
Semoga bisa naik kelas :D
Betul kak, kalau yang sudah terbiasa baca tulisan kita, lambat laun akan terbiasa dan bisa merasakan tipikal gaya tulisan kita.
Siiip. Hehehe
Masing2 punya gaya dalam menulis. Ide, gagasan tuangkan saja tanpa perlu meminta izin ke orang lain. Kan bukan sakit kok minta izin. Kayak aq sekarang lg seneng banget baca sastra kuno dalam bahasa sangserketa. Buku2 ini aq beli pas sekolah di jogja dulu. Yg uniknya buku ini bs aq lahap lbh cepat dibandingkan buku lain. Sebab pas baca judul sampul, aq langsung ke daftar pustaka.. Makanya cepat.
Wwkwkwk padahal udah niat mau minta diajarin bahasa sangsekerta lah Bang :D
Ish ish iiish... Aku harus ketawa atau sedih, Ril? wkwwkwk
Haha senyaman kalian aj
Kalau aku yang terasa sekali pengaruhnya adalah Om Khaleed Hosseini. Beliau menulis selalu ada pesan kemanusiaan di dalam novelnya... Kalau senior FLP, Afifah Afra tetap juara dalam hal diksi yang kaya dan HTR dalam keindahan sastranya yang puitis.
Untuk penulis luar... Nufus sekarang lebih menyaring lagi kak... soalnya rak buku masih terbuka kali di rumah, salah-salah dibaca anak-anak :D
Tapi memang membaca adalah amunisi untuk bisa menulis lebihbaik.
Ya Nufus, aku membaca lebih karena ingin menulis lebih baik, makanya satu buku (bagus) bisa dibaca dalam waktu yang lama :D
paragraf ini panjang "Yang paling terlihat adalah saya jadi suka menulis dalam kalimat yang panjang-panjang untuk satu kalimat saja―bahkan berlapis-lapis dengan beberapa anak kalimat."
Mantap bannernya kalau udah dipasang..
Iya cakep ya bannernya. Terima kasih Hayat, postingan saya jadi lebih cakep dengan adanya tambahan banner Steemit :D
Habits make you...you. Hehehe
Siiip. Hehehe
Sangat berpengaruh kak, mulanya Yel suka baca buku motivasi, jadi tulisan Yel agak-agak motivator gitulah, sering memberi pesan yang membangkitkan semangat. Tapi setelah mencoba membaca fiksi terutama bukunya Tere Liye, tulisannya malah banyak menggunakan panca indra untuk menjelaskan detail gitu, terkesan lebay sih. Tapi Yel menikmatinya.
Seeeeh... yang penggemar Tere Liye. Hehehe
Ada periode-periodenya perubahan gaya menulis karena perubahan bahan bacaan juga. Pas dulu suka Raditya Dika, sempat terpengaruh dengan cara menulis komedi. Pas mulai bergeser ke Pidi Baiq, gaya menulis berubah.
Betuuul, berubah bacaan, suka berubah pula gaya bahasa ya :D
Soal panjang pendek kalimat, aku kira juga tergantung jenis tulisan yang dibuat, Eky. Kalau tulisannya bergenre serius, semisal opini, atau tulisan yang temanya asyik namun ditulis dengan 'garing', kalau panjang-panjang kali, serius, itu bikin nggak semangat meneruskan untuk membaca. Berbeda dengan cerita-cerita fiksi, seperti yang Eky jelaskan di atas, sejak awal pembaca memang sudah dipersiapkan untuk membaca tuntas, karena pasti ada 'janji' berupa kejutan baik di tengah atau di ending.
Betuuul. Misalnya kalau bikin caption Instagram, sengaja kubikin pendek-pendek sih. Tapi saat membuat tulisan bebas, termasuk blog post, kembali ke kebiasaan semula, kalimatnya panjang-panjang, hahaha
Sangat Kak, kerasa banget sekarang lagi suka sama gaya curhat, ini terinspirasi dari buku dan kisah inspiratif yang sering dibaca.
Katanya kan "You are what you eat." Jadi "makanan" buku itu yang membuat kita menjadi kita.
You are what you read yaaaa De :D
Hai kak Eki, kenalin nih anak baru, bantu follback dan vote nya ya
Mantap Kaka...salam kenal...